Chereads / Tuhan, aku menyukai salah satu hambamu / Chapter 22 - Pertemuan singkat

Chapter 22 - Pertemuan singkat

Beberapa hari menjelang kepulangan orangtua ke Indonesia, aku juga pulang kerumah untuk mempersiapkan acara menyambut kedatangan mereka.

Sedangkan acara pelantikan anggota baru senat didaerah puncak, terpaksa harus aku tinggalkan.

"Zee, lu beneran gak mau ikut?" tanya rekan organisasi.

"Iya, maaf gue gak bisa kontribusi banyak"

"Hmm.. sayang banget deh, lu yang udah survey tempat tapi lu malah gak ikut"

"Gapapa, gue do'ain sukses acaranya"

"Gak rame deh, kalo gak ada lu"

"Halah, lebay"

Sebelum pulang aku menyempatkan diri ke ruang senat, untuk berpamitan kepada mereka.

Lalu beberapa teman yang lain baru datang, ada Rani dan Diyan.

"Zee...." panggil Rani.

"Iyaa..."

"Aaahh... masa gak jadi ikut sih"

"Hmm aku kan udah bilang dari awal, paling aku gak bisa ikut pas hari H"

"Sedih deh gak bisa bareng-bareng kesana"

"Salam ya Zee, buat orangtua kamu. Semoga selamat sampai rumah" sahut Diyan.

"Iya pasti aku Salamin... makasih yaa do'anya"

"Aku juga ya Zee" sahut Rani.

"Iya kalian berdua adalah sahabat kesayangan aku, nanti pasti aku salamin"

"Kamu pulang besok kan Zee?"

"Iya, besok pagi."

"Ya udah, sekarang kita abisin waktu bersama"

"oh iyaa siap"

"Hangout kemana nih kita??? tanya Rani.

"Kemana aja, asal ada kang jajan hahaha" sahut Diyan.

"Eeiittt kalian mau kemana? Bentar lagi rapat loh" ucap salah satu teman organisasi.

"Iyaa kita tau kok... ! kan nanti, abis rapat perginya" sahut Rani.

"Ohhh gue kira mau pergi sekarang"

Sementara menunggu rekan organisasi yang lainnya datang, aku dan teman-teman pergi ke kantin untuk membeli minuman.

Ketika aku dan teman-teman sedang asyik berbincang sambil menikmati segelas es kopi, aku melihat dari kejauhan sosok Chandra yang baru datang seperti sedang kebingungan.

Tatapan mataku tidak bisa disembunyikan, Rani dan Diyan pun mengetahui aku sedang menatapnya.

"Ehhemmm...." Rani.

Lalu aku tersenyum dan kembali memperhatikan mereka berdua.

"Ngapain tuh Chandra, clingak clinguk" tanya diyan.

"Ah palingan lagi nyariin genknya" jawab Rani.

Beberapa saat kemudian, Chandra melihat keberadaan kami. Lalu dia menghampiri kami di kantin. Sementara dia sedang berjalan, kami berbisik tentangnya.

"Eh dia malah kesini, ngeliat kita" Diyan.

"Hmm sabar ya Zee"

"Lah kenapa? biasa aja ah"

Langkahnya cepat, dia keburu sampai di tempat kami duduk.

"Heyyy... heyy... kalian lagi pada ngapain?"

"Lagu duduk aja, lu ngapain ke kampus kan libur?" sahut Diyan.

"Ouhh... gue cuma mau ngumpul aja sama anak-anak. Tapi belom ada yang dateng"

"Gimana organisasi basket? Kapan mau ngadain pelantikan? " Tanya Diyan.

"Hmm Kayaknya awal tahun aja deh"

"Apa gak kelamaan?"

"Ahh nanti aja deh bahas kek gitu mah, diforum aja"

"Huhhh dasar ketua santuy"

"Hahahaha...." dia membalas dengan tertawa santai.

Mereka asyik berbincang sementara aku malah diam seribu bahasa, tak menanggapi apapun kecuali hanya tersenyum tersipu malu ala-ala wanita kalem. Yang ku lakukan hanya pura-pura sibuk memperhatikan ponsel saja.

Pada kenyataanya walaupun aku berusaha untuk bersikap biasa saja dihadapannya, namun malah terkesan menjaga jarak darinya. Aku bingung harus seperti apa, saat itu aku hanya berusaha merasa baik-baik saja.

"Zee... dengar-dengar orangtua lagi umroh?" tanya Chandra.

"Hah??? iya...iya lagi umroh. Tapi lusa udah mau pulang kok"

"Alhamdulillah...hmm berarti lu balik ke rumah?"

