Setelah Sri Pakubuwono I di Kartasura wafat, kedudukan diganti oleh putranya dengan gelar Sri Susuhunan Amangkurat Jawi. Beliau naik tahta pada tahun 1643 Jawa (1719 M).
Waktu naik tahta, Raja muda itu telah berputra, yang sulung bernama Raden Mas Sura (Sandi), dilahirkan oleh garwa selir Mas Ayu Sumarsana asal desa Keblokan tanah Nglaroh. (Surakarta) yang kemudian mendapat sebutan Raden Ayu Kilen atau R.Ay.Sepuh. sejak kecil, Raden Mas Sura dipungut sebagai putra oleh pamannya, Pangeran Purbaya dan namanya diganti R.M.Damar. oleh eyangnya, Sri Sunan Pakubuwono I diberi nama Pangeran Riya, kemudian kawin dengan R.Ay.Raga Asmara, putri Panembahan Cakraningrat di Madura, yang meninggal di dalam perahu. Ia lalu kawin lagi dengan putri pamannya Pangeran balitar, bernama R.Aj.Wulan dan inilah yang selanjutnya menurunkan para bangsawan Mangkunegaran.
Waktu itu Patih Cakrajaya sedang diutus menaklukkan pemberontak Jayapuspita di Surabaya. Utusan Sri Amangkurat Jawi menyampaikan surat kepada Patih, memberitahukan wafat ayahandanya dan agar Patih meneruskan perangnya, Sang Prabu mengangkat Tumenggung Kartanegara yang semula menjadi Patih dalam keraton, menjadi Patihnya untuk mendampingi Patih Cakrajaya.
Pada waktu sang Prabu Amangkurat Jawi dinobatkan, Kartasura masih makmur dan aman damai. Keadaannya tidak berubah seperti zaman Sri Paku Buwana I dan semuanya berjalan seperti biasanya. Namun beberapa lama kemudian, Sang Prabu mengatur keadaan para Pangeran dan memutuskan, menurunkan pangkat dua orang adiknya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Balitar, serta menarik kembali peralatan prajurit Jagasura yang dibawahinya. Dengan demikian kedudukan mereka hanya sebagai Pangeran Sentana. Tindakan itu karena beliau menganggap kedudukan dua orang adiknya terlalu besar.
Pangeran Purbaya dapat menerima keputusan Raja, tetapi Pangeran Balitar amat sakit hati dan tidak dapat menerimanya. Ia berniat memberontak, dan berembug dengan pamannya, Pangeran Arya Mataram, tetapi tidak disetujui. Berembug dengan kakandanya, Pangeran Purbaya pun mula โ mula tidak direstui, namun setelah Pangeran Balitar merasa tidak tahan dan lalu memberontak, akhirnya Pangeran Purbaya menyertainya pula. Meninggalkan Kartasura untuk melawan kakandanya, diiringi sanak keluarga serta para pengikutnya. Putra Sang Prabu, Pangeran Riya yang menjadi putra angkat Pangeran Purbaya pun ikut meninggalkan Kartasura.
Mereka dengan para pengiringnya mengambil tempat di Mataram, di Bale Kajenar, bekas tempat kedudukan Sultan Agung, yakni kota Karta yang diganti namanya menjadi Kartasekar.
Dalam waktu singkat Pangeran Balitar mendapat pengaruh besar di kalangan rakyat sehingga diangkat menjadi Sultan Ibnu Mustapa Paku Buwana Senopati Ing Ngalaga.
Pangeran Purbaya menjadi senapati (panglima perang) dengan julukan Panembahan Senapati Ing Prang. Sedangkan Pangeran Riya diangkat menjadi Putera mahkota dengan bergelar Pangeran Arya Amangkunegara.
Pengaruh pemberontakan cukup besar. Banyak orang Kartasura yang mengikutinya sehingga Kartasura menjadi sepi, pengaruh pemberontakan makin lama makin besar, disusul musim paceklik.
