Aku pasti terlambat datang ke kantor sebab tadi ibu menahanku untuk tetap berbincang dengannya. Masalah serius, begitu dia bilang. Bukan tidak mau berbincang dengan bidadari tak bersayapku, hanya saja sebuah meeting penting tidak bisa diabaikan. Belum lagi hiruk-pikuk kota besar yang sungguh menjadi problematika tak terselesaikan di negeri ini. Kemacetan.
Memang bukan hal tabu lagi bila Jakarta terkenal akibat lalu lintas padat dan juga bencana banjirnya. Tapi, untuk hari ini aku hanya ingin sampai ke kantor sebelum klienku lebih dulu tiba.
Kulirik jam tanganku, sudah pukul tujuh lewat dua puluh. Mustahil bisa sampai di kantor tepat pada waktunya. Suara bising klakson kendaraan lainpun saling bersahutan, meminta diberi celah untuk bisa mendudukkan kembali bokong mereka di kursi empuk kantor.
"Kapan kamu mau menikah?" tanya ibu sembari mencuci piring. "Usiamu sudah cukup, kamu sudah mapan. Kenapa tidak mencari seorang wanita untuk dijadikan seorang istri?" sambungnya.
Aku menghela napas berat. Pertanyaan ini bagaikan kuman untukku. Kenapa harus menikah jika sendirian pun aku bisa melakukan semuanya? Akhir hidup dari seseorang bukan hanya menikah. Itu yang kuyakini.
"Bu, kita bahas masalah ini nanti, ya? Pras harus berangkat, ada meeting penting di kantor," terangku.
"Pras, pria dewasa harus menikah. Apa kamu mau ibu yang carikan?"
"Bu, tidak usah. Jika saatnya tiba, Pras akan mencarinya. Tapi, tolong untuk saat ini Pras ingin sendiri. Pras tidak mau direpotkan dengan urusan wanita ataupun berumah tangga. Pras ingin mengejar karier terlebih dahulu, lalu membahagiakan Ibu. Baru setelahnya Pras akan menikah," jelasku.
"Ibu akan bahagia jika kamu menikah. Kamu sibuk kerja, Ari juga sama. Reno juga mulai sibuk dengan kuliahnya. Setidaknya, jika kamu menikah dan istrimu bukan wanita karier, ibu akan ada teman."
"Bu, Mas Ari itu kakaknya Pras, lho. Kenapa tidak menyuruh dia menikah duluan?"
"Ari itu terlalu perfeksionis. Inginnya dapat wanita sempurna, pintar di rumah pun demikian di luar. Kamu 'kan beda, kamu mencintai kesederhanaan yang berkelas. Cocok dengan kriteria mantu idaman ibu," tutur ibu.
Aku terkekeh mendengar penuturan ibu. Tapi, untuk saat ini aku memang tidak berniat mencari seorang istri. Membagi waktu untuk pekerjaan dan ibu saja aku juga terkadang kelimpungan. Apalagi jika ditambah seorang istri.
Suara klakson yang terdengar berkali-kali menyadarkanku dari lamunan. Oh, ternyata lampu sudah berganti warna. Segera kutancap gas dan menggiring Tayner membelah kota Jakarta.
Sekitar tiga puluh menit kuhabiskan untuk bisa melewati padatnya lalu lintas. Kapasitas jalanan yang sempit ditambah banyaknya kendaraan yang keluar, mau tidak mau, suka tidak suka, membuat perjalanan sedikit terhambat. Seperti yang ayahku pernah katakan, jika ingin tinggal di Jakarta maka kita harus punya tingkat kesabaran yang tinggi.
Setelah memarkirkan Tayner, aku segera menuju ke ruanganku untuk mengambil beberapa file sebelum menuju ke ruang meeting.
"Telat lo! Tuh, klien lo udah lumutan di ruang meeting. Elah, dari mana aja sih lo?" tegur Radit begitu aku sampai di depan ruang meeting.
"Berisik lo!" semburku.
"Pras, buruan sana wanita cantik dianggurin aje! Lo kalo enggak mau buat gue aja deh."
Raditya Rafa, teman sekantorku yang kecerewetannya bahkan mengalahkan perempuan. Penyuka mobil balap dan semua perempuan cantik. Tapi, dibalik itu semua kecerdasannya mengenai dunia bisnis sangat menguntungkan banyak pihak.
Radit sahabatku sejak kami masih ingusan. Dia pandai berkelahi, sebab orang tuanya mengirim ia ke tempat bela diri. Dan Radit juga sama seperti ibuku, selalu menyuruhku mencari wanita. Berpacaran. Menikah. One night stand. Apapun namanya, yang terpenting berhubungan dengan wanita.
Aku bukan homoseksual. Aku mengagumi wanita, mencintai wanita, menginginkan wanita. Tapi, bukan untuk saat ini.
Harta, tahta, wanita. Itu 'kan yang selalu melekat pada pria? Harta dan tahta, alhamdulilah, Allah sudah melimpahiku rejeki dan kedudukan yang cukup. Wanita, hal terakhir yang ingin kumiliki. Namun, bukan saat ini. Mungkin suatu saat nanti.
