Aku tidak tahu apa yang ada dipikiranku saat ini selain berlari menyusul Egi seperti orang kesetanan. Tiba di klub basket, aku melihat Egi kesulitan masuk ke dalam, karena sudah banyak siswa yang mengelilingi lokasi kejadian.
"Permisi, maaf, permisi." Egi berucap seraya menerobos masuk, tubuhnya yang tidak terlalu gemuk untuk maju di barisan paling depan.
"Ada apaan sih?" tanya Egi pada Nathan yang sudah berdiri di barisan paling depan. Nathan tidak bisa berkata-kata lagi, dia menunjuk dengan jari telunjuknya ke arah depan dan menampakkan sosok gadis berparas cantik sedang berlumuran darah di bagian kepala.
Gery sedang duduk menghampiri gadis itu dengan tatapan terluka. Hatinya teriris, tangannya mengepal. "Siapa yang melakukan ini?" Egi langsung menghampiri Gery seraya menepuk pundaknya, lantas Gery menoleh dengan mengedihkan bahunya.
"Ada yang aneh dengan kejadian ini. Woy, siapa saja yang ada di sini bubar!" Gery beranjak, lalu tatapannya melebar seakan-akan siap melahap siapa saja yang masih berada di ruangan ini. Lantas yang bergerombol seperti semut merah merebut gula itu langsung bubar dengan barisan amburadul. "Tolong bawa ke rumah sakit! Jangan hanya diam semuanya, mau dia mati kehabisan darah di sini dan kalian hanya menjadi penonton gratisan?" Gery berbicara tegas, ketus dan penuh amarah, sungguh membuatku terkejut melihat sisinya yang saat ini.
Nathan yang berada di samping kiri Gery, lantas mencoba untuk menenangkan saudaranya tersebut. "Udah Ger, aku yakin ada dalang di balik semua kejadian ini. Kau jangan kemakan emosi, kau harus bisa tenang biar semuanya jelas."
"Aku tidak bisa tenang! Gisya itu udah aku anggap sebagai adik sendiri, nyokapnya nitipin dia ke aku tapi aku malah ngebiarin dia terluka." Gery menutup matanya rapat-rapat dengan nada penyesalan.
"Ini bukan sepenuhnya salahmu, Ger. Aku bakal bantu untuk nyari siapa pelakunya. Sebenarnya, kenapa dia bisa ada di klub basket dan ditemukan dalam keadaan belumuran darah seperti itu?" tanya Egi penasaran.
"Tadi guru olahraga kita yang teriak-teriak saat dia mau ambil bola basket. Katanya dia udah kayak gini waktu ada di sini sendirian ketika anak-anak kelas sepuluh mau olahraga." Nathan mencoba menjelaskan kronologi kejadian singkat, karena dia yang berada di klub basket ini.
Aku masih diam, tidak tahu harus bagaimana selain memperhatikan perdebatan mereka. Perempuan bernama Gisya tadi udah diberikan pertolongan oleh tenaga medis yang telah datang. Lalu membawanya bersama ambulan ke rumah sakit.
"Aku tidak melihat ada yang aneh di sini, bahkan jejak darah sekali pun karena Gisya lukanya sudah parah banget itu. Dan, luka itu hanya ditemukan tepat di mana dia tergeletak pingsan. Atau mungkin ada orang dalam yang membawa dia ke sini dengan tujuan tertentu? Atau bahkan kejadian ini berada di tempat lain agar kita tidak bisa mengetahui siapa dalangnya?" Egi cowok paling cerdas dalam memikirkan segala hal itu langsung berasumsi dengan apa yang sedang dibahas. Bahkan, Gery tak pernah memikirkan hal tersebut. Dia terbawa emosi dan pikirannya kacau.
"Boleh juga pemikiran yang logis." Gery setuju dengan pendapat Egi. Sekarang dia tahu, di mana dia harus mencari seseorang yang menjadi kecurigaannya selama ini.
"Ger, kau mau ke mana?" teriak Nathan cemas, jika Gery akan melakukan tindakan yang akan mempersulit keadaan. Di antara mereka yang paling emosional ternyata Gery jika sudah masuk ke dalam suasana seperti ini. Diam-diam, Gery sangat berbahaya juga.
"Kita ikutin dia dari belakang aja!"
Tahu-tahu aku ikut menyahut, Egi yang seperti tidak sadar akan eksistensiku sejak tadi hanya bisa mengerjapkan mata dan Nathan mengangguk setuju.
"Emang si Gery mau ke mana, sih?" tanyaku sebelum kita bertiga bergegas pergi.
