Kamar itu gelap pekat, tak ada cahaya secerah pagi yang terlihat. Hanya saja perlu menyibak gorden dan menyalakan lampu yang sempat padam semalam. Mimpi buruk membuatnya bergidik ngeri hingga sekujur tubuh berkeringat dingin serta bulu kuduknya berdiri tegak bak duri menempel pada kulit mulusnya.
Calista terbangun, tidak seperti suasana biasa. Dia ketakutan, mata besarnya yang hitam sedikit menyipit. Dia mengucek, lalu menengok ke arah jam wekker yang sudah berdenting membangunkan suara-suara ayam berkokok.
Pukul enam pagi, mentari menghalangi mata dan kebisuannya. Dia beranjak, turun dari ranjang dan selimut yang membalut tubuhnya semalam dari kedinginan.
Tak usah menunggu lama, dia sudah memakai baju seragam rapi. Meraih ponsel, ransel, memakai sepatu seperti anak sekolah pada umumnya. Gelisah, entah kenapa hati ini merasa sedikit gelisah. Terus saja terngiang memutar balik mimpi yang dialaminya semalam. Tak lupa dia juga mendapat pesan dari seseorang.
Calista takut, jika keberadaannya di sini akan diketahui oleh seseorang yang sangat dia benci dulu dan membuatnya lari dari kenyataan dunia lamanya. Sungguh dia merindukan kasih sayang kedua orang tuanya, apa boleh buat jika mereka lebih memilih orang lain dari pada dirinya. Ya, Calista merasa tersisihkan pada sosok cowok yang lagi-lagi mengunjungi dirinya dalam mimpi. Jauh sebelum Calista pindah dari kota Surabaya ke Bandung adalah menghindari kehidupan yang suram, kehidupan abu-abu tak berwarna.
Sekawan yang berpura-pura menjadi sekawanan baik. Kedua orang tua yang berusaha membahagiakan, namun selalu saja membuat luka. Tidak ada! Bagaimana bisa kedua orang tua membuat luka kepada anak semata wayangnya. Bukankah mereka ingin memanjakan anaknya, menyayanginya. Ya, mereka memang menyayangi Calista. Namun, mereka lebih mementingkan pekerjaan yang membuat Calista harus menghindar dari warna indah lainnya.
Calista adalah Elssa, takdir yang tak pernah dia harapkan ketika menjadi anak dari seorang paranormal dan menjerumuskan ke dalam dunia abu-abu, hingga membuat Calista tak dikerubungi oleh teman-teman sebayanya. Gadis remaja itu tumbuh dewasa. Mamanya memang seorang ibu rumah tangga yang memiliki profesi sebagai bisnis lokal. Nama mamanya, Irance Marane. Sedangkan, papa sebagai orang paranormal. Dikenali oleh seluruh dunia, entah dunia apa, Calista tidak pernah memperdulikannya. Karena dia hanya seorang gadis yang dulunya cupu dan tersembunyi dalam pucuk keheningan. Tidak ada yang mengenal selain sosok cowok bernama Vano Algomahesa, sahabatnya. Nama papa Calista itu, terkenal dengan sebutan Gus Barosang. Sebenarnya nama asli adalah Bara Orka Sangtan.
Sekarang, kau sudah tahu latar belakang Calista atau dulunya dipanggil Elssa.
Mencoba untuk mengatur napasnya, mengembuskan secara perlahan, lalu dia melangkah dengan doa menuju ke sekolah tempatnya menimba ilmu. Pricil sudah bangun, dia menyuruh Calista agar mandi terlebih dahulu.
Tidak butuh waktu lama, tiga puluh menit saja sudah membuat kedua gadis itu siap untuk turun ke bawah. "Kau lagi tidak enak badan?" tanya Pricil.
"Ah, tidak. Aku baik-baik saja, memangnya mukaku pucat apa?"
Pricil menggeleng samar, tapi ia merasa Calista lebih banyak diam. "Yaudah, kita turun ke bawah dan sapa yang lain, yuk!" ajak Pricil seraya menutup pintu kamarnya.
"Egi di mana?" Saat Calista telah tiba di bawah, ia tidak melihat Egi berkumpul di ruang tamu. Biasanya saat mau berangkat mereka akan berkumpul di sini.
"Masih di kamar sepertinya, Cal." Anggun menyahut.
"Oh," gumam Calista.
