14 November 2017
Tengah hari yang panas di daerah ibu kota Jakarta. Kendaraan-kendaraan silih berganti melewati sebuah sekolah menengah atas negeri 255 Jakarta Timur. Kelas 3 jurusan IPS sedang melakukan sebuah diskusi antar kelas. Perwakilan kelas IPS-1 mendatangi kelas IPS-2 untuk melakukan diskusi.
Meskipun dibilang diskusi, tapi topik yang dibicarakan terbilang cukup sensitif dan besar kemungkinan akan berubah menjadi debat. Yaitu tentang kabar masuknya para pekerja asing dari Cina.
Di depan kelas sudah berdiri salah satu dari lima orang perwakilan kelas IPS-1. Ia adalah Bambang. Seorang anak laki-laki berbadan tinggi besar berkulit sawo matang. Rambutnya agak gondrong dan terkadang bau rokok tercium dari baju seragamnya. Tipikal anak-anak bandel di SMA.
"Para pekerja Cina yang masuk ke Indonesia ini jumlahnya sudah sangat memprihatinkan. Jika ini terus berlanjut, maka bukan mustahil para pekerja pribumi akan tergusur dengan mereka para pekerja import dari Cina tersebut." Ucap Bambang dengan penuh keyakinan. Ia pun memandangi dengan penuh permusuhan salah seorang murid perempuan yang memang ada darah Tiongkok.
Diikuti dengan teman-teman sekelas lainnya. Puluhan pasang mata memandang tajam ke arahnya.
Menyadari itu, ia pun menundukkan kepalanya.
Seorang anak mengangkat tangannya. "Saya setuju dengan pendapatnya Bambang, Pak. Sedikit demi sedikit Indonesia mulai dijual ke Cina. Rezim ini harus segera digulingkan."
Gadis Cina itu pun semakin menundukkan kepalanya, seakan-akan bertanggung jawab atas apa yang terjadi di negeri ini.
Tidak lama seorang murid lagi mengangkat tangannya dan berbicara. "Menurut saya, kita tidak perlu takut dengan isu-isu murahan seperti itu," ucap Darius seorang anak laki-laki berusia 17 tahun yang baru saja mendapatkan KTP.
Di dalam kelas mulai muncul riuh-riuh kecil para murid yang mengobrol dengan sebangkunya membicarakan tentang pendapatnya Darius.
Gadis Cina itu mengangkat kepalanya. Ia merasa lega, masih ada yang berpihak pada dirinya.
"Oke, jadi kamu tidak setuju dengan pendapat Bambang. Coba sini kamu maju dan paparkan pendapatmu," kata Pak Setyo guru mata pelajaran IPS.
Darius pun berdiri dari bangkunya yang terletak di pojok kelas, barisan ke empat. Ia maju ke depan kelas lalu berdiri disamping Pak Setyo. Darius yang memiliki badan yang agak tinggi terlihat seperti raksasa ketika berdiri di samping Pak Setyo yang tingginya tidak lebih dari 157 cm.
"Nah, coba kamu paparkan pendapat kamu. Yang lain tolong diam!" perintah Pak Setyo.
"Nah jadi gini temen-temen, Issue ini sebenarnya cuma issue murahan buat menjatuhkan Pak Presiden. Pada kenyataannya malah tenaga kerja kita yang lebih banyak ke Cina ketimbang tenaga kerja Cina yang datang ke kita," jelas Darius dengan penuh keyakinan dan percaya diri yang tinggi.
"Ya jelas lah dia belain. Wong dia juga Cina!" Bambang nyeletuk.
"Owww!" Seluruh kelas seakan-akan mencemooh Darius.
Darius pun langsung jengkel dibuatnya. Meskipun Darius terlihat seperti orang Cina, dikarenakan kulitnya yang putih, dan matanya yang sedikit sipit, tapi ia sama sekali tidak ada darah Tionghoa.
