Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

wiro sableng 212 " rahasia lukisan telanjang "

🇮🇩B2k_Jtc
--
chs / week
--
NOT RATINGS
94.5k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - RAHASIA LUKISAN TELANJANG

LANGIT terang cerah tiada berawan. Matahari bersinar

megah. Serombongan burung-burung pipit berarak

dari arah tenggara lalu lenyap di langit sebelah barat.

Seorang pemuda gagah berjalan lenggang kangkung

seenaknya di satu lamping gunung. Keterikan sinar mata–

hari tiada diperdulikannya. Bahkan sambil berjalan itu dia

bersiul-siul entah membawakan lagu apa. Suara siulannya

menggema sepanjang jalan seantero lamping gunung. Bila

seorang tokoh silat dunia persilatan mendengar suara

siulan yang keras tiada menentu itu, segera dia akan

maklum bahwa orang yang mengeluarkan siulan itu bukan

lain daripada Wiro Sableng, pemuda gagah yang bergelar

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212.

Di satu tempat Wiro hentikan langkahnya. Dia meman–

dang ke bawah. Luar biasa sekali keindahan alam yang

dilihatnya. Pohon-pohon menghijau di kejauhan. Di utara

dua buah gunung menjulang tinggi laksana raksasa pen–

jaga negeri. Di barat sebuah sungai laksana seekor ular

besar meliuk-liuk memantulkan cahaya putih perak karena

ditimpa sinar matahari.

Wiro menyeka peluh yang mencucur di keningnya

dengan ujung sapu tangan putih penutup kepalanya.

Setelah puas menikmati pemandangan yang indah itu dia

melanjutkan perjalanan kembali dan kali ini dengan

mempergunakan ilmu lari Seribu Kaki sehingga dalam

sekejap saja puluhan tombak sudah dilewatinya. Dia

berharap akan sampai sesenja-senjanya hari, ke tempat

tujuan yaitu Goa Belerang. Kiai Bangkalan telah menyuruhnya datang.

Orang tua sakti itu telah menjanjikan akan

menurunkan semacam ilmu pengobatan kepadanya.

Memasuki satu tikungan jalan di dekat kaki gunung,

Wiro memperlambat larinya. Jalan di tikungan itu sempit

sekali. Di sebelah kanan terdapat jurang batu yang curam

terjal serta luas dan dalam. Seseorang yang jatuh ke sana

jangan harap akan hidup sampai di dasar jurang. Kalaupun

dia hidup, ke luar dari dasar jurang pasti akan sia-sia!

Dari memperlambat larinya, tiba-tiba Wiro Sableng

berhenti. Tepat di tikungan jalan itu dilihatnya duduk men–

cangkung seorang laki-laki tua berambut putih. Badannya

kurus sekali. Demikian kurusnya hingga keadaannya tak

ubah seperti tengkorak atau jerangkong hidup!

Yang membuat Wiro Sableng heran ialah apa yang

tengah dikerjakan si orang tua tak dikenal itu. Sambil

duduk mencangkung, orang tua ini menghadapi sebuah

pigura kain putih yang lebarnya satu meter sedang pan–

jangnya hampir satu setengah meter. Pigura kain putih itu

disandarkan pada sebuah batu. Di atas terletak sehelai

daun pisang. Di sebuah daun pisang ini terdapat cairan

kental berkelompok-kelompok beraneka ragam warnanya.

Si orang tua membetulkan letak pigura kain putih di

hadapannya. Kemudian dengan ujung jari telunjuk tangan

kanan diaduk-aduknya kelompok-kelompok cairan berwar–

na di atas daun pisang. Dengan jari yang berselomotan

cairan berwarna itu, si orang tua mulai menggurat-gurat di

atas kain putih. Demikian asyiknya sehingga dia tidak me–

ngetahui agaknya bahwa dia tidak sendirian berada di situ.

Wiro terus memperhatikan dengan tak bersuara.

Guratan-guratan yang dibuat si orang tua kelihatannya

dilakukan seenaknya dan asal-asalan saja. Tapi betapa

terkejutnya Pendekar 212. Lewat setengah jam kemudian

di atas kain putih itu, meski belum begitu jelas, terlihat

gambaran seorang perempuan tengah berbaring di atas

tempat tidur dalam sebuah kamar yang bagus. Ternyata si

orang tua adalah seorang pelukis yang lihai tetapi juga

aneh! Lihai dan aneh karena dia melukis dengan ujung jari telunjuk, dengan cairan-cairan berwarna yang diletakkan di

atas daun pisang dan di tempat sepi begitu rupa, di bawah

teriknya sinar matahari!

