Nafasku terasa berat.
Aku nyaris tak bisa merasakan apapun dari bawah leherku.
Apa yang terjadi kepadaku?
Ada sesuatu yang menetes diwajahku.
Apa itu? Ada seseorang?
Siapa?
Samar samar kurasakan sosok yang sangat kurindukan.
Siapa dia?
Ia mengangakt tubuhku yang terkulai lemah dengan sepasang tangan yang bergetar.
".. ratuku.." aku bisa mendengar ia memanggilku sebelum ia mendekap erat tubuhku.
Rasanya begitu nyaman berada dalam pelukannya. Ia menangis.
"Kenapa menangis untukku?"
Pelukannya melemah ketika aku menyentuh wajahnya. ".. andai dari awal aku memilihmu." suaraku terdengar lemah, aku merasa berbicara tapi disaat yang sama aku merasa itu bukanlah diriku yang sedang berbicara. Apa yang sedang terjadi?
Apakah ini mimpi?
".. tapi kita tak bisa kembali lagi ke masa itu."
"Hentikan.." suaranya gemetar. "Jangan tinggalkan aku. Akan kuberikan semua yang kumiliki. Jangan tinggalkan aku." sepasang mata biru gelap yang basah oleh air mata itu menatapku dengan sebuah kehangatan yang tidak dapat kumengerti.
Apa aku akan mati?
Kenapa aku tidak merasakan apapun?
Dadaku terasa hampa.
Kenapa ia terasa sangat familiar? padahal aku tak ingat pernah bertemu dengannya. Rasanya seolah seumur hidup ini aku selalu bersamanya. Seolah dia selalu ada dan keberadaannya adalah suatu hal yang biasa bagiku seperti bernafas.
Ah.. Nafasku.
Aku tak bisa bernafas.
Kalau aku pergi, dia akan hancur.
Apa yang harus aku lakukan?
Jika dibiarkan seperti ini, tubuhku akan mati.
Aku akan ...mati?
TIDAK AKAN KUBIARKAN.
AKAN KUBUNUH..
AKAN KUBUNUH DIA
BERANINYA DIA MELUKAI MILIKKU
Ada suara aneh yang mendengung didalam kepalaku.
Sakit!
Rasa sakit tiba-tiba saja menusuk ke seluruh badanku, rasanya seolah semua bagian tubuhku remuk. Dadaku terasa mau pecah saat aku menarik nafas. Mataku terbuka perlahan. Walau terasa amat perih tapi aku tetap berusaha membuka mataku.
Pemandangan pertama yang kutemukan adalah puing puing yang tidak dapat kukenali lagi bentuknya.
Semua hancur berkeping keping dan terbakar.
Asap mengepul tinggi ke langit malam yang gelap.
Apa yang terjadi?
Kepalaku terasa berat begitu juga seluruh badanku.
Perlahan.. ingatanku kembali.
Sore tadi aku diam diam mengikuti para anggota yang pergi menonton pertunjukan para monster itu.
Aku menyembunyikan keberadaanku dan menyelinap masuk kedalam tenda mereka yang megah. Ada banyak orang yang datang.
Aku berusaha memantau kondisi dan menghitung jumlah crea yang ada disana.
Satu hal yang pasti. Terlalu banyak untuk kuhadapi sendirian. Aku menghela nafas.
Suasananya sangat meriah, semua baik baik saja sampai pertunjukan utama yang melibatkan beberapa penonton di panggung yang luas.
Mereka membunuh penonton yang naik dengan sengaja.
Semua orang panik.
Berlarian.
Suasana menjadi tak terkendali. Tapi mereka sudah merencanakan itu. Orang orang yang berlarian malah membuat mereka semakin bergairah.
Tembakan pistolku meleset.
Mereka menyadari keberadaanku.
Anehnya mereka sangat santai menanggapi kehadiranku.
"Selamat datang nona kecil." pemimpin mereka muncul dengan tubuh bersimbah darah.
Mata hijaunya yang semula menawan berubah menjadi sangat menjijikan di mataku.
Seluruh tubuhnya bersisik.
Lidahnya panjang. Mendesis.
Reptil.
Ia mengusap darah dari bibir pucatnya yang terlihat begitu lembut.
".. baumu sangat menarik." ia menarik nafas dalam dalam. "Aku ingin tahu. Bagaimana rasa darahmu? manis atau asam?" ia mengertakkan taringnya.
Aku segera mengarahkan pistolku padanya.
Semakin lama waktu yang diundurnya semakin banyak korban yang jatuh didepan sana.
Aku tak melihat anggota yang lain. Dimana mereka?
