"Hei, Rafael. Apa kabar?" sapa seorang gadis yang datang mendekati meja kasir.
Rambutnya terlihat berkilau dengan warna pirang yang dijempit kebelakang. Semua riasan make up yang dia kenakan terlihat sangat cantik walau sedikit berlebihan.
Dia membawa beberapa keranjang besar-barang-belanjaannya, dan mulai meletakkan satu persatu ke meja kasir. "Sudah lama sekali aku tidak bertemu denganmu," katanya.
Rafaela hanya tersenyum, gadis bersurai coklat itu memilih diam dari pada meladeni orang yang pernah menjadi musuhnya dulu. Tangannya lihai menyusun belanjaan gadis itu tanpa mempedulikan dia bicara.
"Loh... Laras? Ini kamu?" tanya seorang gadis yang bersaragam sama dengan yang Rafaela gunakan.
"Eh Lily. Apa kabar?" sapa wanita berambut pirang itu tersenyum.
"Yah tidak terlalu buruk... Eh kamu kelihatan cantik, apa rahasianya?"
"Aku perawatan lah... Hehehe kalian juga bisa kok perawatan kayak aku. Tapi aku gak jamin kalian akan mampu." kata Laras dengan gaya khasnya yang menyebalkan.
Rafaela tersenyum miring, dia menyembunyikan tawanya dibalik tatapan malas melihat gadis itu. Ia teringat masa - masa sekolah yang penuh drama bersama Laras, dan sifatnya yang ini paling dibenci Rafaela dari gadis berambut pirang itu. Dia memang terlihat baik, tapi disetiap ujung kalimat yang dia katakan pasti berisi hinaan ataupun kesombongan.
Rafaela berusaha secepat mungkin memasukkan belanjaan Mantan Musuhnya itu dan berharap agar dia segera pergi dari sini.
"Kamu kerja apa? Kelihatannya kamu makin kaya," tanya Lily yang tidak sadar kalau Rafaela ingin gadis itu pergi.
"Yah... Tidak banyak. Setelah lulus aku diterima di kerajaan Venzilla dan menetap di sana," ujar Laras masih dengan gaya sombongnya.
"Kamu kerja sebagai apa? Tukang sapu?" tanya Lily makin penasaran.
Rafaela terkekeh dalam hati. Ia menyembunyikan senyumnya lagi sembil mengemasi barang belanjaan yang mengkreta tidak ada habisnya. Kata - kata Lily sangat lucu, dia bertanya dengan sangat polos namun juga sangat menyakitkan. Wajah Laras langsung memerah padam melirik Rafaela tersenyum.
"Enak aja! Aku dayang para pangeran tau!" serunya emosi.
"Maksudmu pelacur?" cetus Refaela asal.
Gadis berambut pirang itu makin memanas, raut wajahnya mulai terlihat menyeramkan. Giginya seperti mengeretak seolah ingin mencabik mulut manis Rafaela. "Jaga bicaramu!" geramnya menatap tajam gadis berambut coklat itu.
"Psstt.. Aku rasa kau keterlaluan, Raf.," bisik Lily disamping Rafaela.
"Bukannya para dayang yang melayani para raja dan pangeran itu sama saja pelacur ya? Lalu salahku dimana?" ujar Rafaela membalas Lily.
"Lebih baik kau cepat selesaikan belanjaannya." kata Lyli segera membantu Rafaela memasukkan barang belanjaan itu ke kantong. Mereka berusaha secepat mungkin agar Laras tidak meledak di sana.
"Semuanya Rp. 2.750.000, kamu punya kartu member?" kata Lyli mencoba mengalihkan perhatian Laras.
Gadis pirang itu langsung mengeluarkan dompet merah maroonnya dan mengambil sebuah kartu hitam di sana. "Nih, aku gak bawa uang Cash," katanya dingin.
"OK..." Lyli langsung memproses pembayarannya dan segera memanggil antrian berikutnya.
"Akan ku balas kau," gumam gadis pirang itu sebelum akhirnya pergi bersama para pria berjas formal yang mengangkat semua belanjaannya.
Rafaela terpaku membisu. Dia bukan takut akan kata - kata Laras tadi. Namun, ia tercengan saat baru menyadari kalau para pria itu bertingkah seperti pelayannya Laras. "Lyli, apa kau memikirkan apa yang ku pikirkan?" tanya Rafaela yang masih membuntuti gerak - gerik Laras di luar toko.
"Jadikan dia sasaran selanjutnya?" tebak Lily.
"Boleh juga."
.
.
[Sore hari 18:00/ruang bawah tanah]
Cahaya lampu sedikit menyinari ruang gelap yang lembab itu. Sebuah meja besar berada tepat di bawah lampu. Di atas meja itu terdapat sebuah peta / maps dari sebuah lokasi gedung paling terkenal di kota.