Sunan Amangkurat Jawi kehilangan banyak pengaruh dan dilanda kesulitan karena paceklik, namun berhasil mendapat bantuan saudagar kaya, pranaduta, yang mempunyai banyak budak belian seperti kompeni Belanda. Saudagar ini diangkat sebagai abdi dalem berpangkat Tumenggung dengan nama Subrata. Hal ini menimbulkan keguncangan pula di dalam kerajaan Kartasura, karena Tumenggung baru itu bukan keturunan bangsawan
Kericuhan dan keguncangan itu oleh Sri Amangkurat Jawi diberitahukan kepada Admiral, pemimpin kompeni Belanda yang sedang menumpas pemberontakan di Surabaya.
Pada waktu itu telah b erontak lebih dahulu Pangeran Arya Dipanegara yang telah bersatu dengan Adipati Jayapuspita dari Surabaya. Pangeran Arya Dipanegara telah berganti nama menjadi Panembahan Herucakra. Markasnya di desa Panonan daerah Sokawati, disana dibuatnya keraton beserta alun โ alunnya pula.
Panembahan Herucakra. Markasnya di desa Panonan daerah Sokawati, disana dibuatnya keraton beserta alun โ alunnya pula.
Di Kartasura Pangeran Arya Mataram yang semula tidak mau ikut memberontak, akhirnya juga meninggalkan kartasura dan berniat mandiri di Pati. Bupati grobogan telah ditaklukkannya.
Keadaan Kartasura sampai di desa โ desa serba kacau. Keamanan sangat terganggu dan penghdupan sangat sulit sehingga rakyat kebingungan. Ada yang berlindung dibawah Pangeran Arya Mataram, ada yang menyerah kepada kompeni Belanda, dan ada pula yang ikut barisan Panembahan Herucakra.
Sementara itu keangkaramurkaan Sang Prabu di Kartasura tidak menjadi reda , bahkan tambah menjadi โ jadi. Adanya pemberontakan โ pemberontakan di Kartasura diberitahukan pula oleh Sunan kepada Admiral dan patih Cakrajaya dipanggil pulang ke Kartasura. Waktu itu Admiral VOC dan Patih Cakrajaya sampai di Semarang disambut dengan perintah Sunan kepada Admiral VOC agar Patih Cakrajaya ditangkap dan dimasukkan kedalam penjara karena oleh raja dianggap menyetujui Pangeran Balitar untuk berontak. Admiral dan kompeni Belanda disertai prajurit Kartasura berangkat ke daerah MAtaram untuk menaklukkan pemberontakan Pangeran Balitar.
Kompeni berhadap โ hadapan dengan prajurit Sultan Ibnu Mustapa (Pangeran Balitar) dan terjadi perang seru. Paying kebesaran Pangeran Balitar terkena peluru, Sultan Ibnu Mustapa lari. Pangeran Riya (putera mahkota) maju membantu kekalahan paman sekaligus mertuanya tersebut, namun tidak berhasil dan mundur sampai di Kedu.
Admiral menghadap Sang Prabu dan berkata, bila dikehendaki masih sanggup membantu, namun ia meminta agar Patih Cakrajaya dilepaskan dari penjara karena Sang Patih dianggapnya orang baik dan setia kepada Raja. Maka Sang Prabu lalu memerintahkan agar Patih Cakrajaya dilepaskan dari tahanan.
Admiral kembali ke Semarang, melepaskan Cakrajaya dari penjara, kemudian mereka berdua memimpin pasukan penyerangan pemberontakan di Mataram (Pangeran Balitar)
Dalam perang itu prajurit Pangeran Balitar dan Amangkunegara (putera mahkota) tidak dapat bertahan, akhirnya mundur sampai daerah Panaraga, bahkan terus ke Madiun dan Kediri. Sampai disana prajurit Kartasura terhenti oleh karena adanya penyakit yang membawa korban prajurit Kartasura.
