"Kita main trampolin aja yuk, kayaknya seru deh lompat-lompat gitu," ajak Anggi begitu bersemangat ketika melihat arena trampolin di dalam mall yang baru saja keempat gadis itu lewati.
"Buset, nanti lo pipis di kasur gimana, Nggi," celetuk Chintya.
Anggi mengerucut. "Gue udah jadi tante, bukan bocah lagi." Anggi beralih pandang pada Pelita yang sejak mereka masuk ke kawasan mall hanya diam, ketika teman-temannya asyik memilih apa pun penuh semangat, gadis itu sangat anteng seperti mannequien bernyawa. Andai tak bernapas jelas dianggap benar-benar mannequien.
Anggi menyenggol lengan Kamila, gadis itu berdecak karena hampir saja ponselnya jatuh. Bisa kehilangan nilai rupiah dengan angka nol mencapai tujuh jika ponsel mahalnya jatuh.
"Apaan sih, Anggi! Ribut sendiri!" gerutu Kamila.
"Pelita kenapa Pelita?" bisik Anggi.
Kamila dan Chintya beralih pandang pada Anggi, melihat tatapan temannya terlihat begitu kosong jelas membuat mereka iba.
"Sejak nggak punya pacar kok dia doyan banget ngelamun yah, gue takut aja nanti kerasukan setan jomlo," celetuk Chintya berbisik pada dua temannya. Pelita memang melamun dengan kedua tangan masuk ke saku jaket, ia bahkan tak sadar jika teman-temannya tengah meributkan dirinya, semua fokusnya hanya pada Karang.
"Gimana kalau kita cariin dia pacar, si Pelita kan cantik tuh, ya kali nggak ada yang mau," usul Kamila.
Anggi dan Chintya manggut-manggut, mereka melirik lagi ke arah Pelita. Salah satu tangan Anggi menarik gadis itu.
"Pelita! Lo mau jalan-jalan ke mana habis ini?" tanya Anggi sembari merangkul bahu sahabatnya.
"Ng ... jalan-jalan? Bukannya kita juga lagi jalan-jalan, kan?"
"Iya, selain tempat ini gitu, Ta. Gimana kalau kita ke pantai, lama deh nggak ke sana," usul Kamila.
"Setuju!" sahut Chintya dan Anggi serempak.
"Gimana, Ta?" tanya Kamila meminta pendapat.
Pelita menggaruk pelipisnya. "Ng ... pantai yah, kapan?"
"Sekarang aja mumpung kita nggak ada kelas."
"Eh, tapi ...." Pelita mengatupkan bibirnya, dia berpikir keras. Ada benarnya juga ajakan teman-temannya, setidaknya dia dapat menghibur diri karena masalah yang datang bertubi-tubi beberapa hari ini. Pelita harus bersyukur karena memiliki teman yang perhatian padanya, jika tak ada mereka pastinya ia lebih kosong sekarang. Gadis itu menatap temannya bergantian, lagipula rasa gelisah akibat kesalahan sendiri, harusnya ia katakan soal hubungan terlarangnya dengan Karang. Bukan terlarang, lebih tepatnya pada jalur yang salah.
Sejak semalam saja dia enggan menerima panggilan bertubi-tubi dari Karang, kenapa laki-laki itu hanya menghubunginya ketika ia butuh Pelita saja? Ketika si pemilik pertama datang, gadis itu dienyahkan jauh-jauh seolah dia hanya akan dipanggil ketika bunga pertama sudah layu. Tak ada niat serius, Karang manis di bibir saja dan Pelita makin yakin itu, kini ia sudah bertekad demi kebaikan dirinya sendiri. Lagipula jika masih bertahan, hatinya akan terus retak dan bisa hancur, Pelita sudah memutuskan.
"Ya udah deh boleh," ucap Pelita menyetujui.
"Let's go!" sahut ketiga temannya kompak, mereka melangkah menghampiri eskalator menuju lantai satu dan bergerak keluar dari mall hampiri mobil Kamila, bersiap pergi ke pantai.
***
Samsak menjadi ajang pelampiasannya hari ini, berkali-kali dua kepalan tangannya meniju benda itu hingga bergerak maju-mundur, meski peluh menetes melewati tubuh shirtless penuh tato itu, tapi Karang tetap semangat untuk memukuli benda yang memang pantas dijadikan amuk dirinya hari ini.
Sejak pertengkarannya dengan Pelita malam tadi—apalagi gadis itu memilih pulang bersama Rangga, membuat Karang benar-benar kesal. Ia tak mungkin mengidahkan jika dirinya tak cemburu, jelas ia cemburu, jika Rangga bukanlah teman yang ia tunjuk sebagai penjaga gadis itu maka bukanlah samsak yang jadi sasaran kekesalannya pagi ini.
Permintaan Valerie saja sudah membuatnya menggila dalam sekejap, ditambah Pelita yang mulai menjauh darinya. Ia merasa dilema karena berhadapan dengan dua wanita sekaligus, ia bodoh! Harusnya pilih salah satu saja!
"Lo nggak ke kampus hari ini? Lo nggak mau temuin Pelita terus minta maaf?" Pertanyaan itu membuat Karang menghentikan aksinya pada samsak, kedua tangannya memegangi benda yang menggantung itu agar diam.
Ia menoleh pada Rangga yang bersandar pada pintu sembari meneguk jus jeruknya lagi pagi ini.
