Chereads / Ghost of School / Chapter 4 - Perasaan Sensitif

Chapter 4 - Perasaan Sensitif

Lampu dimatikan, membuatku terkejut dan berteriak. Pricil yang sedang berdiri di dekat saklar lampu langsung buru-buru menyalakan kembali lampunya. Netranya memandangku heran.

"Jangan matikan lampunya," pintaku pada Pricil dengan mata berkaca-kaca.

Pricil yang melihat ketakutan di bola mataku, menghela napas pelan, kemudian berjalan mendekat. "Kau takut berada di kegelapan?" tanya Pricil yang saat ini sudah duduk di sampingku.

Aku mengangguk. Dia hanya terdiam setelah itu. "Ya sudah, tidurlah. Kau pasti lelah melakukan perjalanan jauh." Pricil menepuk bahuku, sebelum menyibak selimut dan membaginya bersamaku.

Saat kulirik Pricil memejamkan netranya, aku hanya bisa menghela napas pelan. Sambil memandang langit-langit kamar, seakan menghitung bintang yang menghiasi langit tersebut, dan berharap ikut memejamkan mata. Nyatanya netraku tidak bisa terpejam dengan cepat.

Ingatanku melayang bagai kaset yang terus berputar tanpa kenal rusak, pada kejadian-kejadian yang selalu kualami. Tapi aku tidak pernah merasa seberat itu harus terus mengingatnya. Yang menggangguku saat ini adalah pembicaraan saat di konferensi meja makan tadi, mereka berlima memberiku pandangan yang berbeda.

"Kau tahu mengapa kita ditakdirkan menjadi sempurna? Ya, maksudku bukan benar-benar sempurna. Hanya saja, orang-orang normal di luar sana yang merasa hidupnya lebih tenang dari pada kita, mereka selalu berpikir bahwa orang seperti kita adalah pengusik. Padahal kita merasa tuduhan itu tidak pantas untuk kita." Nathan mulai membuka suara, sambil melahap steak dagingnya, laki-laki itu memberi atensi penuh kepadaku.

"Mungkin karena sudah jalan kita. Tuhan mempercayakan keistimewaan itu berada di dalam tubuh kita. Semacam anugerah yang tidak dapat ditolak, menjadi istimewa juga memiliki pesona dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang sejalan. Tapi semua tergantung pada diri kita sendiri, bagaimana kita memandangnya, memaknai dan menerapkannya." Aku tersenyum setelah mengatakan pendapatku.

Kulihat beberapa dari mereka yang mengangkat kepalanya, setuju.

"Kau benar. Hidup dalam pengaruh positif atau negatif, membuatmu harus berani bertanggung jawab!" sahut Egi sambil menatapku datar. Kemudian melahap kembali saladnya.

"Tapi terkadang kita tidak bisa membedakan, mana pengaruh positif yang datang kepada kita atau justru pengaruh negatif?" tanyaku seraya mengedihkan bahu acuh.

Gery mendorong piringnya yang telah kosong dan bersih, kemudian dia menatapku lamat-lamat. "Ikuti saja kata hatimu. Terkadang jauh lebih baik saat kau berlatih untuk peka. Mengendalikan perasaan, mengelola emosi, kau harus belajar itu bersama Egi. Dia perasaannya paling sensitif, tapi dia juga mudah mengendalikannya dengan baik."

Aku mengerjapkan mata ketika mendengar Gery berkata cukup panjang. Kukira anak ini akan diam sepanjang percakapan dan memilih cuek sebagai pendengar. Ternyata dia juga senang membagi pendapatnya. Aku jadi tersenyum hangat kepadanya, karena kupikir ini tidak buruk. Papa memberiku tempat yang nyaman.