"Nyari Naufan Raid Azka, aku takut dia cari masalah sama pacarnya Gisya." Nathan yang menyahut.
"By the way, di mana Anggun dan Pricil?" Aku bertanya lagi, pada Nathan.
"Oh, iya! Di mana kekasihku sama si gadis mungil yang cerewet itu? Tadi setahu aku habis mengabari Egi, mereka berdua keluar dari kerumunan dan tidak tahu lagi ke mana karena aku disibukkan sama eksistensi Gery serta kondisi Gisya."
***
Aku melihat Anggun dan Pricil di koridor yang sedang berlari menghampiriku.
"Kalian berdua dari mana aja?" Aku bertanya dengan setengah alis terangkat.
"Gery di mana?" Pricil terlihat panik.
"Pergi tadi, Nathan sama Egi lagi nyusulin dia katanya ketemu sama Naufan Raid Azka, pacarnya Gisya," sahutku dengan menunjuk ke arah di mana Nathan dan Egi sudah berlari lebih dulu. Lantaran aku menunggu Pricil dan Anggun datang menghampiri. "Pricil, kenapa kau panik?" tambahku lagi, tapi tidak digubris oleh Pricil, dia terlihat sangat menakutkan jika wajahnya tak menunjukkan senyum ceria dan seperti orang kerasukan, Pricil geleng-geleng kepala. Sebenarnya apa yang dilakukan Pricil ini?
"Sttss! Dia lagi melihat keberadaan Gery." Anggun menarikku untuk mendekat dengannya.
Setelah Pricil kembali membuka matanya setelah memejam dalam beberapa sekon, Anggun bertanya. "Ada apa?"
"Ikuti aku, bisa ada perang dunia ketiga ini kalau sampai Gery adu jotos sama Naufan!" pekik Pricil dan otomatis aku mengangguk sambil menarik lengan Anggun cepat-cepat.
Sesampainya di sana, Gery sedang ribut bersama laki-laki jangkung berparas tampan dengan rambut berjambul dan memakai seragam olahraga. Aku pikir itu yang bernama Naufan, kata Pricil dia adik kelas. Dan, Pricil dengan suara toanya membuat perhatian anak-anak di ruang basket outdoor ini memberikan atensinya kepada gadis berbadan kecil itu.
"KALIAN SEMUA TIDAK ADA KERJAAN! INI YANG KALIAN LAKUKAN SAAT GISYA LAGI KECELAKAAN?" pekik Pricil yang membuatku dan Anggun hanya bisa bungkam ketika kami berdiri di belakang beberapa langkah darinya.
Tapi seperti tidak peduli akan kemarahan Pricil, Gery kembali mengalihkan atensinya kepada Naufan. "Bangsat! Kau yang melakukan ini semua ke adikku?" Gery berteriak dengan penuh kemurkaan seraya mencengkeram baju seragam Naufan. Matanya berkilat marah, tangan kirinya mengepal, membuat siapa saja yang melihat akan bergidik ngeri.
"Sabar Ger, tanya orangnya baik-baik dulu." Nathan mencoba untuk meredakan emosi Gery yang sudah meluap-luap.
"Dia harus ditegasi, Nath." Gery dengan sinisnya menatap Nathan. Dan, anehnya di situasi seperti ini dia malah bercanda walaupun mukanya tampak garang seperti singa yang ingin memburu mangsanya. Nathan, benar-benar ajaib.
"Gery!!" Pricil yang berada beberapa langkah di dekat Gery itu lantas berteriak dengan suara kekuatan lima oktaf, membuat mereka semua menoleh ke arah kami bertiga. "Hentikan atau aku marah?" pekiknya lagi.
"Anak toa, jangan teriak-teriak dong! Tidak melihat ini lagi asyik si Gery, biarin aja, urusan laki ini." Tentu saja ini seruan Nathan, siapa lagi laki-laki yang tidak waras di antara mereka bertiga.
"Sialan kau, Nath! Bukannya nyuruh Gery yang baik-baik, justru membuat keadaan semakin rumit aja, sih!" desis Pricil seraya mengentakkan kakinya dengan penuh kekesalan.
"Nath, Ger, udah dong. Ini bukan sepenuhnya salah Naufan. Kita selidiki dulu, aja." Egi tahu-tahu berjalan di tengah-tengah mereka dan berupaya untuk mendamaikan.