Dua wanita dan tiga pria mengelilingi peta itu. Mereka memandang kertas penuh tanda tunjuk itu dengan sangat serius. "Terlalu banyak keamanan di pintu masuk. Kita harus gunakan pintu lain," ujar salah satu pria.
"Gimana dengan pintu belakang?" tanya gadis berambut keriting.
"Tidak bisa Lily. Itu terlalu jauh dari berangkas," jawab pria itu.
"Kita butuh pengalihan."
"Tunggu." Gadis berambut merah kecoklatan itu menatap pria yang dari tadi menjelaskan. "Apa kau ingin menggunakan metode lama lagi?" tanya-nya.
"Tentu... Hanya itu cara yang bisa menembus ketatnya penjagaan."
"Tapi itu terlalu berbahaya untuk kami, gimana kalau ternyata kami tertangkap?" ujar gadis itu menolak.
"Tidak mungkin tertangkap kalau kalian tidak berbuat ulah."
Gadis berambut coklat itu mendecak kesal, dia memutar bola matanya malas. Sebenarnya itu tugas yang sangat mudah baginya, hanya saja dia tidak mau berlenggak - lenggok di depan para pria bagai wanita penggoda. Dia tidak mau harga dirinya diinjak - injak seperti itu.
"Apa semua siap?" ujar pria itu.
Semua orang mengangguk yakin kecuali gadis berambut coklat, dia masih ragu untuk melakukan tugasnya. Namun, tampaknya mereka tidak peduli. Mereka tetap mambawanya ke lokasi.
.
.
.
[Tengah malam 12:00 /Bank Swasta Loi.]
Satu persatu keluar dari lubang selokan. Mereka menyusup melewati beberapa kamera cctv. Rafaela dan Lily ada di sisi lain bank. Mereka mulai mengintai keadaan.
"Lily, apa kita pakai cara lain saja?" tanya gadis berambut coklat itu.
"Cara yang mana?" tanya Lily balik sambil terus mengawasi.
"Gimana kalau kita gak usah menari?"
"Umh? Lalu kita ngapain?"
"Apa yang memancing orang selain melihat wanita menari?" tanya Refaela.
"Apa?" tanya Lily singkat.
"Kapan waktunya?" tanya Rafaela bersender di tembok besar.
Lily mencari sebuah kode dari tiga orang yang berada di sisi lain gedung. Sesaat pantulan cahaya dari kaca sepion terlihat di sana. "Raf-- sekarang," ujar gadis berambut keriting itu.
Rafaela mengela napas pelan, ia tampak memejamkan matanya yang mendongak ke atas. "Aku tidak mau," katanya singkat.
"Rafaela... Apa yang kau lakukan? Ayo! sekarang giliran kita!"
"Aku tidak mau Lyli. Kau saja, aku tidak mau seperti wanita penggoda."
"Rafaela... Apa selama ini kau menganggap ku sebagai wanita penggoda?"
Keadaan menjadi canggung, mereka saling bertatapan tajam. Rafaela melangkahkan kakinya mendekati Lily. "Sayangnya... Kau memang terlihat seperti itu," bisik gadis itu meninggalkan Lily.
"Apa kata mu!"
Rafaela tidak menggubris amarah Lily yang mulai mencuak. Dia tetap berjalan kearah para gerombolan pria berseragam hitam yang ada di depan gedung besar.
"HEI! KAU MAU KEMANA? AKU BELUM SELESAI!" Teriak Lyli di belakangnya.
"Aku akan mengatakan semuanya pada mereka!" saut Rafaela santai.
"KAU!"
.....
"Apa yang mereka lakukan?" bisik pria berbadan gemuk.
"Sial, dalam keadaan seperti ini, mereka masih sempatnya bertengkar."
"Tapi, Louis. Penjanganya,"
.
.
[Subuh 05:00 / Ruang Bawah Tanah]
"Apa ide tadi berasal dari mu? Rafaela?" tanya pria yang mengobati luka di wajahnya.
Rafaela hanya tersenyum, Lebam di bibirnya terlihat sangat jelas dan membiru. Pria itu mengambil kompres kecil dan mengusap luka itu perlahan.
"Aa.. Aauh! Pelan - pelan," rintih gadis bersurai coklat kemerahan itu menahan sakit.
"Maaf, biar ku tiup." pria itu mendekatkan wajahnya ke arah Rafaela, dia sempat terdiam sesaat sebelum akhirnya Rafaela menegurnya. "Kenapa melihatku begitu?" tanya Rafaela.
"Umh.. Gak. Gak ada apa - apa," ujar pria itu memalingkan wajahnya.
Dia mulai terlihat salah tingkah, pipinyapun terlihat sedikit merona. Rafaela tidak tau apa yang terjadi padanya, dan dia juga tidak terlalu peduli dengan sikap pria itu.
"Aa--aku mau ke kamar kecil."
"Hmm..."