Egi mengambil segelas air mineral, meneguknya hingga habis, kemudian menompang dagunya sambil memperhatikanku yang masih menghabiskan makanan. Ditatap seperti itu membuatku gugup. "Dari kecil, aku sudah disuruh menjadi pembaca aktif. Buku-buku yang kubaca selalu berat, hingga terkadang aku tidak mengerti maknanya apa. Papa bilang aku memiliki ingatan yang sangat kuat, meskipun aku selalu bertanya ketika tidak mengerti dengan bahasa dan penyampaiannya. Tapi ketika aku melewati pada masa di mana aku pernah membaca tentang hal itu, aku dapat mengatasinya dengan baik."

Egi mengembuskan napas panjang sebelum mulai bercerita lagi. "Pada saat aku berumur sepuluh tahun, papa meninggalkan aku di tengah hutan. Dulu aku belum tinggal di Indonesia, dari kecil aku tinggal di Jerman. Waktu itu beliau mengajakku berburu, katanya agar menjadi pemuda aktif."

Aku bergidik ngeri saat membayangkan berada di tengah hutan dengan suasana sunyi, sepi dan banyak suara binatang menghantui sambil memandang pohon-pohon lebat, menatap langit yang cukup jauh dan pencahayaan minim karena daun-daun dipepohonan besar itu hampir menutupi sinar matahari. "Lalu, bagaimana bisa kau kembali bertemu dengan papamu?"

Egi menyunggingkan senyum tipis. "Aku menggunakan ikatan batin, telinga, dan mata. Papa bilang sudah saatnya dia melatih kemampuanku. Beliau bilang aku memiliki anugerah yang harus dilatih agar lebih sensitif dan berguna untuk kehidupanku di masa depan. Aku hampir tidak mempercayai, kenapa aku bisa mendengar orang-orang yang berburuk sangka kepadaku, hingga membuatku hampir gila. Karena kau tahu betapa sensitifnya perasaanku.

Aku juga bisa melihat kapan seseorang akan mengalami kejadian buruk, saat mereka hampir berada di ambang kematian atau ketika mereka memang telah ditakdirkan untuk mati. Ketika itu hanya mama yang sangat cerewet menceramahiku agar berhati-hati dalam mengatakan sesuatu. Keistimewaan dan kemampuanku ini memiliki resiko besar. Dulu aku selalu asal berbicara saat tahu ada orang asing di sampingku, tiba-tiba aku berkata padanya, jangan pergi ke arah timur atau kau akan mati dua jam lagi. Itu kukatakan secara spontan, sebenarnya aku tidak berniat mengatakan secara frontal. Tapi orang tersebut percaya dan dia mendatangiku, mengucapkan terima kasih karena tidak ikut dengan bus yang mengarah ke jalur timur, karena bus itu mengalami kecelakaan. Tetapi mama memberiku peringatan keras, tentang tidak semua orang akan percaya dan tidak semua orang terima dikatakan seperti itu karena mereka akan menganggap aku mendoakannya lekas mati."

Cukup menyakitkan, perjalanan dan pertumbuhan laki-laki dihadapanku saat ini tidak bisa dibilang mudah. Dia membawa beban sejak kecil, darinya mungkin aku belajar, bukan hanya aku yang mengalami kesulitan sejak kecil. Tapi masih ada orang-orang yang jauh lebih berat hidupnya dari pada aku. Kupandangi mereka satu persatu, wajahnya tidak ada yang menunjukkan kebohongan. Mereka sangat serius jika sudah berada di lingkaran ini. Mereka sangat menghayati ketika Egi bercerita tentang pengalaman dan perjalanannya. Mungkin mereka jauh lebih memahami Egi dan Egi juga jauh lebih memahami mereka.

"Kau tahu mengapa aku bisa memperingatkan Celin tentang dia akan mati, tapi dia tidak bisa mendekatiku saat sudah mati. Itu karena aku memiliki aura yang sangat kuat. Aura yang tidak bisa di dekati oleh hantu, karena keturunanku adalah rasi kesucian. Jika jalan hidupku tetap lurus, maka semua yang kujalani akan baik untuk ke depannya walaupun tetap banyak ancaman dari dunia luar yang sangat keras. Tapi sekali aku melakukan kesalahan besar, hantu-hantu yang memiliki dendam kepadaku, mereka akan menyakitiku. Atau orang-orang yang beritikad buruk terhadapku, maka aku akan jatuh pada saat itu juga."