Darius yang sedikit kesal mencoba melawan balik, "Tapi, tapi loh ini ya, terlepas benar atau tidaknya issue tersebut. Saya kira pantaslah kita import pekerja, lah wong yang lamar kerjaan skillnya nggak ada semua," ucap Darius dengan sinis. Ia pun berbalik badan ke arah Bambang. Sambil mendekatinya Darius berkata, "makanya jangan goblok! Malu nggak sih punya bapak preman Tanah Abang?!"
Bambang pun kesal dan langsung memukul Darius. Suasana kelas langsung ribut seraya perkelahian mereka berdua tidak terelakkan.
Pak Setyo dengan sigap melerai adu jotos mereka. Meskipun badannya kecil, namun ia bisa menghentikan dua orang muridnya yang berbadan tinggi besar.
"Wes-wes jangan berantem donk, Kalian orang-orang terpelajar kan?" ucap Pak Setyo untuk menenangkan situasi, "beda pendapat itu hal biasa, nggak perlu sampai emosi begini," Lanjutnya
"Saya sih terpelajar, Pak! nggak kayak anak preman pasar ini!" geram Darius. Rambutnya yang ikal rapi kini menjadi berantakan.
"Anjing! Awas lu pulang!" ancam Bambang.
"Bambang! Jaga bicara kamu!" tegur Pak Setyo dengan keras.
Darius dan Bambang saling menatap dengan pandangan penuh amarah
"Apa?! Lu mau ngapain? Mau ngeroyokin gua? Beraninya keroyokan, Banci! Potong udah itu burung!"
"Anj-"
Bel pulang sekolah berbunyi menyudahi kelas dan adegan panas tersebut.
Darius kembali ke bangkunya dengan wajah yang memerah penuh dengan amarah. Para perwakilan dari IPS-1 mulai keluar kelas.
Tepat di depan pintu, Bambang berhenti dan menunjuk Darius. Ia mengancam, "Balik, Mati lu bangsat!"
Darius pun tidak takut dan hanya merespon dengan mengacungkan jari tengahnya ke arah Bambang.
***
Masa Depan
Berlari terengah-engah seorang pria berambut putih, mengenakan jas laboratorium. Di pundaknya bertengger seekor tupai yang mengenakan jaket pelampung berwarna merah.
Ia berlari dari kejaran beberapa orang pria berbadan tinggi besar mengenakan seragam loreng dan kacamata hitam. Satu hal yang aneh dari mereka adalah, mereka semua memiliki wajah dan postur tubuh yang sama persis.
Sambil berlari, ia memegang sebuah kotak DVD berwarna putih di tangan kanannya yang sudah keriput. Lelah berlari, ia berhenti sejenak menghela nafasnya yang pendek akibat semasa muda terlalu banyak merokok. Belum sempat ia menyambung nafas, pria-pria berseragam loreng itu pun muncul dan kembali mengejar dirinya.
"Brown! Berhenti!" perintah salah seorang dari pria berseragam itu. Dengan suaranya yang lantang juga membuat siapapun ciut nyali.
Brown menoleh ke belakang dan mendapati mereka sudah sangat dekat. Dengan terengah-engah, ia bicara pada tupai di pundaknya. "Marty ... tolong."
"Baik, Dok." tupai itu pun melebur ke dalam tubuh Brown. Postur tubuhnya yang bungkuk tiba-tiba menjadi tegap. Seakan-akan tubuhnya kembali muda dan terisi dengan begitu banyak energi. Matanya pun memancarkan cahaya berwarna ungu.
Pria ini kembali berlari. Namun kali ini jauh lebih cepat. Pria-pria berseragam loreng pun mulai tertinggal jauh. Kegilaan belum selesai sampai di sini, Brown mulai memanjat gedung-gedung dengan sangat cepat. Melompat dari satu gedung ke gedung lain. Seperti seekor tupai yang melompat dari satu dahan pohon ke dahan yang lainnya. Mobil-mobil terbang yang berlalu-lalang sama sekali bukan halangan.
Sialnya, pria-pria berseragam loreng itu juga memiliki kemampuan fisik serupa. Mereka terus saja mengejar Brown seperti sekawanan srigala yang memburu seekor rusa.
