Chereads / Secret In Love / Chapter 22 - Opor Ayam dan Rendang

Chapter 22 - Opor Ayam dan Rendang

"aku suka dengan matamu yang melirik ayam tadi, sangat menggairahkan". ucapan Ramel membuatku benar-benar mengutuknya. aku hanya ingin menyantap makanan ini, tapi mengapa mereka begitu menyebalkan.

Aku akan belajar memasak makanan indonesia setelah ini, agar aku tak terlihat bodoh hanya karena makanan kesukaanku.

"Makanlah, kasihan mereka sudah menunggumu untuk mengunyah mereka. seperti aku yang menunggu untuk mengunyahmu". Ramel berbicara pelan dengan mengusap punggung tanganku. aku seperti akan sesak nafas setelah ini.

Aku tak meladeni ucapan Ramel sedari tadi, aku mengambil sendok dan mulai mencicipi rasa rendang, ah rasanya benar-benar sangat enak, aku akan menghabiskannya tanpa sisa. kunyahan demi kunyahan aku santap dengan riang. aku tak peduli lagi dengan obrolan keluargaku yang membicarakan pernikahan kami kemarin.

Aku hanya sesekali memperhatikan Renandra yang juga ikut mencicipi Rendang yang kumakan, ia tersenyum dan mulai mengikuti apa yang kulakukan. sepertinya dia akan menyukai rendang dan opor ayam sepertiku. lihat saja ia yang meminta menambahkan makanan itu dan dilayani oleh pelayan dibelakang kami.

Aku mengelus kepalanya dan mengacungkan jempolku didepannya, ia mengangguk dan menunjukan jempolnya juga, aku menyayangi anak ini. ia satu selera denganku sekarang, Tidak dengan Ramel yang entah kenapa sedari tadi tangan kirinya menyentuh pahaku. aku tak berani menyingkirkan tanganya, aku terlalu menikmati makanan dan tak ingin berdebat di sela makanku.

"Bibirmu benar-benar terlihat nikmat". aku menghembuskan nafasku pelan, ada apa dengan Ramel malam ini? dia terlihat seperti laki-laki mesum yang melihat mangsanya.

"makanlah dengan tenang Ramel, aku tak ingin membuat keributan disini. dan jangan mengganggu makanku yang nikmat ini". kataku sedikit kesal, aku paling sebal saat aku sedang menikmati makanan dan digganggu oleh orang lain.

"aku tak menganggu, aku hanya mengatakan kebenaran". bibirnya mengecup punggungku dengan lembut, aku sudah berkali-kali menahan nafas. sebenarnya ada apa dengan Ramelson, ia benar-benar membuatku gerah, sikap Romatisnya ini benar-benar murni atau memang hanya untuk menunjukan di depan keluarga besar kami saja.

"Ramel kau membuatku gerah, kau tau".

"Aku tau sayang, aku juga sama gerahnya denganmu".

"Ramel aku serius, singkirkan tanganmu dari pahaku, dan berhenti mencium punggungku". aku sedikit menyesal memakai pakaian dengan punggung terbuka seperti ini, Ramel benar-benar bermain di area sensitif seperti ini.

"Kenapa huh? kau sedari tadi meremang. aku tau kau juga menyukainya". aku menutup mataku perlahan, aku ingin meneriakinya untuk berhenti namun dia malah makin menjadi-jadi. sekarang tanganya sudah mengusap pahaku dengan lembut.

Cobaan apa lagi ini tuhan, aku tau kami suami istri, tapi tidakah ia bisa melakukan hal-hal semacam ini dirumah kami saja? mengapa juga ia melakukannya di tengah-tengah keluarga kami. aku sudah merasakan tanganya semakin naik dan menyentuh vaginaku. aku tersentak kaget dan sepertinya saat ini wajahku sudah memerah.

"Ramel!!", ucapku sedikit berteriak, aku menutup mulutku pelan, melirik satu persatu anggota keluargaku yang sudah menatap heran.

"ada apa sayang?". tangan kirinya yang tadi ada dibawah sudah mengelus kepalaku pelan, ia tersenyum seperti tidak terjadi apa-apa.

"ada apa Reista?". pertanyaan ibuku semakin membuatku bingung, salahkan mulutku yang tak bisa mengontrol untuk tidak berteriak.

"ah itu Mom, anu.. tadi Ramel mengambil paksa rendang yang sedang kumakan". aku tersenyum konyol, sangat konyol kurasa, bagaimana tidak jawaban yang kuberikan saat ini mampu membuat seisi ruangan tertawa..

Aku melirik ke arah Ramelson yang sudah tertawa dengan pelan, sepertinya raut wajahnya saat ini sangat senang dan menjengkelkan.

