Chereads / Ghost of School / Chapter 17 - Lukisan

Chapter 17 - Lukisan

Tiba di kantin, suasana terlihat sepi karena semua siswa sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing sejak sepuluh menit bel berbunyi dari sekarang dan sampai saat ini, Calista tidak menunjukkan wujudnya. Hal ini semakin membuat mereka cemas, setelah Pricil melihat pesan di ponselnya dan menceritakan perihal cowok berseragam basket dengan nomor punggung tiga belas.

"Gi, mau ke mana?" tanya Nathan. Setelah mendengar cerita dari Pricil, cowok itu langsung bangkit dari tempatnya.

Egi menoleh sekilas dengan tatapan tajam. "Nyari dia lah, monyet!" ketusnya sambil melanjutkan kembali berjalan keluar dari area kantin.

Nathan seketika mengernyit heran, berusaha berpikir, sejak kapan sekolah memelihara monyet? Duh, Nathan bisa-bisanya berpikir demikian. "Anggun, emang sekolah kita mau ngadain pertunjukan topeng monyet, ya?" tanya Nathan dengan muka polosnya.

Anggun melotot bingung dengan otak Nathan. "Kau kira ini pasar malam?! Ya, nyari Calista bego!" geram Anggun kesal setengah mati.

Nathan manggut-manggut. "Oh, yaudah kalau gitu kita juga harus nyari Calista!"

"Ngapain Egi malah ke pohon? Mau nyolong mangga dia? Bagaimana sih, bukannya nyari Calista, malah enak-enakan neduh di situ pakai mau nyolong mangga lagi," celetuk Nathan, berasumsi sendiri.

Sontak, Anggun yang berada di samping cowok itu langsung menjitak kepalanya. "Ckckck, otak kau mau direnovasi? Lihat tuh, pakai mata bukan pakai otak." Nathan yang diceramahin sama sang pacar, langsung kicep. Sekali Anggun mengomel, seakan menusuk tulang rusuk Nathan.

"Galak amat sih beb, jangan kdrt dong!" tukas Nathan.

Anggun menatap Nathan lagi. "Aku tidak kalah dalam rukun tetangga," sahut Anggun asal.

Nathan mengernyit bingung. "Kekerasan dalam rumah tangga beb, bukan kalah dalam rukun tetangga. Kau kan, tidak punya tetangga dan asalnya dari hutan," celetuk Nathan sambil cengengesan tidak jelas.

"Aku tidak akan pernah berumah tangga denganmu!" tukas Anggun makin kesal.

"Kalau gitu, kita berumah tangga sekarang, sebelum kau menolakku," jawab Nathan mantab.

Gery yang melihat perdebatan dua pasangan di depannya ini hanya bisa mendengus kesal.

"Pacaran mulu, kalian kampret! Tidak tepat sekali tempatnya sama suasana genting ini," ujar Pricil memperingati.

"Sori, dia bukan pacarku lagi! Sekarang kita susul Egi," kata Anggun dengan intonasi yang sangat datar. Sebelum Nathan membantah lagi, Anggun sudah menjejalkan sari roti yang dia beli di kantin ini, agar cowok di sampingnya bisa diam.

Gery, Pricil, Anggun dan Nathan telah sampai menghampiri Egi yang sedang bingung sambil termenung menatap pohon di depannya ini. Tiba-tiba angin berembus kencang, menerbangkan rambut Pricil dan Anggun. Sebuah ranting kecil dengan beberapa daun terjatuh, hampir saja mengenai kepala Anggun kalau Nathan tidak segera memeluk cewek itu. "Apaan, sih? Peluk-peluk di sekolah mau jadi contoh mesum buat adik kelas, hm?" ketus Anggun dengan ekspresi kesal yang sangat kentara. Nathan hanya berusaha menanggapi dengan santai.

"Perasaanku nggak enak," gumam Pricil, seraya meneguk salivanya.

