Sudah pukul sebelas malam, tapi matanya enggan terpejam. Tak biasanya Pelita begitu, sedari tadi ia berguling di tempat tidurnya sembari mengecek ponsel yang sama sekali munculkan notifikasi masuk dari nomor seseorang, padahal Pelita sangat berharap. Karang alasan di balik kegelisahannya hari ini, tiba-tiba saja laki-laki itu jadi aneh. Ada yang salahkah?
Jika Pelita punya salah, katakan saja. Sudah sepantasnya seperti itu, hari ini Karang membuat kesalahan, tapi sama sekali tak ada perkataan maaf apalagi mengirimnya pesan chat. Hanya satu pertanyaan di kepala Pelita, dia ke mana?
Pelita serba salah, ia ingin menghubungi lebih dulu tapi takut jika Karang sedang bersama Valerie, bisa-bisa hubungan mereka terbongkar padahal ia baru saja jatuh cinta dengan laki-laki itu, perasaan yang sudah seharusnya diperhatikan, tapi justru tak dipedulikan, miris.
Pelita menatap kontak nomor bertuliskan Manusia Batu, dia menghela napas panjang. Sesak dan sesak, hanya itu yang ia rasa sepanjang hari. Menjadi seseorang yang disembunyikan atau sebenarnya disembunyikan hingga tak ingin ditemukan lagi?
Sebuah nomor tanpa nama menghubunginya, gadis yang hanya mengenakan tank top serta celana pendek itu beranjak, dia menempelkan ponselnya ke dekat telinga kiri.
"Hallo, ini siapa?" sapa Pelita.
"Semut kesayangan elo, Rangga." Terdengar kekehan geli Rangga.
Pelita memutar bola mata. "Oh, elo. Ada apa malam-malam telepon?"
"Nah elo ngapain malam-malam angkat telepon? Ini jam berapa, kenapa belum tidur."
"Gue, gue nunggu kabar dari teman lo itu."
Rangga tak berucap, ada jeda keheningan antara mereka. "Gue nggak tahu, dia belum pulang ke apartemen."
Pelita makin teriris. "Oh, mungkin nggak sih jam segini dia masih sama Valerie?"
"Gue nggak tahu, Ta. Kalau lo mau gue cari dia ya sekarang gue bakal cari kok, nomornya nggak aktif."
"Nggak usah, udah malam. Mending istirahat, mungkin Karang emang lagi sibuk banget sampai lupa kasih kabar."
"Lo sedih?"
"Apa ada perasaan lain yang bisa menggambarkan hal itu, gue cuma takut satu hal ...."
"Soal dia cuma mainin lo, itu?"
"Iya." Tiba-tiba saja Pelita terisak, entah bagaimana air mata itu mendobrak keluar dari sarangnya, sepertinya Rangga mendengar isakan itu hingga memilih untuk diam. Gadis itu mengusap air matanya, untuk apa cengeng demi orang yang bahkan tak kunjung memberinya kabar, tak peduli seberapa besar rasa khawatir Pelita sekarang.
"Hallo, Rangga." Pelita menatap layar ponselnya, ternyata panggilan itu sudah berakhir entah sejak kapan, pasti Rangga yang mematikannya.
***
"Selamat ya, lo menang lagi," ucap Dimas—teman kuliah Karang yang baru saja menyalami laki-laki itu dan memberikan amplop cokelat cukup tebal.
"Thank's," balas Karang, ia masih bertengger di jok motornya. Motor kesayangan yang selalu ia titipkan di rumah Dimas dan hanya Karang pakai jika ada balapan liar saja, dia itu raja jalanan.
Seorang laki-laki seumuran mereka juga menghampiri mereka sambil menggandeng seorang gadis berpenampilan seksi, hanya mengenakan tank top serta rok mini, mencetak jelas lekuk tubuhnya. "Karang!" seru laki-laki itu, dia melempar senyum pada keduanya—lantas menyalami mereka satu per satu.
"Siapa?" tanya Dimas, menatap gadis itu dari ujung kaki hingga kepala sebelum bersiul seperti baru saja menemukan sesuatu yang menyenangkan.
"Hadiah buat Karang."
Karang yang baru selesai menghitung jumlah uang hasil kemenangannya malam ini mengerutkan kening. "Hadiah? Gue udah dapat hadiahnya, ini." Karang mengangkat amplop cokelat itu.
"Hadiah plus-plus, silakan bawa pulang," celetuk Afsen.
Dimas terlihat berbisik. "Lumayan tuh buat temenin lo tidur, sendirian, kan?"
Karang hanya diam, mengamati gadis itu dari ujung kaki hingga kepala. Haruskah ia membawa pulang piala bernapas itu? Ia memang sedang banyak pikiran hari ini, apalagi permintaan Valerie siang tadi benar-benar membuatnya gila seketika. Dia langsung lupa janjinya pada Pelita karena keinginan Valerie, dia juga yang mabuk sekadar menghilangkan rasa peningnya, untungnya malam ini masih sanggup menang balapan.