Oh, jadi ini mengapa hantu itu hanya bisa menemuiku. Lantas kenapa dia lari saat Anggun datang?

"Apakah hantu Celin menemuimu?"

Seperti bisa membaca isi kepalaku, Egi menanyakan hal itu. Netraku memandangnya terkejut. "Bagaimana kau bisa tahu hal ini?" tanyaku heran.

"Aku bisa membaca pikiranmu, tapi aku tidak sengaja. Hanya saja aku tahu kalau kau memiliki aura yang bisa berteman dengan hantu mana pun, yang beraura positif dan beraura negatif, kau bisa merasakan kehadiran mereka, kan?" pungkas Egi yang membuatku melongo. Lantas mengangguk polos.

"Ehm, dia memang menemuiku dan sedikit bercerita tentangmu. Tapi, saat Anggun pergi menemukanku, dia langsung pergi begitu saja sebelum aku bertanya padanya." Aku menggigit bibir bawahku, menatap Anggun sekilas.

"Kurasa, kau harus berhati-hati dengan pacarnya. Firasatku mengatakan, dia pasti akan mencari gara-gara denganmu," kata Anggun dengan nada penuh penekanan.

Aku mengernyit heran. "Tadi dia juga mengatakan tentang pacarnya. Tapi itu tidak adil, kudengar pacarnya adalah musuhmu, tidak suka denganmu. Atau mungkin dia sempat cemburu karena ternyata Celin pernah menyukaimu?" Aku sejenak berpikir, menatap Egi lamat-lamat.

Saat semua orang di meja pantri sibuk menunggu penjelasanku selanjutnya, Pricil tiba-tiba menggebrak meja pantri dengan dramatis. Membuatku terperanjat kaget.

"Benar juga Cal, ini gawat. Tadi kita belum melihat keberadaan pacarnya. Pasti dia sedang cemas dan langsung bergegas ke rumah sakit begitu mendengar beritanya. Kau tahu Cal, beberapa minggu yang lalu, Celin pernah bertengkar dengan pacarnya. Kejadiannya sangat lucu, saat itu Celin kabur dan menabrak punggung Egi. Tiba-tiba dia berlindung di belakang Egi ketika pacarnya datang. Namun Egi hanya diam, mengabaikan Celin sampai pada akhirnya dia berjalan seperti robot, membuat pacarnya langsung menangkap Celin," jelas Pricil dengan nada mengebu-ngebu seakan dia jadi ikut terbakar mengingat hal itu.

Nathan yang sedang menahan kesal karena masih memegang dadanya, menatap Pricil sambil mengerucutkan bibirnya. "Tidak bisakah kau menjadi wanita lemah lembut, Cil?" sarkasme Nathan seraya menatap gadis itu yang hanya memutar bola matanya malas.

"Tadi Celin bilang tidak pernah berinteraksi dengan Egi?" Aku sedikit bingung, tapi menangkap kebingunganku itu, Egi membuka mulutnya sambil menghela napas pelan.

"Kalian tenang saja, ini bisa kuatasi. Aku tidak berada di posisi yang salah." Egi menggeser kursinya ke belakang, aku mengikuti pergerakannya. Hingga tiba-tiba dia bangkit dari duduknya, tanpa mengucapkan sepatah kata perpisahan, dia langsung berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan piringnya yang telah kosong.

Seperkian detik aku termangu menatap punggungnya yang sama sekali tidak melirik ke belakang.