"Arghhh!" pekik Anggun, sontak membuat Nathan, Gery, Pricil dan Egi menatap ke arah cewek itu cemas. "Dadaku sakit, kenapa seperti ada yang nusuk-nusuk, Nath!" lirih Anggun, saat Nathan sedang memegangi kedua lengan cewek itu dari belakang.

"Nath, jagain Anggun sebelum kamu ikut nyusul aku!" teriak Egi, sambil berlari ke arah belakang sekolah. Jika Egi terus lurus, dia akan menemui pagar tinggi berwarna hitam yang sudah berkarat, dan biasanya untuk anak kabur dari jam sekolah. Tetapi, Egi berjalan ke arah kiri setelah menemui jalan belokan. Gery dan Pricil ternyata ikut berlari dengannya, karena mereka berdua tahu betul, ke mana arah jalan yang akan dituju.

"Egi... tungguin!" teriak Pricil, merasa kelelahan berlari dengan bergandengan tangan bersama Gery, sedangkan jejak Egi terlalu cepat untuk diikuti oleh kaki kecilnya.

Tanpa aba-aba, Egi berhenti begitu saja. Sedangkan Gery dan Pricil yang sudah menambah kecepatan lari mereka langsung menabrak punggung Egi. Pricil menabrak punggung Gery. Tidak terlalu kencang, sehingga mereka masih bisa menahan diri agar tidak jatuh tersungkur. "Aduhh!" keluh Pricil, sambil mengusap dahinya yang keringetan.

"Stttts!" gumam Egi, seraya meletakkan jari telunjuknya di dekat bibir.

"Ada apa?" tanya Gery yang sudah bergeser ke samping Egi.

Egi menatap ke arah taman mini yang terletak di belakang sekolah mereka. Tepat sebelah kiri, sedangkan sebelah kanan adalah batas tembok tinggi. Gery ikut menoleh, keningnya mengernyit heran dengan mata menyipit.

Dari belakang ada suara langkah kaki mendekat yang tengah berlari. Pricil tidak terlalu fokus dengan arah pandangan Egi dan Gery, menoleh ke belakang menemukan sosok Anggun dan Nathan yang tengah berlari. "Gery, Egi, apakah kalian sudah menemukan Calista?" seru Anggun, sedangkan Nathan yang memegang lengan Anggun tampak menetralisir napasnya.

"Ssttt! Bisa diam tidak, sih?" bisik Egi seraya menoleh ke arah Anggun dan Nathan dengan gemas.

"Ya, sori." Nathan mengusap lengan kanan Anggun agar sedikit sabar.

Pricil menyenggol lengan kiri Anggun. "Kenapa kau bisa ada di sini? Sudah tidak sakit dadamu?" bisik Pricil sepelan mungkin. Anggun hanya menggeleng singkat, dia sendiri juga bingung. Tadi setelah ketiga saudaranya pergi, tiba-tiba dia dan Nathan duduk di bawah pohon sebentar. Lalu merasakan ketenangan sedikit, dada Anggun tidak terasa sesak lagi setelah menghirup udara sambil membuangnya secara perlahan. Anggun mengira ini hanya gejala biasa, sebelumnya dia tidak pernah merasakan seperti ini.

Saat Nathan bertanya, apakah Anggun merasakan kedinginan? Anggun menggeleng, dia tidak merasakan aura negatif di sekitar sini. Tanpa banyak berpikir lagi, Anggun mengajak Nathan berlari untuk bisa menyusul jejak Egi, Gery dan Pricil. Karena pikirannya sekarang sedang dipenuhi oleh Calista bersama mimpi buruknya waktu itu.

"Dia siapa?" tanya Anggun yang saat ini melihat ke arah taman mini. Di sana ada dua pohon yang saling berjauhan dengan beberapa tanaman di dalam pot besar di antara dua pohon itu. Ada juga kursi panjang berwarna putih berada di sisi kiri dinding, sedangkan jalan di taman itu masih berupa tanah dan beberapa rumput liar belum sempat digunting. Tidak seperti jalan yang saat ini mereka injak sudah berupa pavingan.