Sambil terus mengamati gadis berpenampilan seksi itu, di mata Karang tiba-tiba wajah gadis itu berubah menjadi wajah Pelita, sepertinya pandangan laki-laki itu mulai tak keruan lagi oleh efek samping alkohol sore tadi yang ia minum dengan Dimas dan beberapa teman lain di toko retail.
Karang mengulas senyumnya. "Ayo, ikut gue pulang," ajak Karang setelah benar-benar yakin bahwa gadis yang dilihatnya itu adalah Pelita.
"Wow! Karang bergerak cepat," seru Dimas terlihat senang.
Dengan senang hati gadis itu menghampiri Karang dan menaiki motornya, bahkan ketika kedua tangannya melingkar tanpa canggung pada pinggang laki-laki itu ternyata Karang hanya diam seolah mengizinkan.
"Ya udah sana, bawa pulang piala lo malam ini. Jangan lupa bahagia," seru Afsen. Ia dan Dimas terbahak.
Karang memasukan amplop cokelat ke dalam saku jaketnya, lalu mengenakan helm hitam miliknya srbelum ia memutar kontak dan menghidupkan mesin, bersiap untuk pulang.
Dia tak tahu, sama sekali tak tahu bahwa gadis itu tengah menangis saat ini di sebelah Rangga, mengamatinya dari jauh karena tak ingin orang lain tahu bahwa ia juga kekasih Karang.
"Gue bakal bawa dia ke sini, Ta. Lo tunggu aja!" janji Rangga ikut geram dengan perbuatan Karang, ia melenggang meninggalkan Pelita yang kini duduk meluruh sambil bersandar pada tembok bangunan tua yang terletak di dekat arena balap liar itu.
Pelita menenggelamkan kepala di antara celah lutut yang ia peluk, sangat menyayat melihat bagaimana Karang mempersilakan gadis itu ikut dengannya malam ini. Pelita melihat gadis itu seperti dirinya yang juga piala atas kemenangan Karang melawan Ardo hari itu, apakah ia juga termasuk perempuan murahan?
Ia malu, ia merasa seperti gadis murahan yang menjadi sebuah piala lalu bisa diperlakukan sesuka hati. Apa perlakuan Karang kepadanya juga termasuk bagian dari efek karena ia hanyalah sebuah piala, jadi Karang berhak melukainya sesuka hati.
Rasa sakit itu kian menjalar ke sekujur tubuh, untung saja Rangga datang ke rumahnya, jadi ia bisa melihat alasan kenapa Karang mengabaikannya. Setelah Rangga mendengar isak tangis Pelita dari teleponnya tadi, laki-laki itu beringsut menjemput Pelita di rumahnya, untung saja gadis itu bisa keluar secara sembunyi-sembunyi apalagi sekarang waktu mendekati angka dua belas. Seharusnya di jam-jam seperti itu memang seorang gadis tak diperbolehkan keluar malam, tapi Pelita punya alasan kuat kenapa menerobos keluar, hanya Karang.
"Turun lo!" Rangga menarik jaket Karang, lalu menatap gadis yang menggelayut manja di punggung Karang. "Lo juga, turun!"
Gadis itu berdecak, merasa kesenangannya diganggu, tapi ia memilih turun. Karang melepas helmnya dan menatap Rangga dengan kening berkerut.
"Lo ngapain di sini?" tanya Karang.
"Udah cepetan turun, ada yang mau gue bilang."
Karang akhirnya turun dan mengikuti langkah Rangga yang menyebrang jalan menuju rumah tua.
"Lo jalan ke sana, nanti lo bakalan nemu sesuatu," perintah Rangga sembari menunjuk arah di mana Pelita tengah terisak.
Karang mengikuti keinginan Rangga, melangkah ke area belakang gedung hingga tertegun menemukan seorang gadis tengah duduk bersandar pada tembok sembari memeluk lututnya dan menangis. Meski wajahnya tak terlihat.
"Lo siapa?" tanya Karang datar.
Pelita mengenali suara itu, dia menengadah, menemukan Karang yang berdiri di depannya.
Karang tertegun sekarang, jadi gadis itu adalah Pelita? Bagaimana bisa dia berada di tempat itu, bagaimana bisa dia menangis?
Pelita beranjak, ia mengusap air matanya lalu menatap Karang.
"Aku? Aku siapa? Aku Pelita, masih inget kan kalau aku juga piala, piala yang mungkin sebentar lagi cuma jadi pajangan karena udah usang, ngebosenin dan nggak menarik buat dilihat," aku Pelita tanpa canggung, ia merasa harus berkata demikian karena perbuatan Karang cukup keterlaluan.
Karang terdiam, ia baru sadar jika gadis seksi itu bukanlah Pelita apalagi bukti nyata sudah berada di depan mata. Ternyata pandangannya yang salah, lagipula Pelita lebih suka mengenakan celana berlutut robek daripada rok mini. Meski tidak untuk malam ini, gadis itu masih mengenakan tank top putih serta celana pendek yang akan menemaninya tidur, tapi kali ini cardigan abu-abu sedikit melindungi tubuhnya.
