Mungkin, dulu kamu adalah prioritasku ketika kamu datang di kehidupanku. Laun waktu memakan kita, dan aku tahu kamu bukan lagi prioritas utama yang harus aku perjuangkan lagi seperti dulu.
***
Kurasa tempat ini tidak cocok untuk gadis sepertiku. Ramai, berkumpul, teman, bergurau, bercanda, tertawa dan bahagia. Semua orang sibuk dengan dunianya, hanya saja aku terjepit dalam dunia yang luas ini. Kaki jenjangku terasa kaku, saat mereka mulai mengalihkan perhatian ke arahku. Aku gugup, dengan menundukkan kepala malu. Mereka sungguh seperti menganggapku orang aneh, dan aku bisa merasakan sangat terasingkan.
"Hei, kamu ingin lari dari kenyataan lagi? Sampai kapan kamu mau bersembunyi di duniamu yang sempit itu. Lihat mereka sedang memusatkan perhatiannya ke arahmu. Tandanya, mereka ingin berteman denganmu. Bener gak, teman-teman kalau kalian mau berteman sama Elssa?" Vano, dia cowok yang sangat tampan di sekolah, ramah, baik, tidak sombong, idaman para gadis di sekolah.
Aku hanya bisa tergugup malu, menundukkan kepala dalam-dalam. Seketika pergerakan tangan Vano membuatku menegang, seperti terkena sengatan listrik. "Tunjukan kepalamu pada dunia. Jangan menganggap dirimu makhluk paling rendah, sehingga kamu takut untuk berbaur dengan mereka. Kita semua sama manusia normal. Tidak ada yang membedakan kita selain jenis kelamin, tapi apa salahnya jika cowok dan cewek bisa menjadi teman, hm? Apalagi kalau kita menjadi pacar?" seru Vano tersenyum manis, matanya mengerjap-ngerjap penuh binar. Auranya terlihat benar-benar tampan, membuatku tak bisa bernapas sesaat.
Suara riuh langsung menyambut telinga Elssa, gadis itu malu dan menundukkan kepala dalam agar tak terlihat jika pipinya sudah semerah tomat. "Hai, kamu mau gabung sama kita? Kamu bisa jadi teman kita, datang kalau mau sama Vano di markas kita selalu kumpul. Ajak Van, dia cantik juga," seru salah satu cowok yang tak kukenali, namun aku melihat nama bordir di seragam putih abu-abunya, Zero.
"Thanks, Zero."
Vano mengangguk dan tersenyum menatapku. "Yuk, mau ke kantin bareng sama mereka?" Vano bertanya, aku mengangguk tak yakin. Karena sejujurnya jantungku masih meloncat-loncat seperti katak. Siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan nampak berbisik-bisik. Namun, mereka semua melindungiku agar mereka tak mengataiku jika tiba-tiba aku menjadi salah satu gosip telah menjadi teman genk terpengaruh di sekolah ini.
Satu hal yang selalu aku hindari, dikenali oleh mereka adalah salah satu masalah terbesar bagiku sejak kecil. Aku tak ingin seperti ini, mereka sudah baik kepadaku. Mungkin, saatnya aku membuka diri bersama mereka. Kuangkat kepala setinggi mungkin agar bisa menatap Vano yang sedang merangkul bahuku. Dan, di sanalah aku dapat melihat senyum tulus Vano.
"Tenang saja, kamu tidak perlu takut bergabung bersama kami. Kami bukan anak nakal yang akan menghabiskan waktu dengan narkoba atau semacamnya. Kita selalu menggunakan waktu luang di luar sekolah dalam satu bulan sekali untuk bersenang-senang sebagai refreshing."
Aku mengangguk antusias, membalas senyuman ramah itu. "Baiklah, aku akan mencobanya. Terima kasih, Vano."
Sejak saat itu, aku menjadi gadis yang percaya diri. Aku sering menghabiskan waktu bersama Vano dan kawan-kawannya. Hingga suatu ketika, Vano menembakku. Bukan ditembak oleh pistol atau peluru, ya. Melainkan, dia menyatakan betapa besar perasaannya kepadaku. Aku sempat tidak mengerti apa itu cinta? Ternyata Vano mengajarkanku tentang cinta. Merasakan hal berbeda seperti getaran kuat dalam diriku ketika berada di dekatnya.