"Kau tenang saja, dia selalu begitu jika pembahasan mulai membuatnya kesal. Dia sangat menyebalkan, tapi kita tidak boleh khawatir padanya karena jika dia masih bisa berdiri sendiri, maka dia akan melakukannya. Seperti kataku, dia pantang menyerah," ujar Pricil seraya menepuk bahuku sambil tersenyum lebar.

"Dan satu lagi, jika dia sedang mengatasi sebuah masalah kecil, ada orang asing yang hendak membantunya, dia tidak pernah suka, justru dia membenci orang yang seperti itu karena dia tidak bisa menghargai dirinya."

Aku masih mengingatnya dengan jelas, bagaimana kata-kata Pricil terus bersuara di dalam kepalaku bagai sebuah kaset rusak, meski suaranya patah-patah, aku tetap mendengarnya.

"Kau sedang memikirkan sesuatu?"

Aku terkejut saat mendapati suara Pricil yang tiba-tiba membeo.

"Jadi kau belum tidur?" kataku sambil beralih duduk.

Pricil membuka matanya dengan sempurna. "Belum, aku menunggumu tidur lebih dulu. Walaupun mataku terpejam, tapi posisi tidurku masih belum benar, jadi aku belum bisa tidur."

"Apakah kau tidak nyaman membagi satu ranjang untuk kita berdua?" Aku mengerjapkan mata polos.

Pricil terkekeh geli, lantas menggeleng. "Bukan, aku senang kau menemaniku di sini. Hanya saja, aku harus menunggumu tidur lebih awal, biasanya aku akan tidur dengan posisi miring sambil memeluk guling."

Aku memutar bola mata heran. "Kenapa kau harus menungguku tidur?" tanyaku tidak mengerti.

"Karena aku sayang kamu," pungkas Pricil sambil tersenyum lebar hingga membuat kedua netranya menyipit.

Aku terdiam dalam beberapa sekon, menatap Pricil dengan pandangan bingung. Lantas ketika aku paham maksudnya, aku jadi ikut tersenyum padanya.

"Kau tahu, aku adalah yang paling cerewet di antara mereka berempat," kata Pricil yang ikut mengubah posisinya menjadi duduk sambil bersandar pada headboard.

Rasanya malam ini aku benar-benar tidak bisa tidur, karena Pricil dan ocehannya membuatku memiliki teman bicara sebelum terpejam. Dia bagaikan seorang mama yang pandai berdongeng. Aku merasa nyaman, dia gadis yang ceria, tawanya membuatku tertular.

Tepat pukul satu malam, Pricil menyerah, dia berkata tidak bisa melindungiku lagi. Dia bilang ini kutukan karena dia terlalu banyak tertawa sehingga dewi tidur terganggu dan memberinya obat tidur agar dirinya tidak lagi mengganggu dewi tidur yang sedang menjamah manusia dalam mimpinya.

🍂🍂

Aku hampir bangun terlambat. Rasanya sekujur tubuhku sakit. Ini sudah terjadi dalam beberapa bulan. Tidak tahu mengapa aku mengalami beban berat setiap kali baru bangun tidur. Bukannya menunjukkan wajah segar karena beristirahat, justru membuatku kelelahan.

"Kau sudah bangun rupanya," ujar Pricil seraya tersenyum kepadaku saat baru saja keluar dari kamar mandi. "Jika kau ingin mandi, mandilah. Nanti kita sarapan pagi bersama di bawah. Aku harus membantu Anggun menyiapkan sarapan dulu untuk anak laki-laki dan juga kita semua tentunya."

Aku mengangguk, tidak banyak bersuara. Tenggorokanku terasa sangat kering, sampai-sampai aku merasa tercekik. Mungkin Pricil belum menyadari keganjalan yang terpancar di wajahku. Dia terlalu antusias mengeringkan rambut panjangnya. Ketika aku mulai beranjak dari atas ranjang, berjalan dengan langkah pelan, melewati cermin di mana Pricil sedang duduk di depannya.