"Bukan aku yang melakukan itu semua!" Naufan yang baru memiliki kesempatan langsung menyela, dia membentak dan mencoba untuk melepaskan tangan Gery dari cengkeraman bajunya. "Kau pikir dong! Aku sayang sama adekmu itu, mana mungkin aku tega gituin dia? Punya otak tidak sih, Ger?" Naufan kini membuat suasana lapangan outdoor menjadi hening. Seolah mereka semua tidak bisa berkata-kata lagi. Dengan langkah cepat, Naufan berjalan meninggalkan mereka semua. Bahunya sengaja ditabrakkan dengan Gery, lalu dia mengambil ransel yang berada di atas tribun dan keluar dari ruangan tersebut.
"Ger, kau harus tenang dan sabar. Selesaiin masalah itu bukan dengan cara emosi, di antara kita yang paling emosional pasti dirimu. Lalu apa gunanya kemampuanmu itu?" Pricil mencoba untuk memberi nasihat kepada Gery yang tampak mengacak rambutnya frustasi, dia menghampiri Gery seraya mengelus punggungnya.
Aku yang baru tahu satu persatu karakter mereka hanya bisa menjadi penonton.
***
Naufan berjalan menuju ke lokernya, dia meletakkan baju seragam olahraga ke dalam loker ketika sudah menggantinya dengan seragam putih abu-abu. Tiba-tiba saja, dia menemukan sebuah amplop berwarna coklat di dalam sana. Naufan membukanya, sontak dia membulatkan matanya. "Apa maksud dengan semua ini?" tanyanya pada diri sendiri.
Di dalam amplop berwarna coklat itu terdapat kertas putih yang bertuliskan dengan tinta merah menyerupai darah.
"AKU INGIN KEMATIAN. KENAPA KAU HIDUP?"
Naufan menjatuhkan kertas tersebut, dia melihat ke kanan-kiri tidak menemukan seseorang yang telah meletakkan kertas tersebut ke dalam lokernya. Bulu kuduknya bergidik ngeri, ini sudah seperti horror yang ada di film-film. Emang Naufan telah membuat kesalahan apa? Hingga hari ini dia seperti dituduh sebagai buronan. Dengan perasaan bercampur aduk, Naufan menatap kertas yang tadi terjatuh di bawah dan ternyata—
Kertas itu hilang?
"SETANNNN!" Naufan berlari dengan napas menderu. Dia tidak peduli lagi dengan lokernya yang terbuka itu. Lagi pula, di lokernya tidak menyimpan barang berharga selain baju ganti.
'BRUAKK!'
"WADAW!" Naufan memekik dengan wajahnya yang sudah merah padam seperti orang baru makan bon cabe level tiga puluh.
Gaswat, yang ditabrak bukan manusia biasa ternyata. Dia adalah Mario Teguh seorang paling berpengaruh besar di sekolah ini. Siapa lagi kalau bukan guru botak yang berprofesi sebagai kepala sekolah di sekolah ini.
"Naufan, kenapa lari seperti orang kesetanan gitu?" tanya pak Mario dengan tampang yang lebih serem daripada setan, menurut Naufan.
"Anu Pak... Anu..." Naufan masih mengatur napasnya yang menderu.
"Ona Anu ane, bisa bicara yang jelas??" tegas pak Mario membuat Naufan makin bergidik ngeri ditatap olehnya.
"Itu, tadi Pak... di sana saya melihat se—tan." Naufan berbicara dengan terbata-bata, bulu kuduknya masih belum membaik dan merasakan ngeri, dia mencoba untuk menelan ludahnya susah payah.
"Hahahaha." Pak Mario malah ketawa ngakak.
Busyet, nih orang malah ketawa-ketiwi gimana toh? Batin Naufan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Kau ini bagaimana, sih! Yang benar saja, siang bolong begini dibilang sekolah ada setannya? Kau ingin seluruh siswa di sini akan heboh karena lelucon kau itu? Trus mau sekolah ini tidak berisi karena di beritakan hoax 'ada setan gentayangan di sekolah' kau mau saya keluarkan karena telah mengada-ngada, Naufan Raid Azka?" tukas Mario seraya menatap anak didiknya dengan mata melotot setelah puas tertawa. Tuh, kan. Dia itu makhluk paling menyeramkan kalau sudah seperti ini.
Naufan hanya bisa melebarkan mulutnya sambil mangut-mangut seperti orang yang kelihatan bloon. "Iya Pak, saya tidak jadi melihat setan," ujarnya sambil menundukkan kepala, tidak berani menatap kepala sekolahnya tersebut.