"Iya..."

"Gak ikut acara pelantikan?"

"Enggak..."

"Ohhhh... iya sih, berat juga ya...Tapi lebih baik utamakan keluarga. Semoga ortunya sampai rumah dengan selamat yaa zee"

"Hmm aaminn... makasih Chandra" jawabku singkat.

"Ehemmm... Zee anak-anak udah pada rame di grup chat, kayaknya udah pada kumpul diruangan" ucap Rani.

"Ohh.. ya udah ayoo kesana"

"Sorry ya Chandra kita tinggal, soalnya mau rapat dulu" ucap Rani.

"Oh iya, gapapa santai aja"

"Kita duluan yaa...." ucap Diyan.

Bisa-bisanya dia perhatian seperti itu bertanya-tanya soal orangtuaku yang sedang umroh. Dengan bersikap seperti itu dia nampak manis. Tetapi aku tidak boleh "baper" juga harus menjaga jarak dengannya.

Lalu aku, Diyan dan Rani pergi menuju ruang rapat.

Disana sudah banyak anggota senat yang berkumpul. Mungkin karena itu rapat terakhir sebelum keberangkatan, sehingga mereka antusias untuk mempersiapkannya.

Rapat dimulai dengan membahas akomodasi dan lain-lainnya. Kemudian dilanjutkan dengan susunan acara. Membuatku mulai sedikit membayangkan keadaan acara. Namun sayang aku tak bisa ikut, jadi hanya berhayal saja.

Setelah beberapa jam berlalu, rapat selesai. Aku, Diyan dan Rani langsung bergegas pergi untuk ke suatu tempat. Kami bertiga akan menghabiskan waktu bersama, sebelum aku pergi ke rumah esok harinya.

Kami mulai menentukan tempat tujuan, akhirnya pergi ke sebuah cafe favorit kami bertiga.

Sore menjelang malam, kami sudah sampai dicafe tersebut. Cafe yang bernuansa alam, kami memilih untuk duduk di kursi luar agar nyaman untuk berbincang. Ketika malam tiba biasanya cafe tersebut menyuguhkan sebuah band akustik.

Sehingga kami sebagai pengunjung betah berlama-lama disana.

"Zee... maaf ya soal tadi?" ucap Rani.

"Soal apaan?" tanyaku heran.

"Hmm tadi pas kamu lagi ngobrol sama Chandra"

"Ouhhh itu...kenapa minta maaf segala?"

"Maaf kalo aku motong perbincangan kalian"

"Lah... malah aku berterimakasih sama kamu"

"Kenapa?"

"Yaa... setidaknya aku gak lama-lama ngobrol kek gitu sama dia"

"Ouhh... aku udah nyangka sih, pasti tadi pas dia dateng kamu gak nyaman"

"Hmmm iyaa gitu deh"

"Susah ya Zee, mau ngelupain tapi orangnya masih tetep muncul" ucap Diyan.

"Ya mau gimana lagi, tapi aku juga udah berusaha buat biasa aja"

"Ah gak biasa. Aku tau kok rasanya kayak gimana" ucap Rani.

"Let it flow aja Zee" ucap Diyan.

"Hmmm... Iya aku juga pengennya kayak gitu"

"kita akan berusaha, biar kamu gak sering-sering ketemu lagi sama dia" ucap Rani.

"Makasihhh kalian emang paling terbaik"

"Udah jangan bahas dia lagi, bentar lagi band mau tampil tuh"

"Oya ran, kamu gak dicariin sama pacarmu?" tanya Diyan kepada Rani.

"Hmmm enggak. Biarin aja, bebas aku maen sama kalian"

"Hahaha....iya juga"

Beberapa saat kemudian band akustik mulai memainkan musik dan menyanyikan lagu-lagu yang sedang hits. Kami pun terlarut dengan iringan musik yang sendu, hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 08.30 malam. Itu artinya kami harus segera pulang.

Hari itu aku menghabiskan waktu bersama teman-teman, karena mungkin seminggu kedepan aku tidak bisa bertemu dengan mereka.

Keesokan harinya pagi-pagi sekali aku bergegas mandi dan bersiap-siap mengemas beberapa pakaianku ke dalam tas. Lalu aku keluar kamar dan mengunci pintu.

Tak lupa aku berpamitan kepada pemilik kosan, yang sudah seperti ibu kedua bagiku. Dia memelukku erat, sambil menepuk punggungku. Kemudian aku bersalaman dengannya, lalu berjalan menyebrang jalan.

