Udara hangat khas pantai Miami menguarkan aroma menenangkan untuk seorang wanita cantik yang tengah duduk di bibir pantai. Rambut hitam bergelombangnya dibiarkan tergerai indah, menari, mengikuti alunan merdu irama angin berhembus. Kulit kecoklatannya nampak indah dan bercahaya di bawah terpaan sinar matahari.
"Lara!"
Wanita itu memalingkan wajahnya ke arah datangnya suara. Seorang perempuan bertubuh sedikit berisi mendatanginya dengan setengah berlari. Napasnya nampak tersengal ketika langkahnya telah berhenti tepat di sisi tubuh wanita yang sejak tadi masih setia di tempatnya duduk.
"Ada apa? Kenapa kau berlari, Malona?" tanyanya berusaha untuk berdiri dan mensejajarkan diri dengan gadis di depannya.
"Boss memanggilmu," ucapnya.
"Kenapa dia memanggilku? Apa dia tidaj tahu kalau aku sedang istirahat?" gerutunya sembari berjalan meninggalkan bibir pantai.
"Entahlah. Dia nampak sedikit kesal saat menyebutkan namamu," ucap wanita bernama Malona itu sembari berjalan mengikuti langkah Lara.
Lara, terdengar indah di telinga orang-orang latin yang biasa mendengar namanya. Tapi tidak jika nama itu diucapkan di negara asalnya, artinya akan berbeda. Larasati, satu nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Saat ini wanita cantik itu berada sangat jauh dari tanah kelahirannya. Keputusannya untuk melanjutkan pendidikan di Amerika mengharuskannya tinggal jauh dari keluarga.
"Lara! Tamu sedang ramai, kau malah bersantai!" marah pria bertubuh gemuk dengan perut besarnya yang menonjol ke depan.
"Saya sedang istirahat, Boss," jawab Lara asal.
"Selalu banyak alasan! Layani tamu meja sembilan!" tunjuknya ke arah lelaki berpunggung indah.
Dengan sangat terpaksa Lara memasang kembali apron di pinggang rampingnya dan membawa tray serta buku menu di tangannya. Seperti biasa di waktu liburan musim panas seperti ini, Lara akan bekerja di sebuah restoran pinggir pantai di Miami. Di sini ia bisa berlibur sekaligus menghasilkan uang, apalagi bayarannya lumayan.
"Silakan di lihat, Tuan. Jika ada yang ingin dipesan bisa panggil saya, Lara," ucapnya ramah ketika sampai di meja yang ditunjuk oleh sang boss.
"Tequila," jawabnya singkat tanpa melihat ke arah gadis cantik itu.
"Baik, Tuan," balas Lara dengan senyum yang dipaksakan karena ia merasa kesal dengan tingkat orang-orang seperti ini.
"Huh! Dasar orang kaya, attitudenya nggak ada!" gerutu Lara dengan bahasa yang hanya bisa ia mengerti sendiri.
Lelaki yang merasa jika dirinya sedang dikatai memalingkan kepalanya ke arah Lara. Ia menyunggingkan senyum tipis di bibirnya, menghias bingkat tegas rahang berambutnya. "Lucu," ucapnya.
"Tuan, ayah anda terus menghubungi sejak tadi."
Seorang lelaki bertubuh tegap menghampiri lelaki tampan yang masih menatap ke arah Lara yang menatapnya dengan tatapan tidak suka. Untuk sesaat ia terpaku pada wajah cantik dan menyejukkan gadis itu. Namun di menit berikutnya ia menatap serius wajah lelaki yang baru saja menghampirinya.
"Dia mengatakan apa?"
"Tuan Besar meminta anda kembali ke Bogota untuk menyelesaikan semuanya."
"Gila! Katakan padanya kalau aku sedang mengejar angsa di hamparan pasir panas," jawab lelaki itu kembali memusatkan tatapannya ke arah Lara.
"Tapi, Tuan Daniel, anda di minta un--"
"Cukup! Katakan saja pada tua bangka itu untuk menghapus namaku dari pewarisnya, silakan saja."
"Tequila anda, Tuan," ucap Lara yang baru saja datang dengan membawa pesanan lelaki bernama Daniel itu.
