Dia yang diam-diam selalu datang dan memperdulikan kita saat kesusahan.
***
Sejak malam itu, Egi telah mengetahui rahasia Calista. Mulai dari gadis itu pindah ke sekolah, hingga dia menghindari masa lalu dan berniat ingin hidup tenang sendiri di kota baru. Calista jadi tidak banyak bicara selama berada di perjalanan menuju ke sekolah pagi itu. Mereka asyik menikmati setiap pemandangan jalanan pagi yang masih segar. Sedangkan di belakang mereka ada Nathan dan Anggun yang lebih berisik sama sekali tak mengganggu aktifitas masing-masing. Calista masih memikirkan dan mencerna setiap kata yang disampaikan oleh Egi untuk dirinya termasuk saran juga. Entah kenapa cowok itu jadi sedikit peka dan peduli padanya.
"Kamu harus berbicara dengannya empat mata, Elssa!" Egi mengatakan dengan serius. Calista yang sedang duduk di tepi kolam bersama Egi malam itu nampak memperhatikan bintang. "Aku gak bisa, Egi," jawabnya ragu.
Egi menoleh, menatap Calista dengan pandangan tak suka. "Jangan pernah katakan gak bisa. Tandanya kamu belum siap menghadapi masa lalumu. Lakukan saja sesuai kata hatimu, katakan saja sesuai kata hatimu. Aku yakin, kalau kamu tidak secepatnya bertanya akan terlambat bagimu menyadarinya."
"Kalau aku harus mengikuti kata hati. Sedangkan hatiku saja tidak tahu arahnya, gimana caranya aku bisa mengikuti kata hati jika sudah terpecah menjadi seribu? Kata hati mana lagi yang harus aku ikuti? Semua udah beda, asal kamu tahu itu."
Egi tersenyum, menangkup wajah Calista yang tak menatapnya sama sekali.
"Dengarkan aku, terkadang kita sering kali dibuat kecewa oleh seseorang. Di balik rasa kecewa itu kamu akan sadar, mana yang baik dan harus dihindari. Tapi, kita tidak bisa terlalu lama hanyut hanya sekadar luka di masa lalu yang belum sempat kamu selesaikan. Setidaknya kamu masih mempunyai niat untuk bersilahturahmi. Sambunglah komunikasi yang baik, tidak akan sesusah itu, kan? Kalau kita terus menghindari, hidup kita tidak akan tenang. Masa lalu selalu menjadi bayangan dan orang yang membuat luka juga akan terkena karma jika dia tidak ingin memperbaikinya. Bukan berarti harus kembali seperti dulu, melainkan menjaga tali persaudaraan itu penting. Seperti kamu sama hantu, kalau kamu baik sama mereka dan selalu membantu tugas mereka. Apa akan ada balasan dari semuanya, kan? Buktinya sudah ada tadi kamu diberi tanda. Vano datang tidak hanya ingin kembali lagi seperti dulu, tapi ada motif tertentu yang tidak kamu ketahui. Maka cari tahulah, sebelum semua terlambat."
Calista tercengang, baru kali ini Egi benar-benar mengerti seperti menjadi seorang penasehat untuknya. Sampai pagi itu, kata-kata yang Egi lontarkan padanya terus tersimpan di dalam benaknya.
"Woi, kalian pada sariawan kok dieman seperti orang marahan?" Nathan, cowok si pembuat receh itu mengadu-adu suasana. Anggun yang sedang duduk di sampingnya hanya bisa terkekeh geli. Wajah Calista datar, tanpa ingin menatap ke belakang. Sedangkan Egi, hanya diam melihat dari kaca spion atas.
"Emang kalau saling suka trus pada bingung sama perasaannya gini, diem-dieman pada mikir pasti dia suka aku gak, ya? Cowoknya mikir caranya nembak ceweknya gimana, ya?" Nathan memperagakan gaya pola pikiran Calista dan Egi, serta menirukan suara keduanya yang dibuat-buat.
"Receh!" komentar Egi, melirik sekilas dengan tatapan tajam.
"Benar tapi, kan? Ngaku aja kalian berdua! Semalam aku lihat kalian pada di tepi kolam duduk berdua tanpa sepengetahuan kita. Malam-malam kumenunggu," senang rasanya menjadi cair suasana ketika Nathan mulai menggila. Cowok itu suka sekali mengusili saudaranya dengan candaan receh semacamnya.
"Nath, hobimu harus banget recehin orang? Oh, tenang, aku ada uang recehan buat kamu, nih!" Calista merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan beberapa kelinting recehan untuk dia berikan kepada Nathan, alhasil tawa Egi dan Anggun pun meledak saat mendapati ekspresi melas Nathan.
"Pengemis banget ya, Cal?" sahut Anggun puas.
