Chereads / Wiro sableng 212 " Banjir Darah Di Tambun tulang " / Chapter 5 - Banjir Darah di Tambun Tulang 05

Chapter 5 - Banjir Darah di Tambun Tulang 05

Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang

kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah

sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang

penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas

hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila

melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa

meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia

memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun

tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua

kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah

tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam

bati dia- merasa malu sendiri!

Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang

menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya.

Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak

terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang

sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap

pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun,

entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu

karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap

berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang

tiada terkalahkan sepanjang masa!

Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawa-

kan lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas

batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak

salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke

bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu

karang yang di sebelah sana!"

"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau

pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang

yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"

Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah

ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah

puncak batu karang!

Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas

melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar

tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya

diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di

atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira

sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak

mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya

menyongsong ke muka!

"Byuur!"

Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras.

Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu,

Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira;

"Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi

lebih besari"

"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia

kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda

ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang

manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu

oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak

menyaksikannya sendiri.

"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua

Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong

melompong di bawah sanal

"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.

Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.

Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-

tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah

melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat

Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah ter-

sentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.

Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro men-

jejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sem-

pit runcing, serta licnin berlumut itu!

Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung

ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu

karang di mana dia berada bersama Tua Gila.

"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak

Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan

kedua telapak tangan!"

Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempas-

kan ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu,

dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila!

Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya

mencelat mental!

"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu

tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu

cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal

dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah

menyentakkan benang kayangan yang menjerat

pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di

puncak batu karang itu!

"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil

tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo,

sambutlah!"

''Byuuur!"

Ombak menggulung menerpa bagian atas puncak-

puncak karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng

mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batu-

batu cadas, kembali Tua Gila menariknya dan

melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu

terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana

tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila

itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap

ombak menerjangnya jatuh!

Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti

dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu

ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ' Lambat laut

timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan

menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk

kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka

pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila.

Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian

lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya

dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan

didorongkan ke muka!

"Byuur!"

Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti

sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang,

maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup

juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu

meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun

karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh

pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah.

Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan

mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak

pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa

gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di

tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro

Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.

Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan

sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata:

"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya

murid macam ini! Tidak percuma!"

Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro

Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan

heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng

adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng

pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung

Gede!

Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke

puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan

sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.

Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan

pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak

berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawa-

tawa Tua Gila berkata:

"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang

hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan

kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apa-

apa...!"

"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro,

"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati

mengajarkan ilmu pukulan itu?"

Tua Gila tertawa gelak-gelak.

"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di

tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang

bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah....

Agaknya tak perlu kuteruskan...."

Wiro Sableng merasa tak enak.

"Karena mengingat apa, orang tua...?"

"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak

senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama

"Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara

tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang,

untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan

ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang

bernama Ilmu Silat Orang Gila"

"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus,"

kata Tua Gila.

Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar!

Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia

tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena

didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan

pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua

Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru

disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang

diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro

Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.

Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri,

pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat

kesempurnaan.

Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir

setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.

"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku

untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. Wiro

terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah

menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat

kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah

melihatmu!"

Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk

dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh.

Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki

dari situ.

"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan

terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah

mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat

yang hebat padaku...."

"Lalu apa lagi?]" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku

sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila

lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro

hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.

"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila,"

kata Wiro.

"Eh, petunjuk apa?!"

"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun

Tulang."

"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai

bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"

"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa

keterangan."

"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti

orang yang tidak sabar.

"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya

Tambun Tulang itu...."

"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di

situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.

"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"

sahut Wiro.

"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang

paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati

percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita

rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi

seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya

yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:

"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira

diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau

pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu

memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu

meneruskan lagi: 'Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang.

Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang

ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga

merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila

didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit

Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka,

seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki

anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping

itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke

daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,

orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan

saja niatmu pergi ke situ?!"

Wiro gelengkan kepalanya.

"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang sia-

sia!" kata Tua Gila pula.

Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia

bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama

Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan

mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"

"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku!

Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu

padamu!"

"Wiro mendumel dalam hati".

"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk

tokoh silat golongan hitam?"

"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila

"Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu

manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan

orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.

Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan me-

ngetahuinya sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik,

kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu

akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku!

Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"

Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu

setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah

dengan cepat ke pintu.

"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.

Wiro Sableng membalikkan badan.

"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau

turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"

Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua

itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari

Gunung Gede?!

"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang

kau tapi tidak tentang orang lain itu!"

"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.

"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku

tak mendengar kabar beritanya!"

Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.

"Kau... kau kenal dengan guruku?!"

"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"

Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya.

"Ada apakah orang tua?"

"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan

si Sinto Gendeng?!"

Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si

Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai

hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!

"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi.

"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku,

Tua Gila?"

Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh

ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini

terbayang di ruang matanya.

Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air

mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua.

Aneh, pikir Wiro.

Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila

tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah

tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak

kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya

aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...."

Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng!

Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat

dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.

"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah

saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah...

pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"

Kembali Tua Gila tertawa rawan.

"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan

dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu

sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk

keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!

Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup

dulupun punya tampang keren, tegap gagah!

Tapi itu dulu...!

Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"

Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.

Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir

pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga

senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu

turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami

hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya

sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia

luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda

muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan

janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila

perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya

sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar!

Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi

padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak

bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah

hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi

putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di mana-

mana! Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan

takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia

persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada

yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula

yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi

gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran

itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan

sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok

bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu

tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di

tanganku?"

Wiro angkat bahu.

Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya men-

desis. 'Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kuper-

tanggung jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi

semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian

kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah

penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"

''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu

dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..

"Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu

keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compang-

camping penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih

gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering,

muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu

aku tak pernah mandi-mandi!

Dan waktu itu kami berumur

kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan

juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan

membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka

kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk

kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun men-

datang aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta

keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betul-

betul gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantas-

kah orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan

perkawinan?!".

Wiro Sableng garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.

"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak

ada halangannya..."

Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.

"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl

Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan meng-

anggap kami berdua pada gila dan memang aku dan

gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan

gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan

dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, men-

dalami ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa

ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum

mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya

harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan

seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"

Lama kedua orang itu sama berdiam diri.

"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa

sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila.

Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau

sendiri yang datang menyambanginya...."

"Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau

tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"

"Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"

kata Wiro.

Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu

akan berakhir pada satu hal yakni kematian.... Nah, Wiro

sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"

Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap

kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!"

Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak:

"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"

Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura

cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau

ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pen-

dayungnya.

Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam

salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke

utara!