"Terima kasih, Lara," ucap Daniel dengan senyum tipisnya.
Lara hanya mengangguk kecil dan berlalu meninggalkan meja Daniel. Ia tidak begitu menyukai mata abu-abu lelaki itu, mengingatkannya akan seseorang. Entahlah, ia tidak begitu mengingatnya, tetapi ia membencinya.
Kicauan burung terdengar begitu merdu di bawah jingganya langit sore. Perlahan matahari kembali ke peraduannya, menghilang di balik hamparan luas Samudera Atlantik Utara. Lara nampak membereskan tasnya, mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian santai. Hari ini ia hanya bekerja dari pagi hingga sore hari. Ia memiliki janji makan malam dengan seseorang yang spesial dalam hidupnya.
"Boss, terima kasih untuk cokelatnya," ucap Lara tulus sembari mengacungkan tas berisi cokelat.
"Baiklah, Lara. Sampaikan salamku padanya," ucap pria bertubuh besar itu.
Lara melambaikan tangannya pada beberapa rekan kerjanya sembari mengayuh sepeda meninggalkan restoran di pinggir pantai Miami itu. Tentu saja pemandangan gadis ceria itu tidak luput dari manik abu yang sejak tadi berada di sana. "Lara, lucu, cantik, dan membuatku penasaran," ucapnya pelan sembari mengetukkan jari di atas meja.
Selama di Miami, Lara tinggal di sebuah flat sederhana yang ia sewa setiap bulannya. Ia bukan berasal dari keluarga kaya di Indonesia, bahkan semua biaya pendidikannya didapatkan melalui jalur beasiswa. Ayahnya seorang pengrajin patung di Bali, dan Ibunya seorang guru di sekolah Negeri.
Sepeda berwarna biru dengan keranjang di depannya itu baru saja memasuki kawasan flat sederhana di tengah himpitan gedung-gedung pencakar langit nan mewah. Lara nampak memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus. Setelahnya ia berjalan memasuki salah satu gedung flat dan masuk ke lift yang akan membawanya ke unit flat miliknya.
Klek.
Terdengar bunyi kunci dan knop pintu dibuka ketika Lara baru tiba di depan pintu. Lara tersenyum melihat sosok yang membukakan pintu untuknya.
"Ibu!!!"
"Pramudia, Ibu pulang," ucap Lara dengan wajah bahagianya memeluk anak laki-laki yang menyambut kepulangannya.
"Ibu bawa apa hari ini?" Tanya Pram dengan aksen Indonesia yang terdengar sangat dipaksakan.
"Tadi Boss Ibu kasih cokelat untuk Pramudia, suka?"
Lara memberikan tas berisi cokelat itu ke tangan anak laki-lakinya yang bernama Pramudia itu. Jika orang mendengar namanya, pasti akan berpikir bahwa anak itu adalah seorang Pribumi. Tapi ketika melihat bagaimana rupa dan bentuk tubuhnya, mereka akan menarik ucapan itu. Pramudia hanya seorang Pribumi dari namanya, tapi tidak dengan semua bentuk fisiknya yang nampak sama seperti orang asing di negara ini.
"Terima kasih dari Pram untuk Boss Ibu, ya," ucapnya.
"Iya, Sayang. Nanti Ibu sampaikan," Lara kembali mengunci pintu dan menggandeng tangan putranya memasuki ruany keluarga flat sederhana ini.
"Jadi kapan Ibu bawa Pram ketemu Ayah?" tanya Pram dengan wajah sedihnya.
Lara hanya diam, ia tidak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan sang putra. Ayah dari Pramudia? Di mana ia harus mencarinya? Bahkan ia tidak tahu nama dan seperti apa rupanya lelaki yang telah menyumbangkan sperma di rahimnya.
Maafkan, Ibu, Sayang. Karena sesungguhnya Ibu tidak tahu siapa ayahmu.
Hanya belaian lembut di surai cokelat putranyalah yang bisa Lara berikan. Kehidupannya di sini sama dengan arti namanya di dalam bahasa negara asal.
Lara.
Kesedihan.