"TERIMA kasih teh panasnya, Ram." Wusdi menerima gelas plastik, kepul uap terlihat.
"Ini makan malam paling sederhana seumur hidupku." Tunga tertawa, mengangkat kemasan makanan instan di tangannya.Sudah hampir pukul delapan malam, sudah empat belas jam Pasifik dengan kecepatan penuh meninggalkan dermaga Singapura, terus ke utara menuju Hongkong atau begitulah mestinya tujuan kemudi. Sejauh mata memandang, lautan terlihat gelap, langitlah yang terlihat bercahaya tanpa saputan awan. Bintang-
gemintang dan bulan bersinar terang.
"Tenang, Tunga. Setiba di Hongkong besok pagi-pagi, setelah membereskan banyak hal, aku akan mentraktirmu, juga Ram, seporsi besar bebek peking di salah satu restoran mahal Hongkong. Kau boleh tambah sepuas perutmu." Wusdi bergurau,
menyeduh makanan instan di depannya.
Tunga tertawa, mengangkat gelas plastik teh.
Setelah aku nonstop berjam-jam kelelahan mengemudikan kapal, dua bedebah itu akhirnya mengizinkan Pasifik melaju dengan sistem kendali otomatis. Mereka juga berbaik hati mengizinkanku menelan makanan, dengan tangan terborgol bersama Opa. Makan malam seadanya di kabin tengah, mengeduk isi kulkas, mencari makanan instan. Kemudi otomatis diawasi dua petugas
berseragam polisi Singapura.
Angin laut masuk lewat pintu kabin yang tersingkap. Terasa dingin.
"Wajahmu tegang sekali, Ram? Ayolah, santai saja." Wusdi menyikut koleganya.
"Dia masih kecewa tampaknya," Tunga yang menjawab.
"Kecewa apanya? Gagal menjadi pemilik Bank Semesta? Lupakan." Wusdi ber-hah kepanasan, menyeka ujung bibir, meletakkan kemasan mi instan, meraih gelas plastik teh panas.
"Kita akan memperoleh gantinya, belasan properti di Hongkong, tanah, gedung perkantoran, hotel, kau lihat saja tumpukan dokumen di atas meja. Kau boleh ambil yang mana saja, Ram, termasuk kapal mewah ini.""Atau kau mencemaskan sesuatu?" Tunga menyelidik. "Bah, kau seperti tidak tahu. Kami ini pejabat penting, semua bisa diatur. Kali ini tidak akan ada jejak yang tertinggal. Semua akan dihabisi setelah urusan di Hongkong beres."
Tunga menunjuk pojok kabin, tempat aku dan Opa duduk di lantai.
"Teh buatanmu nikmat, Ram," Wusdi berseru, ber-hah kepanasan.
"Mungkin dia sudah terbiasa menyajikan teh untuk Liem di kantornya," rekannya menimpali.
Mereka tertawa lagi.Aku menunduk, menyuap mi perlahan. Sejak tadi siang Wusdi berhasil menemukan lemari penyimpanan dokumen-
dokumen aset tersebut. Rakus memeriksa satu demi satu. Opa di sebelahku menghela napas, dia sejak tadi tidak menyentuh kemasan gelas mi instan untuknya.
"Opa seharusnya makan," aku berbisik.
"Orang tua ini tidak lapar, Tommy." Opa menatap ke luar jendela. Salah satu tangan kami terborgol ke tiang kabin, didudukkan di pojokan dinding, berada dalam pengawasan mereka.
"Setidaknya Opa memaksakan satu-dua sendok. Kita butuh semua tenaga..."
"Jangan cemaskan orang tua ini, Tommy. Opa bahkan pernah berhari-hari hanya menelan air asin lautan." Suara Opa terdengar dalam, matanya masih jauh menatap lautan.Opa mengembuskan napas perlahan, memutuskan tidak memaksa lagi, berusaha menghabiskan jatah makan malamku.
"Opa tahu apa yang sedang kaurencanakan, Tommy," Opa berbisik. Dia masih menatap melintasi jendela kaca, memperhatikan langit yang terang, konstelasi bintang.Aku menoleh.Opa justru tertawa pelan. "Kau tumbuh jauh lebih tangguh dibanding siapa pun, Tommy. Bahkan berkali-kali lebih tangguh dibanding orang tua ini waktu muda dulu, mengungsi dari tanah kelahiran. Penjahat-penjahat itu telah keliru memilih lawannya."
