Aku duduk dengan gelisah di salah satu bangku panjang dibawah pohon birch yang rindang. Aku sedang menunggu seseorang yang sejak dua jam yang lalu menelponku tanpa henti. Dan dengan seenaknya dia membuatku penasaran sekaligus cemas dengan keadaannya sekarang. Ck.
Awalnya aku menikmati waktu dengan membaca beberapa tugas yang belum ku kerjakan serta mendengarkan alunan melodi yang berasal dari musik di ponselku. Namun, rasa penasaran--- lebih tepatnya cemas menyerangku kembali. Ah, orang yang sedang kutunggu ini bukanlah dosen ataupun orang penting tapi dia hanya temanku di SMA. Dia yang selalu ada untukku walaupun kadang tak sering ia membangkitkan emosi dalam diriku. Sangat menjengkelkan memang tapi aku suka.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dari sebelah kiri. Aku tahu itu dia. Aku terus melanjutkan aktivitasku tanpa terganggu dan mengacuhkan dirinya. Siapa suruh membuatku menunggu?
"Hai! Udah lama nunggu? Maaf ya tadi ada dosen yang ribet," gerutunya sambil mengatur nafas
Aku tak langsung menjawab karena daritadi aku tidak mendengar apa yang ia ucapkan. Telingaku tersumbat earphone.
Ku menoleh ke sebelah kiri. Terlihat wajah lelah, kesal, dan lucu menjadi satu. Kenapa aku selalu senang saat melihat wajahnya yang seperti ini?
"Kalau dateng telat nggak usah nelpon bolak-balik deh. Aku juga masih ada urusan habis ini." Ku palingkan pandangan ke air mancur di depan kami, "Nggak bosen ketemu terus?"
"Nggak."
Satu kata beribu makna.
"Aku nggak bosen ketemu kamu dan nggak akan pernah bosen," ucapnya merebut benda persegi panjang di genggamanku
Perbuatan itu lantas mengundang kemarahanku. Sungguh tidak sopan merebut barang milik orang lain dengan seenaknya. Kalian tahu apa yang dia lakukan sekarang? Tertawa lepas sembari menjauhkan benda itu dari jangkauanku. Sesekali ia mengecek isi ponselku sambil tersenyum tengil. Hal yang paling aku benci.
"Kembaliin nggak? Kembaliin Ga," kataku berusaha merebut kembali milikku
"Ayo sini. Hahaha." Dirga berlari menjauh dan alhasil kami berkejaran mengelilingi taman
Ā
āæCapricornāæ
Ā
"Capek ya? Kesel? Hmm ngambek nih?" tanya pemuda yang sedikit lebih tinggi dariku sembari memainkan pipiku
Kami berjalan beriringan menuju ke rumah kosku. Tak jauh dari kampus tapi lumayanlah jika ditempuh dengan jalan kaki. Sebelumnya Dirga membeli beberapa jajanan untuk menemani perjalanan kami. Dia terus berbicara kontras dengan ekspresinya yang sulit dijelaskan. Yang jelas dia lelah. Berbicara tentang apapun. Entah itu masalah kuliah, makanan apa yang tadi ia makan, rencana minggu ini dengan teman-temannya dan masih banyak lagi. Aku sendiripun bingung harus merespon seperti apa. Akhirnya, pemuda itu berhenti bebarengan dengan cilor yang habis ia telan.
"Kamu nggak sakit, kan?" Tangannya terulur ke dahiku memeriksa apakah aku sakit atau tidak, "Tumben nggak nyaut. Biasanya juga nggak mau kalah."
"Kamu belum jawab pertanyaanku," ucapku alih-alih menjawab
"Yang mana?"
"Kenapa sih kamu selalu gangguin aku? Emangnya nggak ada kerjaan lain gitu yang lebih bermanfaat? Waktu aku tersita tau nggak gara-gara kamu," omelku
"Gitu juga kamu seneng ya, kan? Bisa ketemu orang ganteng," balasnya dengan tingkat kepercayaan diri yang amat tinggi
Enyahlah kau, Dirga.
Tapi benar juga. Setiap ada kesempatan untuk bertemu aku sangat menanti momen apa yang akan terjadi dengan kami berdua dan kembali mengharapkan itu lagi pada Tuhan.
Lucu sekali mengingat aku dan dia hanyalah teman. Tidak lebih. Namun, aku benar-benar sebahagia itu bila bertemu dengan penjaga ku itu.
"Rumi." Kini tangannya menggenggam tanganku yang bebas
Menaikkan sebelah alis aku menatap manik legam itu. Seketika ku tenggelam dalam netra seluas samudera tersebut. Aku suka matanya yang tenang bagai sungai tanpa riak. Aku suka tatapan yang mengandung candu itu. Matanya yang selalu aku rindu.
"Please ngomong ada apa? Aku khawatir sumpah. Sikapmu yang kayak gini tuh bikin aku takut," katanya dengan nada membujuk
"Tumben perhatian." Ku memilih berjalan mendahuluinya setelah meninggalkan seulas senyum sarkastik padanya
"Kok mal-- Hei tunggu!" teriak Dirga mengejarku
Sesampainya di depan gerbang, langkahku terhenti. Sedikit ku tengok apakah dia masih mengikutiku atau beranjak pulang karena kesal kutinggal tadi. Sekilas tak ada tanda-tanda pemuda itu tapi--
"Duuarrr!"
Sontak aku kaget dan berbalik badan. Ya Tuhan dia lagi. Dengan wajah tanpa dosa tertawa cekikikan meledekku.
"Stop Dirga! Ini udah malem. Kamu mau tetangga sebelah ribut hah?" Aku menepis tangan kekar itu dari pundakku dan ku dorong tubuh bongsor itu sekuat tenaga, "Besok lagi ya. Sana ntar dicariin Teteh ih."
"Kok diusir? Aku masih pengen ngomong, Rum." Wajahnya berubah memelas. Kasihan.
"Apa? Cepet," ucapku menghela nafas kasar
"Jangan lupa besok jam 4 sore di kafe biasa. Aku traktir oke?"
"Kamu ulang tahun?" tanyaku
"Lupa?" Dia memasang ekspresi kaget
"Ya apa coba? Jarang lho kamu ngeluarin uang apalagi buat traktiran," jawabku jujur
Dia malah tersenyum lebar hingga gigi-giginya yang putih terlihat. Manis.
"Sekali-kalilah ngerayain satu tahunnya kita. Udah ya aku pulang dulu. Bye~"
Kemudian pemuda konyol itu pergi. Meninggalkan sejuta pertanyaan.
Apa yang dia bilang?
Satu tahun?
Kita?
Aku dan Dirga?
ā To be continued ā
š¦Na Jaemin as Perwira Dirga Adiaksa
Anak arsitektur, cuek, nyebelin, pendiem (kecuali sama Rumi), nggak suka keramaian, ambisius, Gantengš
š¦Park Seo Joon as Agisna Rumi Nafisha
Anak sastra Indonesia, manja, cerewet, keras kepala, bodo amatan, cengeng, partner jalan-jalan Dirga (Terpaksa), Cantikš