Setelah hampir satu tahun kita bersama, dia membuatku kecewa. Dan, rasa kecewa itu tidak bisa aku deskripsikan lagi. Bahkan, ribuan kata mutiara tak mampu menorehkan maaf. Rasa kecewa itu masih ada, namun aku bukan termasuk orang yang mudah membenci cinta terlalu mudah. Memang cinta adalah segalanya, ketika kau mulai mengenalnya. Kau tidak akan bisa membenci, walaupun rasa kecewa yang membuatmu berpisah dengannya.
Berapa banyak waktu yang kau habiskan dengannya itu sungguh mempunyai banyak kenangan, baik buruknya selalu menjadi penghalang untuk kita membencinya. Sampai seseorang datang mengingatkanku, dia teman Vano. Tentunya dari genk itu, dan dia cewek yang sangat cuek di antara cewek-cewek lainnya. Wajahnya selalu menampakkan datar tanpa ekspresi. "Kamu hanya cinta monyet. Jangan terlalu dimasukkin ke hati. Cinta monyet itu hanya dipengaruhi oleh nafsu, obsesi dan rasa suka yang berlebihan sampai pada akhirnya kamu berada di ujung menyerah."
Jika memang benar seusia muda ini aku mengalami cinta monyet. Akankah aku harus melupakan perasaan yang telah tumbuh membelenggu ini? Sulit dan butuh waktu untuk mendewasakan diri dalam menyikapinya.
***
"Elssa, cantik?" Egi memanggil dengan lembut nama gadis yang saat ini duduk di sampingnya.
"Hm?" gumam Calista yang berhasil sadar dari angannya. Dia menengok hingga mata sayu itu menyapa mata teduh Egi.
"EKHEM! Di panggil cantik sama Egi baru nengok, neng?" Nathan yang duduk di belakang bersama Anggun langsung terciduk. Membuat Calista menatap malas cowok jahil itu.
"Kamu sedang memikirkan apa? Aku memanggilmu sampai lima kali dan kamu menghiraukanku." Egi berdecak kesal, jari-jari tangannya mengetuk pelan pada stir mobil saat lampu merah menjadi penyambutan mereka. Padahal, ini sudah tengah malam dan Egi masih saja mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Di mana jalanan sudah sepi dan tidak ada kendaraan berkeliaran kecuali dua mobil milik Egi serta Gery.
"Aku tidak memikirkan apa-apa, Egi. Maaf, aku sedang tidak fokus saja. Ada hal yang ingin aku selesaikan dengan seseorang besok," jawab Calista, seraya menatap Egi tenang.
"Oh, baiklah. Hal apa yang mengganggumu?" Egi bertanya lagi, sudah seperti ingin mengintrograsinya.
"Kamu akan tahu besok," seru Calista diselingi senyum tipis pada ujung sudut bibirnya. Suasana kembali hening. Percakapan terakhir Calista, menjadi sebuah penutup malam ini. Hingga mereka tiba di sebuah pekarangan rumah Egi. Calista akan bermalam lagi di sana dan tidur bersama Pricil.
"Istirahatlah, kamu pasti lelah seharian sudah membantu tugasku," ucap Egi dengan lembut. Calista hanya bisa tersenyum dan mengikuti langkah kecil Pricil yang sudah berjalan menuju ke kamarnya. Egi berserta yang lain juga telah masuk ke dalam kamar masing-masing. Seharian membuat mereka lelah, muka pucat Pricil juga masih menghiasi wajahnya. Calista takut terjadi sesuatu pada gadis itu.
"Kamu tidak apa-apa, Pricil?" tanya Calista sambil memperhatikan detail wajah Pricil. Pricil langsung melengos dan menselonjorkan badannya untuk bertemu dengan kasur, menghiraukan pertanyaan Calista tak seperti biasa. Baiklah, Calista termenung melihat Pricil langsung rebahan dan menutup wajahnya dengan bantal. Gadis itu terlihat murung tak seperti biasa yang selalu berisik ketika ingin tidur.
