Begitu penutup mata Angga di buka, dia mendapati sosok angkuh tengah memandangnya dengan tatapan yang sulit untuk dijelaskan.
Apakah itu sebauh pandangan jjijik? Seperti seseorang yang tengah menatap kotoran di ujung sepatunya ataukah itu hanya sebuah amarah yang tertahan?
Angga tidak mengerti, dia tidak pernah begitu memperhatikan emosi orang lain sebelum ini, dan tidak juga ingin tahu, karena seperti itulah dia hidup, tanpa mempedulikan perasaan orang lain.
Tapi, kali ini berbeda…
Apapun emosi yang menari di balik bola mata hitam kelam milik pria dihadapannya ini, membuat Angga berpikir kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya.
"Apa… apa maumu?" Tanya Angga dengan suara bergetar hebat. Bukannya dia tidak tahu siapa pria dihadapannya ini. Angga tahu, tapi tidak mengerti mengapa dia melakukan hal ini terhadapnya.
Pria di hadapan Angga adalah Liam Prihadi, satu- satunya penerus keluarga Prihadi, yang secara absurdnya merupakan calon suami Naraya, adik sepupunya.
Angga pun baru mengetahui ini dari Ibunya dan cukup terkejut, apalagi saat ada orang suruhan Amira Prihadi yang menemuinya di kampus dan menawarkan bayaran yang fanstastis hanya untuk mendapatkan foto bugiil Naraya.
Tentu saja kesempatan ini segera Angga ambil tanpa berpikir dua kali.
Uang yang berbicara disini. Perssetan dengan semua norma dan hati nurani! Angga butuh uang dan ia bisa mendapatkannya dengan cara yang mudah.
Sudah giila Angga kalau tidak mengambil kesempatan ini.
Apalagi menurut ibunya, Utari, pernikahan ini merupakan perjodohan konyol yang telah di buat oleh almarhum Ayah mereka dengan Amira Prihadi, yang sebenarnya tidak di setujui oleh seluruh keluarga Prihadi.
Jadi, kejadian seperti ini sama sekali jauh dari bayangan Angga, belum lagi dia harus bertemu dengan Liam Prihadi secara langsung.
Liam Prihadi, sosok yang sering ia lihat di banyak berita bisnis dan ekonomi serta wajahnya yang sesekali wara- wiri di berita dalam Negeri yang merangkum sosok paling berpengaruh tahun ini.
Liam Prihadi yang selalu tampil dengan elegan dan hanya tersenyum sekedarnya, kini menatap Angga dengan tajam, seolah tatapan tersebut dapat membunuhnya.
"Apa mauku?" Suara Liam bergema di gudang kosong, bergaung menakutkan hingga membuat Angga harus menelan ludahnya dengan susah payah. "Apa kau yakin sanggup untuk melakukan apa mauku?"
Liam berdiri dari bangkunya, tubuhnya menjulang di hadapan Angga, memberikan aura menakutkan bagi siapa saja yang berada di dekatnya.
"Pak Liam… saya… saya hanya di suruh…" Angga mulai berkata tidak jelas, pria dihadapannya ini begitu menakutkan, sosoknya mampu membuat ruangan gudang ini terasa kecil dan menyesakkan.
"Saya tahu." Jawab Liam dengan tenang. Suaranya yang tenang jauh lebih menakutkan daripada sekelompok bodyguard berwajah garang di sekitar mereka.
"Tapi, mengapa…" Suara Angga tercekat di tenggorokkannya, bahkan takut untuk dikeluarkan.
"Kenpa kau ada disini?" Liam bertanya dengan intonasi yang datar sambil menaikkan alisnya, tatapan matanya tidak dapat dibaca.
Karena kata- kata yang Angga miliki telah disembunyikan oleh rasa takutnya, maka dari itu dia hanya mampu menjawab sambil menganggukkan kepalanya, berharap Liam dapat menunjukkan rasa belas kasihannya.
Sebetulnya Angga tahu mengapa dia bisa berada dalam situasi seperti ini, tapi tentu saja dia tidak mempercayai alasan tersebut.
Bukankah Liam tidak menginginkan pernikahan ini? Jadi dia tidak seharusnya marah akan apa yang Angga lakukan pada Naraya, kan?
Menurut yang Angga mengerti dari cerita ibunya dan perkataan Rafael, tangan kanan Amira Prihadi, Liam tidak akan ikut campur dalam hal ini.
Tapi, nyatanya…
Pria ini tidak akan sampai membunuhnya kan…?