Adipati Mangkupraja dan Adipati Sudraningrat meninggal karena terserang penyakit.
Pangeran Balitar yang telah berganti nama Sultan Ibnu Mustapa dengan Pangeran Purbaya mundur sampai Malang, kemudian Pangeran Balitar menderita sakit sehingga wafat. Jenazahnya dibawa pulang ke Kartasura, bersama segenap keluarganya. Akhirnya jenazahnya dimakamkan di Astana Imogiri.
Dengan wafatnya Pangeran Balitar, Sang Prabu di Kartasura amat sedih dan menyesal. Dalam hatinya mengakui kekeliruan tindakannya.
Pangeran Purbaya yang masih di Malang bersama dengan putera angkatnya, (Amangkunegara) bersatu dengan Panembahan Herucakra dan meneruskan perangnya.
Admiral berembug dengan para Bupati akan berusaha bertemu dan mengundang Pangeran Herucakra dan Pangeran Purbaya dengan dalih akan dinobatkan menjadi Raja. Juga kepada Surapati yang memberontak di Pasuruan akan diundang pula dan akan dijanjikan diangkat menjadi Adipati Pasuruan.
Pertemuan terjadi di Pasuruan, Pangeran Purbaya percaya kepada janji Admiral, lalu diangkut di Surabaya, kemudian dengan kapal dibawa ke semarang, terus ke Betawi. Di Semarang, Pangeran Riya dijemput oleh utusan Sri Amangkurat Jawi, ayah kandungnya, selanjutnya dibawa pulang ke Kartasura.
Tipu daya VOC Kompeni berakhir dengan Pangeran Purbaya ditempatkan di Benteng Alang โ alang dalam kota Betawi, kemudian diasingkan ke Kaap, Afrika Selatan, sedangkan Pangeran Herucakra, Adipati Martapura, Adipati Surapati, Adipati Suradilaga langsung diasingkan ke Sailan (Sri Langka).
Oleh Sang Prabu di Kartasura Pangeran Riya diberi sebutan Pangeran Adipati Arya Mangkunegara. Sri Amangkurat Jawi setelah menginjak usia lanjut, memikirkan akan penggantinya sebagai raja Kartasura. Dalam pikirannya beliau ingin mengangkat Pangeran Adipati Arya Mangkunegara sebagai penggantinya, tetapi kecewa karena tampaknya Sang Pangeran masih terlalu memikirkan ayah angkatnya, Pangeran Purbaya, yang telah dibuang ke Kaap, Afrika Selatan.
Sementara itu permaisuri Ratu Kadipaten selalu merayu dan memohon agar salah seorang Puteranya diangkat menjadi raja di Kartasura, keempat puteranya itu adalah:
1. Raden Mas Sekti, kemudian bernama Pangeran Arya Buminata, tetapi lalu meninggal dunia.
2. Raden Mas Kadhaton, kemudian bernama Pangeran Arya Buminata, sesudah memberontak, Sultan Dandun Mertengsari.
3. Raden Mas Pamade, kemudian bernama Pangeran Arya Mataram dan setelah kakandanya (Sultan Dandun Mertengsari) berontak, ia berganti nama Pangeran Arya Buminata.
4. Raden Mas Sunaka, kemudian bernama Pangeran Arya Singosari, Sri Amangkurat Jawi menyuruh patihnya, Danureja membuat surat kepada VOC Kompeni Belanda di Betawi yang isinya: Bilamana beliau wafat, yang diizinkan mengganti kedudukannya adalah Pangeran Adipati Arya Mangkunegara. Bilamana tidak terlaksana diharapkan yang menggantikannya, Pangeran Adipati Anom yang lahir dari permaisuri permaisuri Kanjeng Ratu Ageng. Bilamana keduanya tidak disetujui, hendaknyalah empat orang puteranya dari Ratu Kadipaten agar dipilih salah seorang menjadi penggantiinya.