Egi tidak menjawab pertanyaan Anggun, tapi dia justru berbelok ke arah kiri untuk melihat lebih jelas sekaligus bertanya tentang Calista. Cewek itu nampak memunggungi Egi, pakaiannya berwarna putih long dress, sedikit kusut. Rambut cewek itu panjang, lurus dan tergerai sampai pinggang.

"Permisi, apakah kau melihat cewek pakai seragam sekolah sini. Tingginya seperti kau, dia cantik, rambutnya panjang tergerai berwarna hitam. Barangkali dia lewat sini, kira-kira dia menuju ke mana?" tanya Egi dengan intonasi sedikit tinggi, agar cewek di depannya ini mendengar.

Cewek itu menggeleng samar, ketika Egi ingin mendekatinya sambil jalan mengendap. Cewek itu langsung berdiri, melirik Egi sekilas yang sedikit tersentak sebelum akhirnya si cewek berjalan cepat ke arah koridor sebelah kanannya.

Gery yang tidak mau terjadi apa-apa dengan Egi langsung menghampiri cowok itu sambil menepuk bahunya pelan. Egi terus memperhatikan punggung cewek tadi dengan kernyitan heran di keningnya. "Gi, itu punya cewek tadi bukan, sih? Kenapa dia tinggalin di sini?" seru Gery memecahkan lamunan Egi yang langsung melihat ke bawah.

"Kalian ini ngapain pada bengong, sih? Itu cewek tadi siapa? Kok mukanya pucet banget, trus aku antara salah lihat atau halusinasi saja, bahwa cewek tadi tidak memiliki tangan? Karena baju yang berlengan panjangnya seperti tidak ada pergerakan, lurus gitu aja, nggak kelihatan telapak tangan atau jari-jarinya yang keluar? Aneh tidak, sih?" ucap Pricil sambil berlari menghampiri Egi dengan Gery, diikuti oleh Nathan bersama Anggun yang terlihat membeku.

Pikiran Anggun sudah mulai berkeliaran, dia berjalan maju di depan Gery dan Egi. Melihat sebuah lukisan tergeletak di atas tanah liat, lukisan itu berbentuk persegi dan terbuat dari kanvas. Menggambarkan seorang perempuan cantik setengah badan dengan seragam basket putri berwarna merah, ada nomer tiga belas, lagi-lagi membuat mata Anggun melotot. Di atas nomer tersebut juga tertulis namanya. "Iris Sarasvati?" batin Anggun bingung.

"Anggun, apa yang kau lakukan?" tanya Nathan yang saat ini sudah berada di samping Gery, sedangkan Pricil ikut bingung saat berdiri di samping Nathan.

Anggun menggeleng samar, sekelebat mimpi itu terbayang-bayang. Untuk meminimalisir rasa cemasnya, dia segera bangkit berdiri, menatap saudaranya satu persatu sebelum menyerahkan lukisan tersebut kepada Nathan. "Cewek ini yang ada di mimpi aku!" seru Anggun yang menggebu-gebu sambil memukul pundak Nathan.

Ketiga cowok itu langsung melotot, sedangkan Pricil tampak mengerjapkan mata sambil meneguk salivanya kasar. "Kita cari, Elssa secepatnya!" pungkas Egi membuat mereka semua mengangguk setuju, sebelum akhirnya kembali berlari menelusuri koridor di tempat hantu itu menghilang.

Tapi, hantu itu tidak benar-benar menghilang, dia masih ada di tengah-tengah koridor. Bahkan kelima bersaudara sudah melewatinya tanpa melihat wujudnya lagi. Hantu itu diam, menatap penuh prihatin pada kelimanya, raut wajahnya kembali sedih dan muram. "Ketiga cowok itu harus berhati-hati, karena telah mengundang cewek-cewek yang beraura positif dan membuat dia menyeringai kembali," katanya dengan intonasi datar.

Anggun yang tengah berlari mendengarkan suara itu, jarak mereka memang belum terpaut jauh. Sehingga Anggun menyempatkan untuk menengok ke belakang. Namun, dia sama sekali tidak menemukan siapa-siapa kecuali angin yang berembus kencang baru saja menerpa wajahnya.