Sebenarnya kami tidak ada niatan untuk kembali ke sekolah. Kamis malam jum'at setelah pulang dari rumah sakit menunggu kedatangan kedua orang tua Gisya, kami semua berkumpul di sekolah tepat pukul tujuh, bukannya pulang ke rumah, eh ini mereka ngajak aku uji nyali apa? Ini semua karena ide konyol Egi dan disetujui oleh semuanya termasuk aku dan Naufan yang kini ikut bergabung.
Aku berdiri di samping Anggun, sedang menatap sebuah ruangan yang lumayan besar untuk di tempati sebagai peristirahatan melepas penat di tengah kemacetan jantung kota Bandung.
"Ini ruang apaan?" tanyaku penasaran, seraya menyisir pandangan ke seluruh sudut ruangan saat Egi berhasil membuka kunci ruangan tersebut.
Pricil masuk dan langsung menghempaskan bokongnya ke sofa empuk berwarna coklat yang berukuran besar. "Ruang OSIS, udah biasa kita suka nongkrong di sini kalau anak-anak OSIS pada pulang," jawab Pricil mewakili semuanya yang telah mengambil posisi istirahat di tempat senyaman mungkin.
Aku hanya mengangguk singkat kakiku membawaku untuk berjalan melihat isi di dalam ruangan ini, lalu aku ikut duduk di samping Pricil dan Anggun sedang membuatkan kami minuman di ruangan yang di khususkan untuk dapur. "Kenapa kalian mengajakku ke sekolah? Kenapa tidak di rumah aja? Kan, bisa sambil santai dan suasana juga lebih enak di rumah kalian. Di sini serem tahu!" ocehku seraya menunjukkan ekspresi enggan untuk tinggal di tempat ini lama-lama, tapi apa boleh buat jika aku harus mengikuti mereka.
Saat aku berkata demikian, seakan-akan aku adalah penakut, Egi justru melempar tatapan tajamnya ke arahku. Ini lebih menakutkan dari pada harus melihat hantu yang berkeliaran. "Kalau takut pulang! Bawa aja mobilku, ribet amat jadi cewek," ketus Egi membuatku hanya bisa mencebikkan bibir kesal.
Kenapa sih dia itu aneh banget? Dikit-dikit galak, dikit-dikit baik, sumpah aku bingung sendiri. Untung saja Anggun datang dengan membawa baki yang berisikan tujuh cangkir minuman greentea yang akan membuat kami merasa lebih tenang.
"Kalau kau dekat dengan Egi harus punya mental banyak. Pertama dia tidak menyukai tipe cewek yang banyak omong dan ribet," kata Anggun yang tiba-tiba menyelinap di antara percakapanku dan Egi, seraya melirik eksistensiku sekilas sebelum dia sibuk mengambil minumannya.
"Ck ck ck, ngapa harus bahas aku?" Egi tak terima dituduh seperti itu, dia juga meraih gelas greentea miliknya, agar sedikit rileks dia mengambil posisi dengan menaikkan kaki ke atas meja sambil menyandarkan kepala bagian belakang pada sofa.
"Tuh, lihat tuh, tingkahnya aja udah kayak nggak ada akhlak banget," tukas Nathan, mendapat tatapan horor dari Egi seolah mengatakan 'Diam kau!'
Tapi Nathan yang gayanya pecicilan, tidak peduli pada tatapan Egi tersebut. Dia justru terkikik geli, kemudian sebuah kata-kata terlintas untuk diucapkan. "Kenapa, ya, sepupuku ini sempat terpilih jadi ketos. Trus juga kepilih jadi ketua klub populer di sekolah lagi. Mana yang dikatain tidak tersentuh, tapi penggemarnya banyak juga. Kalau orang yang nggak klepek-klepek sama dia pasti bakal bilang, Egi ini pakai pelet apaan coba?"
"Ngaco banget omonganmu, Nath!" Egi melemparkan bantal kecil yang ada di dekatnya hingga mengenai wajah Nathan, untung dia tidak sedang membawa minuman bikinan Anggun tadi. Tapi dia sangat puas setiap kali menggoda Egi, sampai tawa renyahnya lolos begitu saja.
"Oh, jadi Egi pernah dinobatkan jadi ketos? Pantes, tegas dengan jiwa kepemimpinan trus auranya juga nyeremin gitu," celetukku, mengundang tawa dari lainnya.
"Ck." Egi berdecak kesal, menyerah dan membiarkan semua orang di ruangan ini menertawakannya sampai puas.
"Jadi, gimana?" Naufan bertanya di sela-sela gelak tawa yang ada, membuat mereka semua lantas menatap laki-laki tampan berambut fringe tersebut.
Wajah Naufan tampak bingung dan cemas memikirkan kejadian beberapa jam yang lalu.