"Kau sama sekali tidak tahu kenapa kau berada disini?" Liam masih berkata dengan nada yang dingin, lalu mengulurkan tangannya ke arah Raka yang siap berada di sampingnya.
"Menurut orang IT kita, konten video dan foto- foto di dalamnya telah di kirim ke no. ponsel lain." Lapor Raka sambil menyerahkan ponsel di tangannya pada Liam.
Itu adalah ponsel yang Angga gunakan untuk mengirimkan video dan foto- foto dirinya dan Naraya kepada Rafael.
"Masih tidak tahu kenapa kamu ada disini?" Liam memiringkan kepalanya, matanya tidak lepas menatap mata Angga yang penuh dengan rasa takut.
Seharusnya Liam tidak perlu datang secara pribadi ke gudang tua ini dan melihat dengan mata kepala sendiri pemuda yang berani bertingkah tak bermoral pada seorang gadis.
Seharusnya hanya dengan satu kata perintah dari Liam, mereka dapat menyiksa Angga dengan cara yang Liam mau.
Tapi, Liam ingin melihat langsung rasa takut dari Angga, menyiksa mentalnya secara perlahan.
Melaporkan pada polisi? Untuk apa? Liam akan lebih puas melancarkan balas dendamnya dengan cara seperti ini.
Ya, Liam adalah sosok yang menyimpan dendam. Dia adalah pendendam yang akan mengingat musuh- musuhnya dan membalas mereka dengan ganjaran yang jauh lebih berat.
Tidak sama, karena mereka harus merasakan hal yang lebih menyiksa daripada hal yang mereka lakukan.
Melihat Angga tertunduk dengan tubuh gemetar, Liam berjalan mendekatinya dan berjongkok tepat di hadapannya.
Suara Liam begitu dingin dan pelan, seperti angin di malam berhujan. "Saya hanya akan memberitahumu sekali ini, dan ini juga merupakan peringatan bagi orang yang telah menyuruhmu. Kamu akan menyampaikan kata- kataku ini padanya bukan?"
Liam berhenti, memperhatikan Angga, menunggu respon darinya.
Tentu saja Angga langsung menyetujuinya, memangnya dia memiliki pilihan lain? Dia sudah tidak ingin berpura- pura bodoh, karena Liam pasti sudah mengetahui semuanya, termasuk orang yang telah menyuruhnya.
Tapi, kenapa Amira ingin menghancurkan anaknya sendiri? Walaupun Liam bukanlah darah dagingnya dan merupakan anak adopsi, tapi di adalah pewaris sah dari perusahaan multinational Prihadi.
Seluruh Negeri tahu akan hal ini.
"Bagus." Liam menyetujui respon Angga yang mengangguk- anggukkan kepalanya dengan keras. "Katakan padanya; berhenti memainkan trik murahan ini, karena ini sama sekali tidak menyenangkan."
Karena rasa takutnya Angga mengangguk dengan keras sambil merapalkan kalimat yang sama yang Liam telah katakan padanya sampai berkali- kali, seolah dengan menghapal kalimat tersebut dia dapat menyelamatkan dirinya.
Tentu saja itu adalah anggapan yang salah, karena Liam tidaklah sebaik itu.
"Boss." Salah seorang bodyguard bergerak maju mendekati Liam. "Orang- orang yang diminta sudah datang, mereka ada di kamar sebelah." Ucapnya dengan nada hormat yang kentara.
Liam hanya mengangguk tanda ia mengerti, lalu mengalihkan perhatiannya terhadap sosok Angga yang menyedihkan di hadapannya.
"Karena kamu menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya kamu sentuh… jadi, bagaimana saya harus membalasnya?" Liam bertanya, sebuah pertanyaan yang Angga tidak bisa jawab.
Otak Angga berputar, berpikir apa yang sebenarnya pebisnis muda ini inginkan darinya, apakah tidak cukup dengan membawanya dari kampus dan mengikatnya di sini seharian?
"Tidak menjawab." Liam mengangguk, sebuah statement yang membuat Angga bertambah bingung. "Baiklah, karena kamu sangat menginginkannya, akan kuberikan padamu."
Setelah itu, Liam memerintahkan seorang bodyguard untuk membawa Angga ke dalam kamar yang telah mereka persiapkan.
Awalnya Angga tidak mengerti apa yang akan mereka lakukan padanya. Menyiksanya? Memukulinya? Atau apa?
Tapi, begitu Angga memasuki kamar yang hanya diisi oleh tempat tidur berukuran sangat besar dan lima orang pria dengan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggan mereka, Angga menyadari apa yang akan terjadi begitu pintu kamar ini tertutup.
Seketika itu juga, nafasnya seolah terhenti.