Sambil menunggu mobil angkutan umum datang, aku mengecek ponselku. Ternyata ada chat dari kekasihku. Dia menanyakan keadaanku dan memastikan aku jadi pulang atau tidak. Lalu aku membalas pesannya.

"Kamu jadi pulang hari ini?" tanyanya.

"Iya jadi, ini udah mau naik mobil" jawabku singkat.

"Aku jemput ya"

"Emang kamu gak sibuk?"

"Enggak kok, kan mau ketemu pacar"

"Hehee" aku tersenyum melihat balasan chatnya.

"Ya udah, mau jemput aku dimana?" tanyaku.

"Hmm ditempat kamu berhenti naik angkot aja deh"

"Oke, nanti kalo udah sampe aku chat kamu"

"Iya siap. Hati hati ya dijalan"

Beberapa saat kemudian mobil tujuanku telah datang dan aku melambaikan tangan untuk memberhentikannya dihadapanku, akupun naik ke dalam mobil tersebut.

Sudah 2 jam perjalanan, aku sampai ditempat pemberhentian mobil tersebut.

Aku segera menghubungi kekasihku, namun dia belum membalas pesanku. Aku miscall berkali-kali, mungkin saja dia sedang tak memegang ponselnya. Dan akupun menunggu balasannya setengah jam.

Lalu dia membalas pesanku.

"Maaf, tadi aku ketiduran. Kamu udah sampe ya?" tanyanya.

"Iya, kamu jadi jemput? kalo gak jadi gapapa kok, aku bisa langsung pulang"

"Jadi kok jadi, kamu tunggu sebentar yaa aku mau ambil motorku"

"Iya aku tunggu"

Lumayan membosankan menunggu dia hampir satu jam, namun tak apa karena itu adalah pertemuan pertama aku dengannya setelah berpacaran.

Ya memang, sudah satu bulan terakhir kami menjalani hubungan hanya berkomunikasi lewat telepon atau chat.

Beberapa saat kemudian, dia datang. Tampak seseorang dari kejauhan sedang menengok kanan kiri. Dia memakai setelan kaos dan jeans, rambutnya ikal dan sedikit brewok diwajahnya.

Tak ku sangka, seseorang yang berada di motor itu adalah cinta masa sekolah dahulu yang saat ini menjadi kekasihku. Aku memanggilnya dari kejauhan, dia pun menghampiriku.

Lalu dia menyambutku dengan senyuman, namun aku sedikit canggung karena baru bertemu dengannya setelah sekian lama.

Dia langsung menyuruhku duduk diatas motornya. Namun aku agak kesulitan membawa tasku. Dia pun membawa tasku dan ditaruh di bawah dekat kakinya.

Lalu motor itu melaju, kami saling terdiam dan canggung. Sungguh ini pertama kalinya kami bertemu, namun malah canggung. Berbeda saat kami berdua bercanda dan tertawa via telepon.

Lalu kami berhenti di sebuah rumah makan Padang, dia mengajakku makan siang.

"Kamu belom makan kan?"

"Hmm iya belom"

"Ya udah kita makan dulu"

Lalu aku turun dari motornya, kami berdua duduk dikursi dan saling berhadapan.

Dia sesekali menatapku, namun aku menunduk dan memperhatikan ponsel.

"Hey..." ucapnya.

Lalu aku menengok ke wajahnya, dia sepertinya tak suka saat aku diam saja.

"Kamu canggung ya ketemu aku?" tanyanya.

"Hehe iyaa" sambil tersenyum.

"Mulai sekarang biasa aja dong, gak usah canggung bisa???"

"Hmm iya bisa, abis kamu juga gak ngajak ngobrol"

"Iyaa.. maaf aku juga sebenarnya canggung, tapi kalo kita sama-sama diem gini percuma dong ketemu"

"Iya sih... kamu gak apa-apa nih jemput aku?"

"Gapapa dong, kan jemput pacar sendiri"

"Ohhhhh.. iya iya iya hehe"

Tak lama kemudian pesanan makanan kami sampai. Dan kami berdua sibuk melahap makanan tersebut, tanpa berbincang.

Tersadar bahwa hari itu aku sedang makan bersama seseorang yang sudah menjadi kekasihku. Dihadapanku ada sosok yang selama sebulan lebih menjadi penyemangatku, alasanku membuka ponsel atau membalas pesan, dan dia juga yang membantu aku merawat luka hati yang tak terbalas. Aku tak mau dia hanya menjadi pelampiasan rasa kecewaku. Aku mau menyayanginya dengan tulus, tak memandang apapun. Kini aku mulai menyukainya, berharap dialah seseorang yang selalu ada di sisiku selamanya.