Agar bisa memperhatikan lebih jelas, tapi juga untuk

tidak mengganggu si orang tua, maka Wiro Sableng

melompat ke satu batu tinggi dan duduk di situ. Si orang

tua berdiri dan mundur beberapa langkah untuk meneliti

lukisannya.

"Ah... bagus sekali... bagus sekali! Bocah itu tentu akan

senang melihatnya!" Suara orang tua ini kecil halus seperti

perempuan.

Wiro Sableng leletkan lidahnya. Ternyata si orang tua

telah melukis seorang perempuan telanjang yang berbaring

di atas sebuah tempat tidur dalam kamar yang bagus.

Perempuan itu cantik sekali, rambutnya panjang menjela

ke lantai kamar yang ditutupi permadani. Tubuhnya yang

tiada tertutup pakaian demikian bagus dan mulusnya. Mau

tak mau berdebar juga hati Pendekar 212 melihat lukisan

itu. Aneh orang yang demikian tua mempunyai daya cipta

yang merangsang begitu rupa. Dan siapa pula bocah yang

dimaksudnya dalam ucapannya tadi, yang katanya akan

senang melihat lukisan itu? Seorang bocah hendak melihat

lukisan perempuan telanjang? Betul-betul keblinger, pikir

Wiro. Dalam pada itu siapakah manusia ini?

Sementara itu si orang tua kelihatan menambah

beberapa guratan pada lukisannya. Wiro Sableng memper–

hatikan terus. Si orang tua tengah menuliskan serangkaian

kalimat pada sudut kanan sebelah bawah lukisannya.

Karena jauh Wiro tak dapat membacanya. Penuh rasa ingin

tahu akan apa yang ditulis si orang tua, Wiro Sableng

hendak melompat turun. Tapi niatnya dibatalkan karena di

kejauhan didengarnya suara gemeletak roda kereta

meningkahi derap kaki-kaki kuda.

Sesaat kemudian kelihatanlah sebuah kereta putih

yang ditarik oleh dua ekor kuda meluncur ke arah tikungan.

Di bagian depan dan sisi kereta ada empat penunggang

kuda yang berpakaian keprajuritan. Mendekati tikungan rombongan itu bergerak perlahan.

Si orang tua masih juga asyik dengan lukisannya.

Apakah dia tidak mendengar suara kedatangan kereta dan

derap kaki-kaki kuda itu? Bahkan ketika rombongan

tersebut berhenti di tikungan, si orang tua masih saja tidak

berpaling. Apakah dia tuli?

Penunggang kuda di sebelah muka kereta turun dari

kudanya. Dia memandang sejenak pada lukisan yang

tersandar di batu lalu dengan sikap hormat menegur si

orang tua.

"Bapak, kuharap kau sudi ke pinggir sedikit agar kereta

bisa lewat."

Orang tua itu mencelupkan jari telunjuk tangan kanan–

nya ke cairan berwarna putih di daun pisang lalu melan–

jutkan menulis rentetan kalimat di sudut bawah sebelah

kanan lukisan.

Prajurit itu menduga si orang tua tuli. Maka dia

melangkah ke samping dan menegur lagi lebih keras

disertai isyarat-isyarat tangan. Tapi tetap saja si orang tua

tidak mau perduli, bahkan palingkan kepala sedikitpun

tidak!

Dari dalam kereta terdengar suara seseorang.

"Pengawal, ada apakah kereta berhenti?"

"Kita mendapat sedikit rintangan Raden Mas Cokro,"

jawab prajurit yang turun dari kuda.

Dari jendela kereta kemudian keluar kepala seorang

laki-laki berparas gagah, berkumis rapi dan mengenakan

belangkon yang bagus. Begitu sepasang mata laki-taki ini

membentur lukisan di tepi jalan di tikungan itu, maka

tertariklah hatinya. Dengan segera dia turun dari kereta.

Digeleng-gelengkan kepalanya.

"Lukisanmu luar biasa bagusnya, orang tua," kata laki-

laki ini.

Untuk pertama kalinya orang tua bertubuh jerangkong

itu palingkan kepala. Dia tersenyum sedikit pada laki-laki

berpakaian dan berbelangkon bagus lalu meneruskan lagi

pekerjaannya.