Ava celingukan mencari sosok yang mengajaknya makan malam di kafetaria rumah sakit. Sudah tiga puluh menit Ava menunggu tetapi Aidan belum menunjukkan batang hidungnya. Ava lalu memutuskan keluar dari kafetaria dan mencari Aidan di ruangannya sampai telinganya mendengar seseorang menyebut nama kakak tiri.
"Sepertinya dr. Aidan dan Violet tidak lagi merahasiakan hubungan mereka. Bahkan mereka tidak segan memamerkan kemesraan di depan umum."
"Mungkin karena dr. Aidan sudah bertemu orang tua Violet di Pontianak minggu lalu."
"Benarkah?" Perawat berambut pendek itu terkesiap.
"Sepertinya tidak lama lagi dr. Aidan dan Violet melepas masa lajangnya."
"Apa kauyakin keluarga Aryasha bisa menerima Violet?"
"Memangnya kenapa?"
"Aku dengar Violet melakukan aborsi sewaktu masih SMA."
"Kamu jangan bercanda. Tidak mungkin Violet..." Perawat yang mengenakan kacamata itu lalu membisu seketika, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Aku baru ingat... aku pernah mendengar rumor itu sewaktu Violet masih magang."
Mereka berdua lalu terdiam sampai perawat berambut pendek itu menghela napas panjang. "Sebaiknya kita tidak usah membahas masalah ini lagi."
"Benar," sahut temannya kemudian menimpali, "Tapi aku iri dengan Violet. Dengan mudah dia menjadi kekasih dr. Aidan. Mungkin aku bisa berguru pada Violet bagaimana cara menggaet pria-pria Aryasha atau pria kaya pada umumnya. Bukankah tahun depan sepupu dr. Aidan akan menjadi dokter baru di rumah sakit ini?"
"Kamu gila! Bagaimana bisa kamu berpikir bisa menggaet pria Aryasha dengan wajah pas-pasan seperti itu?"
"Who knows, barangkali eros sedang mabuk lalu dia menembakkan panah asmaraku ke adik sepupunya ."
Ava mematung di tempatnya dan menyembunyikan diri dari pandangan dua perawat yang sedang bertugas di nurse station. Tak jauh dari tempatnya, Ava melihat Aidan menggenggam tangan Violet dengan senyum mengembang. Matanya berbinar bahagia.
Pemandangan itu seperti tombak tajam yang menusuk tepat di jantungnya dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Ava menggigit bibirnya, berusaha meredam nyeri di dadanya. Sebelum dia beranjak dan meninggalkan tempat itu telinganya kembali mendengar percakapan dua perawat tersebut.
"Sepertinya aku memahami kenapa dr. Aidan ingin segera menikahi Violet. Violet sangat cantik dan berkepribadian baik. Pasti banyak sekali pria yang mengincarnya.
"Ternyata dr. Aidan tidak terlalu percaya diri juga, ya. Haha..."
Telinga Ava terasa panas. Dia tidak tahan mendengar hubungan kakak tirinya dengan kekasihnya lebih jauh lagi.
"Seharusnya kalian tidak mengobrol di jam sibuk seperti ini!" tukas Ava menegur dua perawat itu dengan nada tinggi. Matanya menatap tajam, penuh intimidasi.
Dua perawat itu langsung terdiam dengan kepala menunduk. "Maafkan kami, Dok," kata mereka hampir bersamaan.
"Berhenti menggosipkan dr. Aidan kalau kalian ingin tetap bekerja di rumah sakit ini. Aku, Ava Aryasha, tidak segan-segan memecat kalian jika kalian bersikap kurang ajar seperti itu."
"Ma—maafkan kami, Dok. Kami mengerti...."
Teguran itu tentu saja berhasil membungkam kedua perawat muda tersebut. Terutama saat Ava mengancamnya dengan embel-embel nama belakangnya. Ava menghela napas panjang lalu beranjak pergi walaupun telinganya masih menangkap bisik-bisik dua perawat tersebut.
"Bagaimana ini... sepertinya dr. Ava mendengar obrolan kita?!"
"Sst... kudengar wanita itu diam-diam mencintai kakak tirinya. Kasihan sekali cintanya tidak terbalas."
"Habis dia galak sekali, sih. Makanya dr. Aidan mengabaikannya!"
Dua perawat itu tampak sengaja mengatakannya keras-keras agar Ava mendengarnya tetapi Ava memilih mengabaikannya dan melangkah tanpa mengindahkan gunjingan tersebut. Ava tidak pernah mengambil pusing omong kosong tentangnya. Dia tidak perlu membela diri dan terlibat dalam perdebatan tidak bermanfaat.