Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang
kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah
sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang
penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas
hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila
melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa
meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia
memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun
tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua
kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah
tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam
bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang
menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya.
Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak
terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang
sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap
pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun,
entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu
karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap
berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang
tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawa-
kan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas
batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak
salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke
bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu
karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau
pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang
yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah
ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah
puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas
melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar
tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di
atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira
sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak
mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya
menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras.
Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu,
Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira;
"Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi
lebih besari"
"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia
kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda
ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang
manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu
oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak
menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua
Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong
melompong di bawah sanal
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-
tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah
melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat
Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah ter-
sentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro men-
jejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sem-
pit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung
ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu
karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak
Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan
kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas-
kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu,
dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila!
Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya
mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu
tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu
cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal
dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah
menyentakkan benang kayangan yang menjerat
pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di
puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil
tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo,
sambutlah!"
''Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-
puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng
mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-
batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan
melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu
terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana
tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila
itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap
ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti
dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu
ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ' Lambat laut
timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan
menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk
kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila.
Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian
lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya
dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan
didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti
sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang,
maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup
juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu
meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun
karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh
pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah.
Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan
mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak
pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa
gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di
tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro
Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan
sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata:
"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya
murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro
Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan
heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng
adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng
pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung
Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke
puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan
sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.
Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan
pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak
berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-
tawa Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang
hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan
kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa-
apa...!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro,
"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati
mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di
tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang
bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah....
Agaknya tak perlu kuteruskan...."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua...?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak
senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama
"Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara
tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang,
untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan
ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang
bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus,"
kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar!
Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia
tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena
didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan
pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua
Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru
disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang
diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro
Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri,
pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat
kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir
setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku
untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. Wiro
terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah
menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat
kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah
melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk
dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh.
Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki
dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan
terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah
mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat
yang hebat padaku...."
"Lalu apa lagi?]" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku
sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila
lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro
hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila,"
kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun
Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai
bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa
keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti
orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya
Tambun Tulang itu...."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di
situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"
sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang
paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati
percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita
rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi
seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya
yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira
diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau
pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu
memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu
meneruskan lagi: 'Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang.
Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang
ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga
merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila
didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit
Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka,
seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki
anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping
itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke
daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,
orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan
saja niatmu pergi ke situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-
sia!" kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia
bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama
Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku!
Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu
padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati".
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk
tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu
manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me-
ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik,
kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu
akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku!
Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu
setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah
dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau
turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua
itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari
Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang
kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku
tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau... kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya.
"Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan
si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si
Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai
hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi.
"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku,
Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh
ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini
terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air
mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua.
Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila
tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah
tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak
kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng!
Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat
dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah
saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah...
pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan
dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu
sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk
keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!
Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup
dulupun punya tampang keren, tegap gagah!
Tapi itu dulu...!
Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.
Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir
pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga
senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu
turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami
hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya
sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia
luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda
muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan
janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila
perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya
sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar!
Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi
padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak
bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah
hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi
putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-
mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan
takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada
yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula
yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi
gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran
itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan
sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok
bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu
tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di
tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men-
desis. 'Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper-
tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi
semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian
kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah
penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"
''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu
dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..
"Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu
keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-
camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih
gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering,
muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu
aku tak pernah mandi-mandi!
Dan waktu itu kami berumur
kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan
juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan
membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka
kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk
kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men-
datang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta
keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-
betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas-
kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan
perkawinan?!".
Wiro Sableng garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak
ada halangannya..."
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.
"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl
Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng-
anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan
gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan
gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan
dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men-
dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa
ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum
mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya
harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan
seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri.
"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa
sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila.
Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau
sendiri yang datang menyambanginya...."
"Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau
tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"
"Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"
kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu
akan berakhir pada satu hal yakni kematian.... Nah, Wiro
sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap
kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak:
"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura
cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau
ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen-
dayungnya.
Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam
salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke
utara!