"Cal," panggil Pricil membuatku menghentikan langkah.

Alisku terangkat, tapi aku masih menutup mulut.

"Kenapa wajahmu terlihat begitu pucat?" Pricil berkata dengan memperhatikanku dari balik cermin, dia memutar tubuhnya, kini menatapku dengan lekat. "Astaga, kau terlihat tidak baik-baik saja?"

Bahkan jika Pricil berkata seperti itu, aku juga bisa melihat penampakkanku di cermin, aku tidak seperti manusia. Lebih seperti zombie. "Ini hanya gejala biasa. Aku harus mandi, aku tidak apa-apa," kataku lemah seraya memaksakan seulas senyum tipis.

Pricil mengerutkan keningnya. "Suaramu saja tidak normal! Apa kau panas?" Pricil sangat perhatian sekali hingga memegang kulitku, merasakan dengan telapak tangan yang ditempel di dahiku. "Normal."

Aku saja juga bingung, aku terlihat sakit, tapi jika orang lain mengira aku demam, mereka salah besar karena suhu tubuhku tentu normal.

"Jangan khawatir, setelah mandi akan lebih baik," kataku lagi mencoba untuk menyakinkan lebih dalam, perlahan aku melepaskan tangan Pricil yang menempel di dahiku, kemudian aku berjalan masuk ke dalam bilik kamar mandi.

Tidak ada dua puluh menit, aku sudah keluar dengan jauh lebih baik. Wajahku terlihat segar kembali, tenggorokanku sudah tidak terlalu kering, merasakan air mengalir membasahi tubuhku, membuat aliran darahku berdesir seakan menghempaskan gejala-gejala tidak normal yang kurasakan tadi. Aneh. Aku sendiri bingung.

Pricil menungguku di kamar. Dia bilang tidak membantu Anggun karena dia bisa mengatasinya sendiri. Begitu Pricil melihatku tersenyum dan lebih segar, dia bertanya apa yang terjadi kepadaku. Lalu aku menjelaskan seperti apa yang kurasakan sesungguhnya.

"Aku tidak tahu, setiap kali aku bangun dalam belakangan ini selalu merasa berbeda. Aku tidak ingat apa yang kualami, entah itu sadar atau tidak." Aku berkata sambil duduk melihat Pricil yang sedang mengeluarkan seragam baru untukku.

Katanya aku sudah boleh sekolah mulai hari ini. Mama Egi bilang, surat kepindahan diurus perlahan dan bisa menyusul asalkan pendidikan Calista tidak tertunda.

"Apa ini semacam mimpi buruk dan seolah-olah kau berperang secara nyata hingga membuatmu merasa tersiksa?" tanya Pricil.

Aku mengedihkan bahu, bingung sendiri. "Mungkin?"

"Sudah sejak kapan kau mengalami ini?"

"Sepertinya empat bulan yang lalu?"

Pricil terdiam, membuatku takut dan bertanya-tanya apa yang ada dipikiran gadis itu. Aku sedikit bercerita padanya, mungkin ini bisa membantuku memecahkan masalah yang sedang kualami. Aku tidak tahu harus mengatakan ini kepada siapa, aku takut membuat mama dan papa cemas dan memikirkan bahwa ini ada hubungannya dengan hal ghaib.

"Yang aku rasakan saat tertidur, aku seperti mendengar suara jarum jam. Semakin keras, semakin membuatku berpikir bahwa itu adalah suara detak jantungku. Aku kira, aku akan mati saat itu juga. Tapi aku seakan sedang memegang erat waktu dan hidupku. Tiba-tiba aku merasakan air mataku mengalir, tidak deras, itu seperti sentilan kecil dari hatiku yang mungkin merasa kesepian. Jadi aku membiarkan air mataku pergi. Tapi ketika bangun, aku merasa baru saja berperang, tidak menang dan juga tidak kalah. Jadi yang kurasakan sakit. Seperti yang kau lihat pagi tadi."