Opa menatap wajah tua Opa, dia tersenyum padaku. "Opa tahu apa yang sedang kaulakukan." Opa mengedipkan mata.
"Opa mengenali rasi bintang, Tommy. Nelayan yang mengajari Opa selama berminggu-minggu di atas perahu kayu bocor. Kemudi otomatis kapal tidak menuju ke Hongkong, bukan?"Aku menelan ludah.
Opa menghela napas dalam-dalam.
"Ah, bahkan hingga sekarang, Opa selalu merinding membayangkan cerita itu. Lihat, bulu lengan Opa berdiri. Ketakutan terbesar bagi seorang pelaut
paling tangguh sekalipun. Pasifik tidak menuju ke Hongkong, bukan?" Belum sempat aku menjawab pertanyaan retoris Opa, dari seberang sofa terdengar seruan tertahan. Bukan, itu bukan teriakan agar kami berhenti bicara, atau menyuruh segera menghabiskan makanan, menyuruhku bergegas kembali ke ruang kemudi, itu teriakan tertahan Wusdi untuk urusan lain.Gelas plastik berisi teh panas terjatuh dari tangannya. Tubuhnya mendadak terjerembap ke bawah sofa. Badannya kejang-kejang.
"Ram! Ram, apa yang telah kaulakukan?" dia berteriak marah, dari mulutnya keluar busa, meringis menahan sakit yang mendadak menyergap perut, ulu hati, dan sistem saraf.Tunga berusaha membantu, meraih tangan Wusdi, tapi dia juga meluncur terjatuh, tangan kanannya tiba-tiba lumpuh tidak bisa digerakkan.
"Apa yang terjadi?" Tunga berteriak dengan sisa-sisa tenaga, menatap gentar tubuhnya yang tidak bisa digerakkan. Butir peluh besar-besar menetes dari keningnya, wajahnya pucat, membiru, lebih banyak busa keluar dari mulutnya. Tangan Tunga yang satunya masih sempat memegang ujung celana Ram, wajahnya melotot menahan rasa sakit.
"Tolong, Ram!" Tunga berusaha berdiri.
"Kalian berdua tidak pernah becus bekerja. Kalian justru membiarkan musuh lolos berkali-kali. Kalian berdua bedebah tidak berguna, merusak seluruh rencanaku dan Tuan Shinpei." Ram santai menepis tangan Tunga, berdiri, mendorong tubuh sekarat itu jatuh ke lantai. "Kalian tidak berhak memperoleh apa pun di Hongkong. Akulah yang akanmengambil semuanya."
"Ram, apa yang telah kaulakukan?" Tunga berseru serak, belum mengerti.
"Hanya mengamankan bagianku. Semuanya." Ram menyeringai.
"Kau… kau pengkhianat…!" Tunga mendesis. Di sebelahnya, Wusdi bahkan sudah tidak bisa lagi mengeluarkan suara, terkapar dengan tubuh mulai kaku.
"Ayolah, siapa yang bukan pengkhianat di sini! Kalian, Tuan Shinpei, aku, semuanya." Ram melemparkan gelas plastik berisi teh panas yang telah dicampur dengan racun. "Kabar baiknya,
kalian sudah terbiasa dengan situasi ini, bukan? Pengkhianatan? Kabar buruknya, kalian dalam posisi dikhianati sekarang. Nah, tidak ada sakit hati, Teman. Tidak ada dendam. Semua hanya soal uang. Selamat tinggal."Tunga hendak menjerit penuh amarah, tapi suaranya hilang lebih dulu di kerongkongan. Wajah birunya segera pucat, dan
hanya dalam hitungan detik, dia menyusul Wusdi. Dua bedebah itu terkapar oleh persekongkolan mereka sendiri.Aku menelan ludah, mematung dari pojok kabin menyaksikan drama selama satu menit itu. Opa hanya menghela napas perlahan. Bergumam sesuatu.Dua bedebah itu telah mati. Mati begitu saja karena keserakahan, akal bulus, serta pengkhianatan yang merupakan keahlian mereka selama ini.