"Pricil, aku tidur dulu, ya? Kalau kamu membutuhkan teman cerita bisa bangunkan aku. Selamat malam," ujar Calista yang akhirnya kembali tertidur memunggungi Pricil.
Malam ini, Calista benar-benar tidak bisa tidur. Dia hanya memejamkan mata tanpa benar-benar pergi ke alam mimpinya. Entah perkara apa yang membuat gadis itu terus memikirkannya. Sejak dia bertemu dengan hantu wanita itu yang sama sekali tidak dia mengerti atas perkataannya. Benar-benar membuat Calista berpikir dan kembali mengingat masa lalunya. Ini tentang Vano, cowok yang dulu pernah ada. Luka yang dulu dibuatnya membobrok dan kembali terukir dengan kelam.
"Ini semua salahmu, Vano!" Elssa membentak cowok di depannya dengan ribuan kristal bening dirandang hujan pada bagian matanya. Vano terdiam dengan bibir bisu, menatap gadis di depannya. "Kalau saja kamu tak membuatku menjadi gadis aneh seperti ini dan bergaul dengan mereka. Tak akan ada yang tahu tentang itu."
Elssa mendorong dada bidang Vano hingga cowok itu tersungkur di lantai koridor sekolah yang sepi. Kini Elssa berlari dengan sekuat tenaganya. Meninggalkan Vano di tengah koridor dan perdebatan hebat dirinya.
"Aku tak pernah menyangka, cowok yang selama ini aku percaya. Dia yang membuat hidupku jungkir balik melihat dunia ini. Pandanganku salah, seharusnya selalu sama. Aku benci berada di tekanan orang-orang bertopeng seperti mereka."
Hati seakan menjerit, memaksakan sukmanya keluar. Meratapi jalanan yang siap membisikan jantung-jantungnya. Hingga sebuah mobil, berlaju tak kasat mata. Menabrakkan dirinya seolah magnet yang siap direnggut oleh mobil itu. Dan gelap, menjadi saksi bisu yang menumpahkan darah di ujung belukar jalan sepi. Sejak saat itu, dunianya kembali. Benar-benar kembali seperti sediakala. Tak ada yang sempurna, sampai dirinya dirundung rasa takut mendalam. Membuka mata untuk melihat kembali kenyataan pahit, saat dokter mengatakan ada hal janggal dengan dirinya. Semakin dibuat benci, gadis itu pun memutuskan melarikan diri dari kerumunan orang yang mengganggu hidupnya.
"Sejak saat itu, aku menjadi orang yang tercampakkan oleh teman-temanku sendiri. Mereka yang membuat kepercayaan diriku tumbuh. Dan mereka yang menjatuhkan rasa percaya diriku," batin Calista yang menatap gedung-gedung kota di balik kaca jendela kamar Pricil karena tidak jadi tidur.
"Elssa...," suara berat itu, milik Egi dengan panggilan sama yang selalu dia sayang dulu."Hm?" Calista bergumam, tak kunjung membalikkan badan.
"Apa kamu memiliki masa lalu kelam yang membuatmu harus kabur dari kenyataan?" tuduh Egi. Benar-benar tepat sasaran. Calista tidak bisa mengelak. Entah dari mana dan sejak kapan Egi berdiri di ambang pintu yang menjepit dirinya itu, Calista menggigit bibir bawahnya yang basah, berusaha menetralkan degub jantungnya dari serangan listrik sesaat.
"Apa Vano orangnya?"
Kenapa dari semua manusia yang tidak pernah mengerti hidupnya, hanya Egi orangnya, dapat mengerti serta memahami segalanya. Mungkin, ini rencana Tuhan untuk mengirimkan Egi dalam hidupnya agar segera berdamai dengan masa lalu. Egi tetap berdiri di ambang pintu, tangannya menggenggam kokoh jenggalan pintu itu. Terlihat rahangnya tegas, wajah kaku berkulit putih salju bersikap datar saja. Namun, pertanyaannya sungguh melembutkan hati hingga menusuk ke dalam.