Suara dentingan piano mengalun lembut, memenuhi sudut-sudut ruangan. Tangan cowok itu terus saja menari-nari di atas piano sesuai irama lagu yang dia nyanyikan dengan khas horor.
Setiapku melihatmu
Kuterasa di hati
Kau punya segalanya
Yang aku impikan
Dan anganku tak henti
Bersajak tentang bayangmu
Walau kutahu
Kau tak pernah anggapku ada
Kutak bisa menggapaimu
Takkan pernah bisa
Walau sudah letih
Aku tak mungkin lepas lagi
Kau hanya mimpi bagiku
Tak untuk jadi nyata
Dan segala rasa buatmu
Harus padam dan berakhir
Kan slalu
Ku rasa hadirmu
Antara ada dan tiada🎶🎼🎵🎹
'Pokk... pokk.. pokk..'
Suara tepuk tangan langsung menyambutnya. Egi tersenyum segaris, barusan dia mengalunkan sebuah lagu dari lirik Utopia - Antara Ada dan Tiada.
"Buat Calista ini lagu, kau bisa galau juga ternyata, Gi. Salut aku sama Calista, akhirnya dia bisa buka hatimu juga. Jangan bilang kau dapat hidayah gegara ketusuk tadi? Istirahat sono, lukamu masih parah itu nanti," suruh Nathan, sambil menepuk pundak Egi. Cowok itu mengangguk tanpa banyak bicara seperti biasa.
"Yee, dibilangin juga malah nyeludur bae itu anak," celetuk Nathan gemas sendiri melihat saudara satunya itu. Anggun menggelengkan kepala tidak mengerti dengan dua saudara itu yang beda jauh sekali sifatnya.
Beralih ke cermin, menatap pantulan dirinya. Perlahan tangan Egi terulur menyentuh perut bagian di mana terasa sakit. Di sana, dia tidak menemukan luka sedikitpun. Rasa sakitnya juga sudah hilang sejak kepulangan dari rumah sakit tadi. Entah kenapa dia merasakan janggal dengan luka tersebut.
Bahkan, saudara-saudaranya tidak tahu jika lukanya sudah sembuh. Seperti terjadi sebuah sulap. Tentu saja ini mustahil jika sembuh dalam waktu semalaman, sedangkan luka tusuk itu sangat parah. "Aku tidak percaya bisa secepat ini mulusnya kulit dari luka tusuk itu sampai tidak menyisahkan jejak," gumam Egi, tangannya bergerak mengelus bagian perut pada luka tersebut.
***
Alat medis terlihat mengerubungi anggota tubuh Egi. Cowok itu masih kritis, belum juga sadar saat insiden tragis telah memulangkan mereka ke alamnya. Kisah Pangeran dengan Putri telah usai. Jika saja tak cepat di bawa lari ke rumah sakit, dia akan kekurangan banyak darah. Ini saja dia sedang melakukan transfusi darah.
"Egi, cepat sembuh, ya?" Calista yang sedang berdiri di samping tempat tidur brangkar, dia mengelus kepala cowok itu hingga menyentuh jambulnya yang bergerak ke kanan kiri.
Di ruangan itu tidak hanya Calista sendiri, tetapi ada Anggun dan Pricil yang juga menemaninya. Sedangkan kedua cowok, Gery bersama Nathan katanya pamit cari makan.
Tiba-tiba, Pricil merengek. "Eh, temenin aku dong, badan aku sakit semua ini. Ikut aku ke kamar mandi salah satu dong?" pinta Pricil, membuat Anggun dan Calista menatapnya yang sedang duduk di sofa dan beranjak menghampiri keduanya dengan kaki terseok-seok.
Anggun dan Calista turut prihatin. "Yaudah, biar gue aja yang nemenin kau, Calista jagain Egi di sini, kalau ada apa-apa langsung pencet tombol buat ngehubungin suster sama dokter aja, ya?" pesan Anggun, mendapat anggukan dari Calista. Tersisalah kedua manusia itu. Calista menatap pintu yang sudah menghilangkan kedua punggung sahabatnya. Lantas, tatapannya beralih pada Egi kembali.
"Kalau aku gunain kekuatanku buat nyembuhin kau apa bisa, ya? Aku tidak tega melihatmu seperti ini, Gi," ujar Calista pada dirinya sendiri. Berpikir sejenak, Calista menatap pintu lagi. Memastikan tidak akan ada yang masuk ke dalam ruangan. "Maafin aku, mungkin aku bakal buat kamu sadar secara perlahan. Saat keadaanmu sudah membaik, luka di perutmu akan sembuh tanpa sepengetahuan dokter dan suster, karena aku akan memperlambat luka itu untuk membaik," ujar Calista, tangannya terangkat ke udara membuat seluruh mesin berkerja lebih cepat. Seolah tersamar, perlahan mata Egi membuka walaupun belum sepenuhnya.