"Besok Mommy akan membawa chef itu untuk bekerja dirumah Ramel nak, kau akan makan masakan itu sampai kau puas". kini giliran Ibu mertuaku yang berucap dengan tulus, aku benar-benar malu saat ini. pasti aku sudah membuat nama keluarga ini tercoreng dengan sikap yang tak tau malu.

"dan kamu Ramel, makanlah dengan tenang tidak usah mengganggu istrimu terus. jika kamu ingin bermanja, tunggu sampai pulang". telak, aku senang mendengar teguran ibu mertuaku kepada Ramelsom. aku tersenyum licik ke arahnya.

Rasakan Ramel, kau kena kan sekarang. tapi Ramel tidak menanggapinya dengan serius karena sekarang dapat kurasakan lagi tangan Ramelson sudah bergerak di atas pahaku. aku menarik nafasku pelan dan membuangnya perlahan.

"aku ingin kekamar mandi dulu Mom dad". ucapanku diberi anggukan dari mereka. aku bangkit dan berjalan cepat ke arah kamar mandi, rasanya aku sudah panas dingin sejak tadi. sentuhan Ramelson benar-benar membuatku tak berkutik.

Bahkan hembusan nafasnya mampu membuat bulu kudukku meremang tak berkesudahan, aku masuk kedalam bilik khusus perempuan, mematut diriku dicermin, wajahku sudah sangat memerah saat ini. Ramel benar-benar menguji kesabaranku sebagai istrinya.

Tak bisakah dia membuatku tenang, agar aku bisa menikmati makananku dengan nyaman. sebenarnya aku sudah menghabiskan makanan utamaku. tapi tetap saja ia mengganggu kenyamanan yang aku perlukan.

aku mencuci tanganku dan merapihkan sedikit make up diwajahku, aku tak memakai make up berlebihan malam ini. aku tak ingin dipandang seperti jalang jika make up yang kupakai terlihat sangat mencolok.

"oh rupanya manusia kampung sedang memperhatikan dirinya sendiri heh? kalau sudah kampung mau kau pakai sesuatu yang mahal akan terlihat kampungan". aku memejamkan mataku sebentar untuk mengatur nafas yang tiba-tiba bergerumuh.

Si medusa ini mengapa mengikutiku segala sih, membuat orang kesal saja.

"tidak usah mencampuri urusanku, aku sedang tidak ingin berdebat". aku melangkahkan kakiku untuk keluar dari sini, namun baru dua langkah tubuhku dihadang oleh Caca.

"kau terlalu sombong Reista, kau itu hanya perempuan biasa yang cukup beruntung dinikahi oleh Ramelson". suara Caca terdengar sinis dan aku semakin tidak menyukainya.

"ya aku memang wanita beruntung, minggirlah aku ingin keluar".

"minggir katamu? suka-suka aku ingin berbuat apa. kau tak cukup pantas untuk mengaturku perempuan kampung".

"ya aku perempuan kampung, sekarang minggirlah". aku sangat tidak ingin berdebat dengan wanita ular ini. tapi dia benar-benar sedang memancing keributan.

"kau dan keluargamu benar-benar kampungan, apalagi kakakmu yang dengan sengaja menggodaku. heh isi dompetnya tak akan mampu membuatku naik keranjangnya".

Cukup sudah, aku mencekik lehernya dengan tangaku dan mendorongnya kedinding. mengunci pergerakannya dengan sebelah kakiku. memojokinya dan dapat kulihat raut mukannya yang menahan kesakitan.

"aku tidak ambil pusing saat kau menginaku, tapi jika kau berani menghina keluargaku. aku tidak mungkin tinggal diam, kakakku hanya berbasa-basi menegurmu. tidak usah terlalu percaya diri bahwa dia akan membawamu ke atas ranjang, kakakku bukan orang yang menyukai kegiatan sex sesaat. ia menjunjung tinggi kehormatan perempuan". Caca mencengkram tanganku yang mencekiknya, aku hanya melihatnya dengan sedatar mungkin, aku senang melihat kesakitan dimatanya itu.

"le..pas..kahhhnnn, aku bre..ngsehkkk...". ia sedikit meronta namun ia terlalu lemah untuk mendorongku.

"kuiingatkan kau satu hal Caca, aku istri sah Ramelson ettrama. aku memiliki hak yang sangat istimewa dikeluargaku. menyingkirkanmu adalah hal yang mudah bagiku saat ini, berhentilah bermain-main denganku". aku melepaskan cekikan dilehernya dengan kasar, ia tersungkur kesamping dan dapat kulihat bekas memerah di lehernya. ia menatapku dengan amarah yang kuyakin saat ini sudah sampai ke ubun-ubun.

Aku tidak memperdulikannya, aku keluar dari sana dan menetralkan amarahku yang hampir kelewatan. aku paling benci saat keluargaku dibawa-bawa olehnya. memangnya dia siapa berani mengancamku, aku tidak seperti upik abu yang akan diam saja saat dihina.