"Malah bengong! Oy, lo mau masuk apa gue yang gantiin?"
"Cerewet lo kayak mak-mak!" hardikku.
"Ye, malah dia yang sewot. Dasar perjaka tua!"
Aku tak menghiraukan perkataan Radit, kubuka pintu ruang meeting dengan sedikit canggung. Radit benar, klienku kali ini seorang wanita cantik.
"Selamat pagi. Maaf atas keterlambatan saya," sapaku. Dia tersenyum, cantik. Eh, ada apa denganku? "Maaf, jalanan macet. Ditambah ibu saya mengajak berdiskusi di waktu yang tidak tepat," terangku.
"Tidak apa-apa. Tapi, hampir saja saya pergi untuk meeting selanjutnya," sahut wanita itu memaklumi. "Sebelumnya perkenalkan nama saya Adelia," tambahnya.
"Saya Pras. Maksud saya, Prasta," aku menerima uluran tangannya. Kulitnya begitu lembut, tangannya begitu kecil, sungguh pas digenggamanku.
Hei, Pras, sadarlah! batinku bersuara. Setelah mempersilakan Adel duduk kembali, kami membicarakan banyak hal terkait masalah bisnis kami.
"Jadi, bagaimana menurut Pak Pras?" tanyanya mengejutkanku. Aku mengerjapkan mataku, bisa gila aku lama-lama berada didekatnya. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Bingung harus menyahutinya bagaimana.
Aku berdeham, mencoba sedikit mengulur waktu untuk berpikir. Ada apa denganku? Mendengar suaranya yang meluncur mulus dari bibir merekahnya sungguh menghipnotisku. Belum lagi sorot matanya yang tegas tapi lembut secara bersamaan membuatku terpaku.
"Pak Pras?" tegur Adel. "Bapak tidak apa-apa? Apa perlu kita reschedull ulang meeting hari ini?"
"Apa? Tidak!" sergahku. Reaksi yang sungguh berlebihan Prasta! Aku berdeham kembali. "Maksud saya, lebih baik kita reschedull saja. Saya sedang tidak fokus hari ini. Itupun jika kamu tidak keberatan. Maksud saya, jika Ibu Adel tidak keberatan."
Ia terkekeh melihat kegugupanku. Benar-benar Prasta yang memalukan! Baru kali ini aku gugup berhadapan dengan wanita. Dan mengapa pula meeting hari ini hanya ada kami berdua? Yaa Allah, apa ini kehendakmu? batinku bersuara.
"Baik kalau begitu, saya akan mengabari Bapak lewat sekretaris saya untuk waktunya. Terima kasih untuk hari ini," pamitnya sembari mengulurkan tangannya lagi. Tanpa berpikir panjang, langsung kusambut uluran tangannya. Merasakan secara gratis halus kulitnya untuk kedua kalinya.
"Terima kasih atas pengertiannya, Bu Adel. Saya tunggu kabar selanjutnya. Biar saya antar keluar," tawarku.
Aku mengantarnya sampai ke lobby. Sembari tersenyum dengan sangat manis, Adel membungkukkan badannya sedikit. Lalu melenggang pergi meninggalkan kantorku. Kuperhatikan tubuh belakang Adel saat ia melenggang pergi ke parkiran. Adel wanita yang cantik. Tubuhnya yang dibalut dengan pakaian formal sungguh bisa membuat pria berfantasi kemana-mana. Belum lagi senyumannya, sorot matanya, suaranya. Sungguh mahakarya Allah yang luar biasa.
Astaghfirullahaladzim, Prasta! Pikiranmu sudah kemana-mana. Aku mengembuskan napas secara kasar. Ada satu kesempatan lagi untuk bertemu dengan Adel. Dan kuharap, kebodohanku tidak menguasaiku lagi.
"Tadi bengong, sekarang bengong juga. Gue tahu klien lo secantik itu sampai lo begini, tapi please nggak usah sampai ileran, Pras," ledek Radit yang diiring kekehan dua karyawan resepsionis.
"Fall in love at the first sight ya, Pak Pras?" ledek resepsionis yang berjilbab.
"Iya atuh, cantik gitu Bu Adelnya. Lihat body-nya udah kayak gitar Spanyol. Jadi iri," kali ini resepsionis yang kedua berbicara.
Aku mengabaikan mereka semua. Untuk apa meladeni, jika akhirnya sudah kuketahui. Lagipula, untuk apa memberi klarifikasi bahwa aku tidak jatuh cinta pada Adel. Tidak ada gunanya. Aku melirik mereka dengan tatapan tajam, berharap mereka diam dan melanjutkan tugas mereka.
Tanpa basa-basi, kutinggalkan mereka semua. Radit memang keterlaluan, membuat diriku menjadi bahan ejekan dua karyawanku.
"Pras!" seru Radit. "Elah, sensi amat. Lo lagi datang bulan, ya?" celetuk Radit.
"Enyah lo dari muka bumi!" semburku.