"Di sisi lain, aku sadar. Bahwa kemampuan ini ada manfaatnya juga. Sejak aku kenal kau dan yang lain, aku semakin merasa jadi orang yang berguna. Aku merasa kalau masih ada persahabatan yang tulus. Aku merasakan kehangatan dari arti kasih sayang, aku merasakan ada perjuangan. Dan aku, merasa bersyukur telah diberi kelebihan oleh Tuhan yang tidak dimiliki oleh manusia sewajarnya. Aku merasa berarti dalam hidup, Gi. Aku merasa seharusnya tidak menghindar. Aku kangen bunda dan ayah."
Ada rasa terselubung yang perlahan terbuka dan terkuak. Tidak selamanya akan berada dalam sisi kegelapan. Sejujurnya dia telah tertutup, tidak ingin membuka karena lingkungan juga berpengaruh. Kehidupan ini membutuhkan teman yang satu jalur. Calista merasa telah dipertemukan oleh orang tepat. Dia semakin berpikir dewasa, tidak seharusnya dia lari dari kenyataan pada takdirnya. Karena Tuhan, telah mewariskan takdir setiap manusia dengan jalan terbaiknya.
Air mata tumpah merembes ke pipi cowok itu. Sepertinya dia tidur, namun dia dapat mendengar segala curahan hati Calista kepadanya. Merasakan air mata itu, Calista terenyuh. Tangannya bergerak, gemetaran Calista menghapus titik semu air mata itu. Hingga menghilang, tangannya tertarik ulur menjauhi pipi manisnya. Munculah Nathan dan Gery bersama Anggun dan Pricil memasuki ruangan. Dari sana, Egi sadar. Dia sudah membuka matanya. Menatap sekeliling, salah satu objek yang dia tuju adalah gadis yang sudah membuatnya sadar malam ini. Suster dan dokter segera datang ke ruangan mereka dan memeriksa keadaan korban. Telah dinyatakan, jika kondisi Egi sudah membaik. Karena tidak suka bau rumah sakit, Egi meminta pulang.
Dokter pun mengizinkan dengan syarat harus beristirahat di rumah. "Yeay, akhirnya kau sadar juga curut. Aku bosen di sini karena tidak ada asyiknya. Mending pulang, aku bisa santai di rumah, ya, kan?" seru Nathan, tetap saja berisik.
"Nathan, Egi baru sadar juga kau katain curut," omel Anggun, membuat Nathan nyengir kuda. Calista tersenyum bahagia, menatap Egi yang juga menatapnya dalam.
"Syukurlah, kau sudah baik-baik saja, aku akan membantumu untuk berkemas dan mari kita pulang." Calista yang berbicara, membuat Egi jadi menatapnya dalam sedangkan yang lain hanya berseru, cie....
***
Egi menatap langit-langit kamarnya. Dia merasakan ada yang berbeda sejak koma dan masa kritis tadi. "Aku ngerasa ada sesuatu yang disembunyiin Elssa. Dia pasti penyebab aku sembuh. Aku yakin, dan aku dengar dia seperti bercerita. Terus aku nangis dan dia ngusap air mataku," gumam Egi, dia teringat sesuatu.
Sepulang dari rumah sakit, Egi mengecek luka pada perutnya. Darah tidak ada, bahkan kulitnya kembali mulus lagi. Tidak ada perban di sana. Tanpa diketahui oleh saudara-saudaranya yang mengira jika masih ada luka sedikit di perut cowok itu. Lukanya menghilang, dalam waktu sekejap, tanpa dia sadari dan menduganya. Karena sebelum pulang, dokter telah memeriksa jika masih ada perban di perutnya dengan sedikit darah. Ini aneh, di luar kendali manusia. Jika ada yang janggal, dia yakin. Ini terjadi saat dia kritis, dan gadis itu sebab dari semua kendalinya.
Di sisi lain, Calista yang berada di kamar Pricil menanyakan bagaimana keadaan Egi karena dia baru saja bangun tidur, Calista tampak lelah, tenaganya terkuras habis setelah menolong Egi. Calista heran dengan dirinya sendiri, sejak bertemu mereka semua. Dia merasa kehidupannya berubah. Tidak seperti dulu, dan jauh lebih baik. Namun, hati kecilnya merindukan sesuatu. Seorang anak tidak mungkin tega meninggalkan kedua orang tuanya begitu saja. Walaupun dia dulu sangat membenci takdir hidupnya, Calista menyadari jika dia belum menemukan orang tepat untuk bisa tulus berteman dengan apa adanya.
Pelajaran yang Calista dapatkan, Bila kita memang benar-benar tulus dengan seseorang. Kita akan menerima apa pun kondisi dan keadaannya. Tanpa perlu menentang takdir yang sudah digariskan oleh Tuhan untuk setiap hambanya.
Karena cinta adalah pelajaran. Karena cinta adalah perjalanan. Karena hanya satu cinta, yaitu ketulusan dan kepercayaan termahal.
Sebuah pemberitahuan, membuat lamunan Calista sadar. Dia mengecek ponsel, sebuah pesan masuk tanpa nama.
+62819076xxxxx :
Aku tahu, di mana keberadaanmu sekarang.V.A