"Kau ada masalah sama seseorang sampai dia nerormu seperti itu?" tanya Gery yang akhirnya angkat bicara setelah mengunci bibirnya rapat, memikirkan sesuatu yang menjanggal di benaknya.
Naufan tampak mengingat dengan siapa dia bermasalah? Namun, cowok itu menggeleng pelan. "Tidak ada. Semuanya aman, aku bahkan tidak tahu mengapa semuanya jadi seperti ini."
Egi menautkan kedua alisnya tampak berpikir keras. "Aneh."
"Apanya yang aneh?" Ketiga cewek yang duduk sejajar berceletuk menanggapi gumaman Egi dengan rasa penasaran yang tinggi.
"Aneh kalau Egi lagi mikirin Calista sekarang, hahaha." Nathan malah mencairkan suasana tegang menjadi candaan yang sama sekali tidak ada lucu-lucunya.
Egi mendengus kesal melihat kelakuan sepupunya. "Nggak lucu, njir!" ketusnya sambil melotot lebar-lebar.
"Tunggu deh, Cal. Ada yang mau aku tanyain," ada jeda diucapan Pricil yang membuatku beralih memberikan atensi padanya. "Apa kau melihat sesuatu yang aneh seperti hantu atau arwah penasaran yang ada kaitannya sama hal ini?"
Tiba-tiba, suasana diselimuti oleh keheningan. Mereka semua menatapku dengan penasaran dan menuntut jawaban. Aku sendiri jadi tegang bila menjadi pusat perhatian seperti ini. "Aku..."
"Kenapa Cal? Kau mau bilang apa? Cepat katakan!" Nathan menyela, Anggun yang berada di hadapannya mendelik kesal.
"Diam kau babi jelek! Ngerusak suasana aja, sih!" Pricil menatap Nathan dengan galak.
Aku menggigit bibir bawah, sebenarnya aku tidak melihat yang aneh. Hanya saja tentang mimpi itu. Aku juga tidak tahu mengapa sangat sulit sekali menyampaikan hal ini kepada mereka. Seperti ada saja yang menahanku. Tiba-tiba, aku menjadi pusing, kunang-kunang seakan berkeliling di sekitar kepalaku. Tidak, jangan untuk sekarang. Ini pasti bukan kecelakaan biasa. Aku mempunyai firasat, aku harus membantu mereka memecahkan teka-teki yang aneh, yang tidak masuk akal karena kejadian hari ini bukan hanya menimpa Gisya, tapi juga Naufan.
"Tadi..." Aku yang ingin mengatakan sesuatu lantas terhenti karena semua pasang mata memandangku penuh serius. Tetapi suara yang menyela ucapanku ini yang menjadi pertimbanganku untuk melanjutkan.
'Tokk... tokk...'
Terdengar suara ketukan pintu ruang OSIS. Mereka semua menengok, digeluti rasa penasaran. Egi beranjak dari duduknya. Untuk melihat seseorang yang berada di balik pintu tersebut.
Tidak ada orang.
Egi kembali ke tempat duduknya.
"Siapa?" tanya Gery, penasaran.
Egi mengedikkan bahu acuh. "Setan," celetuknya asal dengan wajah datar.
"Kau tadi bilang apa?" Naufan bertanya kepadaku lagi, karena ucapan yang sempat terhenti kini semua mata menungguku berbicara dengan penuh harapan.
Aku semakin was-was, merasa bingung sendiri, mataku melihat sekeliling sudut ruangan. Seperti akan ada yang mengawasiku dari sudut-sudut ruangan. Tak terlihat dan diam-diam akan membunuhku hidup-hidup jika saja aku mengatakannya. Tapi aku tidak boleh takut. Menelan salivaku dengan cepat, lalu berkata tegas.
"Dia bilang, kalau dia ingin kau mati." Aku berhasil berkata sambil mengangkat tangan dan jari telunjukku dengan sengaja seperti ada yang menggerakkan hingga menuding wajah Naufan.
Detik itu juga, bulu kuduk Naufan merinding, dia bergidik ngeri. Naufan meringis, padahal tidak ada yang terluka.
"Naufan, di belakangmu! Dia datang..."
Dan, benar. Dia ada di sini mengawasiku. Dia mengerti aku adalah kunci yang dapat dia manfaatkan. Sialnya, dia menyeringai. Aku sangat gugup wajahku pasti pucat, dingin dan gemetar.
Sosok itu sedang menatapku, namun dia mundur kala Egi mendekati Naufan. Aku masih melihatnya, wajahnya berlumuran darah. Sangat menyedihkan.
Saat sosok itu terbang, semakin tinggi. Kesadaranku direnggut olehnya perlahan-lahan.
"CALISTA?" Suara cempreng Pricil, sempat terdengar histeris sebelum aku benar-benar jatuh pingsan.