Karang mengembuskan napas, ia melepas sarung tinju yang membelit tangannya sebelum meraih handuk kecil di sebuah kursi kayu besi panjang yang terletak persis di dekat pintu. Karang lantas duduk dan mengusap keringatnya dengan benda itu.
"Cewek itu kalau marah ya lo deketin, lo bilang yang lembut-lembut, minta maaf yang baik. Bukannya gini, malah ngamuk. Salah gue?" Rangga memilih duduk di sebelah Karang setelah jus jeruknya benar-benar habis.
Lagi-lagi Karang tak menyahutnya, ia meraih gelas berisi jus jeruk di sebelahnya lantas meminum benda itu sedikit.
"Lo maunya sama siapa sih?" tanya Rangga penasaran, "bukannya tujuan lo sama Pelita cuma karena mau buat itu si Ar—"
"Nggak usah dipertegas." Satu tangan Karang membungkam mulut Rangga, lalu meluruh lagi setelah temannya itu baru diam.
"Woles, atau emang lo benar-benar udah cinta sama dia? Jadi, nggak bisa lepas?"
Karang menyugar rambutnya yang basah oleh keringat, "Kalau iya, kenapa?"
"Lo serius? Bukannya lo itu udah perfect couple sama Valerie, bulan depan dia minta dikawinin, kan?"
Mendengar penuturan Rangga yang mengingatkannya akan permintaan Valerie membuat laki-laki itu memijat keningnya sendiri, ia benar-benar pusing.
"Intinya aja, pilih salah satu. Kasihan sama Pelita, dia cuma korban. Lagian bukan salah dia mutlak, yang salah kan—"
"Rangga!" hardik Karang, temannya itu terlalu banyak bicara.
"Ampun, Mas! Lo tahu di mana Pelita sekarang?"
Karang menoleh, "Bukannya lo yang gue suruh buat jagain dia, hm? Kenapa ada di sini."
"Gue bukan bayangan yang bisa ikutin dia ke mana-mana."
Karang berdecak, "Mana hape lo?" Tangannya menengadah pada Rangga.
"Kenapa musti hape gue?"
"Dia nggak mau angkat telepon gue, kalau enggak lo yang telepon sekarang. Tanyain dia di mana biar gue yang samperin."
"Ganteng-ganteng tapi nggak modal." Rangga meletakan gelas kosong itu lalu merogoh ponselnya dari saku celana. Ia menghubungi nomor Pelita.
Dengan sabar keduanya menunggu hingga panggilan itu diangkat.
"Hallo, ada apa, semut?"
Rangga menatap sekilas Karang yang begitu antusias memperhatikannya, jika tak ada Karang jelas ia akan menggoda gadis itu.
"Lo di mana, Ta?"
"On the way."
"Ke mana?"
"Beach with my bitch." Terdengar kekehan geli dari teman-teman Pelita.
"Ya udah." Rangga mematikan ponselnya, ia menatap Karang. "Dia lagi jalan ke pantai katanya, pasti stres gara-gara elo nih."
"Pantai?" Karang beranjak keluar dari ruangan itu dengan tergesa.
***
Benar saja, di pantai bersama ketiga temannya membuat Pelita sangat bahagia. Dia bisa melupakan masalahnya untuk sejenak.
Dengan penampilan cukup berani hanya mengenakan tank top serta hot pants gadis itu asyik berfoto ria dengan teman-temannya. Lagipula penampilan yang lain juga seksi, kenapa ia tidak? Dulu ia juga sering begitu saat hang out hanya dengan mereka, bukan laki-laki. Tak ada yang patut ditakutkan untuk hal itu.
Kini Pelita terlihat berlarian dikejar debur ombak sambil tertawa lepas, ide ketiga gadis itu sangatlah cemerlang hingga kadar kegelisahan Pelita lenyap dalam sekejap, seolah tak ada awan hitam di atas kepalanya.
Chintya dan Kamila terlihat berbaring di permukaan pasir seraya kenakan kacamata mereka sebagai pelindung dari mentari yang mulai mengganas, mereka tak ubahnya seperti Pelita yang mengenakan hot pants dan tank top. Sedangkan Anggi berselfie ria membelakangi debur ombak yang sedang menghampirinya.
Tak ada kesedihan yang terpancar dari wajah keempatnya, hari ini harus bersenang-senang!
Pelita terlihat menghampiri Anggi dengan langkah yang cukup berhati-hati, ia ingin mengerjai gadis itu hingga tiba saatnya Pelita merebut ponsel Anggi dan berlari menjauhinya ke arah laut.
"Hey! Kenapa hape gue diambil, Ta!" seru Anggi bertolak pinggang.
Pelita menjulurkan lidahnya dengan riang seraya mengangkat ponsel Anggi. "Ambil kalau lo mau, atau buat selfie sama ikan paus aja kali ya!" seru Pelita terus berlari ke tengah laut.
"Kurang ajar lo, Ta! Balikin!" Anggi mengejar gadis itu, sedangkan dua teman mereka yang lain justru tertawa melihat tingkah anak-anak yang ditunjukan keduanya.
"Nih ambil nih!" seru Pelita terus meledek Anggi, ketika Anggi hampir bisa meraihnya gadis itu berlari ke bibir pantai. Ia sudah basah oleh debur ombak yang terus berlarian seperti keduanya.
"Awas lo, Ta! Kalau kena bakal gue tenggelamkam sekarang juga!" kelakar Anggi sembari tertawa.
"Takut, mama ... takut." Pelita juga tertawa, mereka benar-benar riang saat ini.
***