Sensorku tidak berguna untuk mendeteksi manusia.
Apa yang harus kulakukan? berhadapan langsung dengannya tidak akan membawakan kemenangan.
Aku hanya bisa bertahan, sampai bala bantuan datang?
Apa bantuan akan datang?
Ingatanku hanya sampai disana.
aku tak tahu bagaimana aku bisa selamat sampai saat ini.
Apa ada keajaiban?
Aku tak merasakan keberadaan crea itu lagi. Seolah mereka semua sudah lenyap. Apa mereka sudah pergi? Tidak. Mereka tidak akan membiarkanku tetap hidup kalau begitu.
Aku berusaha mengumpulkan tenaga untuk berdiri.
Apa rusukku remuk? kenapa sakit sekali hanya untuk bernafas.
"Rigyna?" terdengar suara parau yang hampir tidak bisa kukenali.
Crea??!!
Namun sosok yang keluar dari kepulan asap itu bukanlah crea, hanya kapten Zehel yang penuh debu dan darah. Apa dia datang?
Aku tak ingat melihatnya.
Kapan dia sampai disini?
Ia melihatku dengan tatapan khawatir.
"Bagaimana anda bisa ada disini?" tanyaku disertai batuk yang panjang.
Bukan menjawab pertanyaanku, ia malah memelukku dengan lega. "Syukurlah kamu selamat." bisiknya.
Sepertinya setelah itu aku kembali pingsan dan saat kembali sadar aku mendapati diriku ada di rumah sakit sendirian.
Berita tentang kejadian itu tentu saja sudah diurus sepenuhnya oleh organisasi.
Dokter dan suster bergiliran datang untuk mengecek kondisiku dan sesekali pihak kepolisian datang untuk menginterogasi diriku.
Tentu saja aku tak bisa memberikan keterangan. Hanya berkata aku tak yakin apa yang terjadi karena pada saat kejadian aku sedang ke toilet.
Sepertinya berita kali ini takkan semudah itu reda karena banyaknya korban jiwa.
Ya..
Seluruh karyawan di penginapan tempatku bekerja tewas.
Apa hanya aku yang tersisa?
Lagi.
Aku tak bisa berhenti menyalahkan diriku. Ini tidak berbeda dengan kejadian ekspedisi yang lalu. Tak ada yang memercayaiku. Lalu mereka. Mati.
Aku hanya bisa memejamkan mata, mengubur dalam dalam rasa takut dan resah di dalam hati. Aku tak punya cukup kekuatan. Tak bisa melindungi siapapun. Walau aku tahu, aku yang paling tahu.
Kenapa? kenapa hanya aku yang tahu?
Aku tidak mau kekuatan ini. Rasanya dalam tiap malam tidurku terganggu oleh jeritan mereka yang menyalahkanku karena tak sanggup menyelamatkan mereka.
Untuk apa aku hidup?
Malam malam sunyi yang kulalui membuat hatiku semakin resah dan semakin lemah. Rasanya semua beban dalam hatiku terlalu berat, aku tak mampu melangkah kedepan dan terlalu takut untuk melihat kebelakang.
Bagaimana aku bisa hidup dengan mendengar semua jeritan kesedihan ini.
"Rigyna!"
Sebelum aku sempat menoleh, kapten sudah memelukku erat. Apa yang?
Ahh..
Hembusan angin malam menyadarkanku atas apa yang sedang aku coba lakukan.
Jendela kamarku terbuka lebar.
Apa tadi salah satu kakiku sudah berada diluar?
"Apa yang sedang kamu lakukan?!" kapten terdengar marah.
Aku tak bisa menjawab.
Jelas menyadari kesalahanku sebelum akhirnya aku menangis.
"Maaf." rintihku.
Kapten hanya diam, menungguku menangis sampai aku puas. Lalu menceritakan padaku tentang apa yang terjadi selama aku di rumah sakit.
Tentu saja, kapten disibukkan berkas laporan yang harus ia susun karena semua anggota dibawah kepemimpinannya tewas kecuali aku sehingga tidak muncul selama ini.
Penginapan kami akhirnya ditutup.
Kapten memintaku untuk tinggal bersamanya sampai ada info lebih lanjut untuk kantor yang baru.
Aku yang tak memiliki tempat untuk pergi hanya bisa mengikuti kemana pun kapten pergi.
Sebenarnya keluar dari tempat itu sangat melegakan bagiku.
Jika tinggal disana lebih lama lagi, aku mungkin akan gila karena teringat terus tentang mereka walaupun mereka tidak pernah memberikan satupun kenangan yang bagus padaku.
***