"Nggak mau ngomong? Oke, kalau gitu biar aku aja yang ngomong," ucap Pelita dengan emosi yang berapi-api.
"Lo ngapain di sini?" tanya Karang datar, cara menyebut gadis itu juga berubah lagi, tak semanis saat ia memanggilnya aku-kamu.
"Kenapa nggak dipikirin sendiri atau cari alasannya sendiri."
"Lo nyariin gue." Pernyataan yang pas.
"Iya." Pelita menghela napasnya. "Untuk patah hati."
Karang menatap lekat eboni terang itu, ada kepedihan yang terselip jelas di sana. Bagaimana air mata juga jadi saksinya, tapi benarkah itu Pelita? Benarkah Pelita datang tengah malam ke arena balap liar hanya untuk mencari dirinya, Karang baru sadar ternyata sudah ada kemajuan besar dalam diri gadis itu.
"Ayo kita pulang." Bukannya menjelaskan—malah meraih tangan Pelita, seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, Pelita menepis tangan Karang. Membuat si pemilik menatapnya tajam, mata elang Karang mendadak muncul. Sayangnya gadis itu tak takut kali ini, ia sedang mencari keadilan untuknya.
"Aku bisa pulang sendiri, kaki aku masih utuh dan sanggup berjalan. Bukannya Kakak harus pulang sama perempuan itu, kan? Piala Kakak yang entah keberapa."
Deg!
Ucapan Pelita menusuk Karang, mata elang itu menghilang digantikan oleh raut sendu. Pelita berkata apa tadi, Piala yang entah keberapa?
Satu kosa kata saja, Piala. Iya, sekarang Karang tahu alasan di balik mata Pelita yang baru terbaca olehnya. Patah hati itu, rasa kesal itu semua karena sebuah kosa kata.
"Gue anter lo pulang, dia nggak jadi," ucap Karang seolah sudah menemukan pengganti si piala, seolah si piala baru sudah tak penting lagi setelah menemukan piala yang lama.
"Kenapa nggak jadi, karena ada aku, hm?" Pelita tertawa hambar sembari menatap sekeliling. "Jangan canggung gitu dong, aku aja udah lihat semuanya. Bukannya tadi udah niat pulang bareng ke apartemen kan? Habis itu ...." Pelita mengatupkan bibirnya, ia menatap Karang dengan alis bertaut lalu mendaratkan tangannya pada wajah itu.
Plak!
"Kakak nggak punya hati!" maki Pelita, dada gadis itu bergemuruh, ia tak sanggup menahan kekesalannya lagi dan melampiaskannya saat ini.
Karang menelan ludah, lumayan sakit, tapi tak mungkin ia membalasnya. Ia menarik Pelita ke dalam rengkuhannya meski gadis itu berusaha lepas justru ia kian mempererat pelukannya, Karang sadar ia sudah berbuat kesalahan.
"Ngapain peluk-peluk, udah sana pulang sama perempuan itu aja. Salah satu piala, Kakak. Bukannya dulu cara Kakak dapetin aku juga kayak gitu, kan? Aku cuma piala! Aku cuma piala yang udah usang lalu dibuang!"
Karang melepas rengkuhannya, mencengkram kedua lengan Pelita bersamaan tatapan elang yang kembali muncul. "Lo ngomong apa sih! Dia sama lo beda! Gue sayang dan cinta sama lo tapi nggak ke dia! Gue nggak punya hati dari mananya sih?"
Pelita kembali menangis, "Aku anggap kalau aku sama gadis itu sama, Kak! Kami didapatkan karena Kakak menang balapan, dan semudah itu Kakak permainkan. Bukannya begitu, kan? Pukul aku kalau emang salah ngomong."
Otak Karang mulai memanas mendengar ocehan gadis itu apalagi efek mabuknya masih begitu terasa, ia makin mencengkram kuat lengan sang kekasih seolah meremas cucian.
"Argh!" pekik Pelita kesakitan.
"Mau lo apa sih! Mau lo apa datang ke sini marah-marah! Lo nggak ngerti gue kayak gini karena lagi banyak pikiran, seenak hati lo nuduh gue yang enggak-enggak! Jaga batasan lo!"
Kalimat terakhir membuat Pelita tertegun, air matanya meluruh kian deras. Dia tertawa hambar setelah menyadari posisinya sekarang.
"Iya, Kakak benar. Harusnya aku jaga batasan, aku tuh cuma selingkuhan. Nggak berhak atur-atur apalagi protes kalau pacarnya punya mainan baru, Valerie aja nggak tahu apa-apa dan jelas nggak peduli. Jadi, aku sangat salah atas semua hal hari ini? Salah kalau aku peduli, takut, cemas. Satu hal lagi, sepertinya cinta sama Kakak juga sebuah kesalahan." Dengan mudah Pelita menepis kedua tangan Karang yang mengendurkan cengkramannya setelah lemas mendengarkan ucapan Pelita, gadis itu melenggang pergi begitu saja.
Tak peduli bagaimana perasaan Karang setelah mendengar semuanya.
Karang hanya harus sadar, Pelita sudah sangat menyukainya.
***