Tapi, saya lihat lebih dari setan. Manusia setan jahat, lanjutnya dalam hati. Naufan pun segera pergi sebelum kepala sekolahnya berubah pikiran dan menghukumnya membersihkan toilet seluruh gedung dari lantai satu sampai lantai teratas.
"Saya undur diri, mohon Bapak geser sedikit, ya?" ucap Naufan dengan nada sesopan dan selembut mungkin.
"Oh, iya Nak, silakan." Pak Mario pun bergeser dan Naufan langsung kabur. Lantas, dia sadar langsung menepuk jidatnya. "Lah? Kok saya dikerjain sama anak didik saya sendiri, toh?" ujarnya yang bermonolog pada diri sendiri.
***
Hari sudah seperti hari sibuk dengan berbagai masalah. Masalah yang datang dari jam perjam bagi kelima saudara yang sering disebut dengan 'PASLIM' alias pasukan lima bersaudara. Tidak bagiku, hari pertama masuk sekolah sudah disambut dengan suasana horror dan berbagai pertanyaan di dalam benakku yang janggal dan tak terjawab. Aku kini mengikuti jejak pasukan lima bersaudara tersebut. Mereka yang awalnya berlima setiap kali pergi ke mana-mana kecuali ke kamar mandi, sekarang berubah menjadi profesi karena ketambahan anggota baru jadi berenam.
"Kita ke rumah sakit." Gery masuk ke dalam mobil. Dia duduk di bangku pengemudi dan di sampingnya ada Egi. Di belakang ada Nathan, Anggun, Pricil serta aku. Untung saja, tubuh para gadis itu tidak ada yang gemuk, jadi bisa memuat bersama dalam satu mobil.
Rumah sakit MYB, di ruang rawat inap VIP nomer XII. Gery memasuki ruangan tersebut. Seorang gadis berbaju seragam rumah sakit sedang diinfus dan tertidur damai di atas ranjang tersebut. Dia bernapas lega saat melihat adiknya tidak kenapa-napa. "Syukur, kalau kau baik-baik aja." Gery mengelus dadanya lega, lalu dia berjalan mendekati ranjang adiknya. Anggun, Pricil, Calista, Nathan dan Egi pun memasuki ruangan tersebut.
"Gimana keadaannya, Ger?" tanya Egi setelah dia berdiri di samping cowok tersebut. "Dia baik-baik aja, kan?" Egi berucap kembali sebelum Gery menjawab pertanyaannya.
"Seperti yang kau lihat, Gi."
"Gisya?"
Tiba-tiba saja, dari balik pintu tersebut terbuka dan menampilkan sosok laki-laki jangkung dengan seragam putih abu-abu, wajahnya terlihat panik dan penuh keringat bercucuran di dahinya. "Maaf, saya mengganggu." Naufan melihat satu persatu orang yang ada di ruangan itu dengan langkah terhenti di ambang pintu. Dia hendak berbalik, namun Gery memanggilnya agar tetap tinggal. "Naufan, kau tetap di sini."
Naufan tersenyum, dia berbalik dan berjalan mendekati ranjang Gisya.
"Apa yang membawamu ke sini?" tanya Anggun terdengar aneh dan lantas semua pandangan mata beralih ke arah Anggun.
Naufan mulai gemetaran, bibirnya terkatup rapat. Namun, dia berusaha menunjukkan wajah biasa-biasa saja meski sudah kentara oleh Anggun—cewek peka yang bisa merasakan hal janggal di sekitarnya.
"Aku tadi habis dapet peringatan aneh." Naufan pun berbicara dengan nada pelan. "Ada yang neror aku di loker." Naufan pun melanjutkan kalimatnya yang sempat tertunda, seraya menengadah.
"HAH?" serempak mereka memekik histeris.
"Tidak perlu berjama'ah juga, kali!" Naufan memayunkan bibirnya sebal.
"Jelasin secara detail, aku pikir ini ada hubungannya dengan kondisi Gisya saat ini!" Gery gemas karena Naufan membuatnya penasaran. Setelah Naufan menjelaskan kronologinya, mereka semua jadi ikutan takut. Takut, sesuatu akan terjadi lagi.
"ARGHHHH!" Aku berteriak histeris secara tiba-tiba membuat suasana tegang ini menjadi semakin mencengkeram dan aku lantas memeluk Egi karena dialah yang berada di dekatku.
"Lihat apa?" Suara Egi yang tenang, mampu mendamaikan perasaan gelisah yang sedang menyerang diriku.
"Sosok juba hitam," lirihku sambil memejamkan mata perlahan-lahan.