"Abisnya, jadi orang gak bisa diem mulutnya. Apa mau aku kasih filter, nih? Nanti aku beliin cabe di kantin yang biasa buat sambel penyetan aja mau? Enak buat ngefilterin mulut yang bawel itu," cengir Calista makin melebar, kala Nathan sudah melipat kedua tangannya di depan dada dan mengunci rapat mulutnya tanpa banyak berkomentar lagi.
***
Ketika bel sudah berbunyi, mereka sudah memasuki kelasnya. Egi melirik ke arah Calista, menyuruh gadis itu agar berbicara dengan Vano. Namun, Calista malah sibuk berbicara dengan Pricil. Sepanjang pelajaran mereka sama sekali tak membahas masalah rumit. Mereka lebih memilih fokus dan berdiskusi meskipun jam sedang kosong. Ketika waktu istirahat tiba, Calista menggeret Vano agar mengikutinya di halaman belakang. Sejak pelajaran tadi memang dia tidak ingin kentara oleh Vano, membiarkan cowok itu diam oleh kesibukannya terlebih dahulu. Kini adalah puncak ketegangan di saat Vano sudah berdiri di depannya sambil memasukkan kedua tangan di saku celana dan menatap Calista dengan tantangan.
"Ada apa? Kamu ingin berbicara sesuatu denganku?" tanya Vano seraya mengintimidasi Calista. Calista berdeham pelan, berusaha tidak gugup di depan Vano saat menjelaskan. "Aku ingin bertanya, tujuanmu pindah kesini untuk apa?" tanya Calista pada point pertamanya.
Ada senyuman mengejek di ujung sudut bibir cowok itu. "Aku..." jedanya sambil menunjuk dirinya sendiri. "Sudah pasti karenamu, Elssa." Calista yang merasa di tunjuk oleh jari cowok itu hanya bisa tersenyum miring.
"Selain itu? Apa kamu disuruh oleh mama dan papaku? Ingat ya, aku gak akan setuju jika mereka akan memaksaku kembali. Apa yang kalian lakukan tak sepantas dengan jalan pikiran? Aku benci kembali pada kehidupan dulu, lebih baik katakan pada mereka aku akan pergi jauh. Terutama kamu, tidak akan bisa memaksaku kembali!" Calista menunjuk dada Vano dengan kasar, mata gadis itu tajam, mengisyaratkan kebencian dengan adanya rasa kecewa.
"Luka apa yang harus aku obati Elssa? Sampai kamu sadar, bukan aku yang melakukan itu semua!" bentak Vano, wajahnya benar-benar menahan emosi. Hal ini sama sekali tidak membuat Calista mundur dari langkahnya. "Terserah apa katamu, kamu menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi keluargaku! Aku tahu tujuan awal kamu mendekatiku, karena aku menarik di matamu, bukan?" Calista mendekatkan wajahnya ke arah Vano, matanya terlihat sangat menyeramkan dari sebelumnya.
"Jangan tatap aku seperti itu!" Vano menolak tatapan menghujam Calista. Namun, gadis itu menjauhkan wajahnya diiringi seringai misterius.
Vano terdiam, matanya melirik kanan kiri, takut ada seseorang yang menguping. "Elssa, kamu gak sadar kalau keluargamu itu juga keturunan paranormal yang menipu orang-orang bukan? Itu sebabnya kamu malu dilahirkan dari keluarga seperti mereka! Kamu, memilih kabur ke kota baru dan mengganti nama panggilanmu. Sedangkan aku? Hanya penikmatnya saja, aku tidak sekejam keluargamu, Elssa!" Vano tak mau kalah, dia mengungkit masa lalu mereka.
'PLAK!' sebuah tamparan langsung mendarat di pipi mulus cowok itu. Tapi, entah kenapa tangan Calista yang membiru. Cowok itu sama sekali tak merasa kesakitan, hanya mengelus pipinya pelan dengan wajah datar.
"Ternyata kamu sudah tahu motif kedatanganku kesini, Elssa?" Vano menampilkan seringaiannya, sifat asli cowok itu kelihatan. Tidak seperti yang dia kenal dulu.
"Aku tidak sendirian, Elssa!" Lalu dia membisikkan tepat di telinga Calista, membuat gadis itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Apa maumu, VANO!" teriak Calista, setelah kepergian Vano yang meninggalkannya usai membisikkan sesuatu di telinga. Calista juga melihat bekas tangannya yang masih membiru, mata gadis itu memincing punggung Vano, berbalik menatap ke arah Calista. "Kamu akan tahu, bersama permainanku."
Setelah itu, Calista hanya bisa menunduk lemas. Kejadian yang tak ingin dia ulangi lagi. Pada akhirnya akan muncul kembali, membuat dirinya merasa bersalah. Membuat Calista harus menjadi lemah. Calista benci itu, dia tak ingin melakukannya untuk kedua kalinya.