Brown membuat sebuah lompatan besar dari atap gedung perkantoran. Angin yang bertiup membuat jas putihnya berkibar. Ia melompat dengan sangat tinggi juga sangat jauh, dan akhirnya mendarat di atas tugu Monas.
Ketika ia hendak berdiri, tiba-tiba tubuhnya melemah. Ia pun tersungkur, dan terbatuk-batuk sampai mengeluarkan darah. Tupai yang bersatu dengan dirinya muncul kembali di samping dirinya. Keadaannya lemah seperti kehabisan energi.
"Maaf, Dok." ucap Marty kepayahan, sesuatu terjadi pada dirinya, tubuhnya seakan memudar.
"Bukan salahmu, Marty. Aku saja yang sudah terlalu tua dan lemah," ucap Brown dengan terengah-engah sambil mencoba berdiri menahan panasnya terik matahari dan kencangnya hembusan angin yang bertiup di atas ketinggian seperti itu.
Bersandar pada bongkahan emas, ia melihat dengan matanya yang sudah rabun, pria-pria berseragam loreng tengah memanjati tugu Monas guna mengejar dirinya. Dengan sangat cepat, dan tanpa pengaman sedikitpun. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menghalangi mereka. Jangankan untuk lari, bernafas pun sudah sulit. Ia benar-benar berada di ujung tanduk. Terbesitlah sebuah ide gila di kepalanya.
Pasukan berseragam loreng itu pun sampai di atas. Mereka mengepung Brown dari segala arah.
"Anda sudah tidak bisa lari lagi, menyerahlah lalu serahkan DVD itu pada kami."
"Kalian menginginkan ini?" kata Brown sambil menunjukkan DVD itu pada mereka, "baik, ambillah .... " ia pun melempar DVD itu dari atas Monas.
Pasukan loreng pun tanpa banyak bicara melompat terjun dari Monas untuk menangkap DVD itu. Layaknya anjing yang sedang main lempar bola dengan majikannya. Di tengah udara, salah satu dari mereka berhasil menangkap kotak piringan berwarna putih tersebut. Mereka pun mendarat dengan mulus tanpa luka sedikitpun.
Dari puncak Monas, Brown berteriak, "Hey, robot-robot tolol! Kalian kira aku akan menyerahkan begitu saja benda yang bisa merusak peradaban manusia? Oh, tidak semudah itu Fergusso!"
"Dok, Anda tidak bermaksud melakukan itu bukan?" tanya Marty yang kembali bertengger di bahu partnernya.
"Kita tidak punya pilihan lain, Marty," kata Doktor Brown dengan suaranya yang mulai serak, "untuk yang terakhir kali, percayalah padaku."
"Selalu, Doc. Sampai kapan pun."
Brown tersenyum seraya ia kembali menyatu dengan Marty. Matanya kembali bersinar ungu. Ia angkat tangannya ke depan, lalu mengerahkan seluruh energinya yang tersisa. Kilatan cahaya berwarna ungu mulai mengitari dirinya.
Perlahan, dan sedikit demi sedikit terbukalah sebuah lubang kecil berwarna hitam di udara. Lubang itu tidak lebih besar dari sebutir telur ayam. Terlihat amat gelap juga terasa dingin berdiri di dekatnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Doktor Brown tanpa ragu melemparkan DVD itu ke lubang.
Benda terkutuk itu lenyap tak bersisa.
Tidak lama, lubang pun menghilang. Percikan-percikan cahaya dari tubuh Brown mulai padam. Begitu pula dengan cahaya kehidupan dalam dirinya.
Tak sanggup lagi berdiri, tak sanggup lagi menahan hembusan angin, ia pun terjatuh dari puncak tugu setinggi 132 meter.
Rasa puas, bangga dan tenang menghangatkan hatinya kala kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang. Ia tersenyum sambil mendekap tupai berjaket merah itu dengan erat, dan perlahan menutup matanya.
"Tugas kita selesai, Marty."