"Samperin aja di kamarnya, Cal." Nathan menyuruh Calista untuk segera menyusul Egi keluar. Calista yang menyanggupi dan berbalik badan langsung terkejut kala menemukan sosok Egi berdiri di depannya.
"Tidak perlu, ayo kita langsung berangkat."
***
Bel sudah berdenting membuat murid-murid langsung berbondong mamasuki kelas bagi murid yang masih berada di koridor, murid lain di dalam kelas segera menempati duduknya masing-masing dan menghentikan aksi arisan.
Seorang guru berjalan memasuki kelas XI IPS 1. Semua murid sibuk mengeluarkan buku sesuai mata pelajaran yang akan berlangsung. Pergerakan Calista tiba-tiba berhenti saat sepasang langkah kaki seseorang memasuki kelas dengan gontai. Wajah tampan sangat familiar bagi Calista, dia kenal siapa manusia yang mengekori bu Anindya itu.
"Selamat pagi anak-anak," sapa bu Anin, begitulah mereka memanggilnya. Semua murid langsung tertuju pada sosok cowok yang sedang berdiri di samping bu Anin.
"Pagi bu," jawab mereka serempak.
"Wah, bu Anin bawa anak orang ke sekolah mau diapain?" tiba-tiba, Nathan berceletuk tanpa memikirkan jika bu Anin akan melototinya garang.
"Nak, silahkan perkenalkan dirimu," perintah bu Anin kepada murid baru itu, sepertinya dia murid baru. Dan, benar! Dia murid baru sedang berdiri melempar tatapan mata tajamnya ke sudut-sudut ruangan ini. Tak kalah tatapan matanya berhenti di satu titik objek, Calista Elssa gadis yang sedang menundukkan kepalanya.
"Perkenalkan, saya Vano Algomahesa dan kalian bisa panggil Vano. Saya pindahan dari Surabaya, semoga kalian bisa berkawan baik dengan saya. Terima kasih," ujar Vano di depan kerumunan kelas.
"Vano, udah punya pacar belum?" tanya salah satu murid cewek yang centil.
"Vano, boleh gak minta nomer hape kamu?"
"Vano, duduk sama aku aja di sini!"
"Eh, trus aku duduk mana?"
"Pindah aja yang kosong itu sebelahan sama Calista, hehe."
Celetukan dari beberapa teman sekelas Vano membuat cowok itu hanya bisa melempar tatapan serta senyum sok cool-nya.
"Sudah, tolong dikondisikan, ya! Vano bisa duduk di samping Calista yang masih kosong," ujar bu Anin menengahi kegaduhan. Vano mengangguk, dia tersenyum puas menatap ke arah Calista yang terlihat syok. Calista berusaha menahan mati-matian rasa gugupnya dan menetralkan agar lebih tenang saat melihat langkah kaki Vano mulai mendekati mejanya. Dia melewati meja Egi dan Pricil yang nampak menatapnya tak biasa. Mungkin, karena ketampanan adalah foktor alamnya. Ketika kaki Vano sudah menjejak masuk dan mengempaskan bokongnya ke kursi di samping Calista, dia tersenyum ke arah gadis itu, lalu mendekatkan wajahnya untuk berbisik ke telinga kirinya.
"Hai, Elssa bukan?" tanya Vano, seperti sapaan pertemuan kembali.
Calista terpaku di tempatnya, ia hanya bisa menatap ke arah depan, sedangkan di depannya adalah bangku Pricil dan di samping Pricil itu bangku Egi yang saat ini memperhatikan mereka.
"Apa tujuanmu ke sini?" lirih Calista yang sudah mati-matian tidak bisa membiarkan ini terjadi, bahkan mirip seperti bisikan yang hanya bisa di dengar oleh cowok di sampingnya.
"Menghampirimu, bukan itu yang seharusnya aku lakukan?" tanya Vano balik, membuat Calista memilih diam. Karena dia tidak ingin membahasnya sekarang. Apalagi suasana ini sepertinya tidak pas. Calista memilih untuk membuka buku LKS-nya, sedangkan Vano tersenyum ramah bak pangeran tanpa perduli jika semua pasang mata kaum hawa sedang memperhatikan ketampanannya.
Namun, perhatian itu tak luput dari ekor mata tajam Egi. Dia sedang memperhatikan dalam, bukan cemburu, melainkan dari dalam hatinya merasakan sesuatu saat melihat mata cowok itu sejak tadi tak lepas dari pandangan Calista.
Ada yang aneh sama anak baru ini, batin Egi.