Chereads / Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 / Chapter 27 - Pemberontakan Mahesa Birawa

Chapter 27 - Pemberontakan Mahesa Birawa

Malam itu Mahesa Birawa tak dapat memicingkan mata. Dia gelisah sekali. Sebentar-sebentar di atas pembaringan dalam kemah dia membalik ke kiri, membalik ke kanan. Ingatannya mengawang kembali pada masa tujuh belas tahun yang silam.

Terbayang olehnya kematian Ranaweleng. Terbayang olehnya Suci, perempuan yang bunuh diri itu. Dan ketika ingatannya berpindah pada pemuda yang mengaku anak dari Ranaweleng itu, tubuhnya seperti dijalari hawa dingin. Meski sudah dapat mengukur kehebatan lawan namun Mahesa Birawa tidak takut sama sekali untuk menghadapi pemuda itu. Cuma kemunculan si pemuda yang tidak terdugalah yang benar-benar mengejutkan dan menyirapkan semangatnya.

Hati kecilnya mengutuki kebodohannya sendiri. Pada masa tujuh belas tahun yang silam itu dia tahu kalau Ranaweleng dan Suci mempunyai seorang putera. Kenapa dia tidak sekaligus membunuh orok Ranaweleng itu? Tapi saat itu tentu saja dia tidak mempunyai pikiran panjang seperti waktu sekarang ini.

Mahesa Birawa membalikkan tubuhnya kembali. Dia memandang ke dinding kemah. Dan pada dinding kemah itu seperti terbayang oleh matanya rentetan kalimat yang pernah dibacanya pada dinding tempat kediamannya tujuh belas tahun yang lalu yaitu ketika dia baru saja berhasil melarikan Suci dan memasukkannya ke kamarnya. Di sana... di dalam ingatan Mahesa Birawa alias Suranyali, seperti tertera kembali rentetan kalimat itu. Rentetan kalimat yang menjadi kenyataan:

"Apa yang kau lakukan hari ini akan kau terima balasannya pada tujuh belas tahun mendatang!"

Mahesa Birawa akhirnya turun dari pembaringan. Beberapa lama dia mondar mandir didalam kemah besarnya itu. Kemudian teringat dia pada kematian Kalasrenggi dan dua orang mata-mata yang dikirim ke Kotaraja tempo hari. Mereka menemui kematian akibat turun tangannya seorang manusia aneh. Kalasrenggi mati dengan guratan angka 212 pada keningnya. Dan tadi dia juga saksikan sendiri kematian Suto Rande dalam cara yang sama! Kalau begitu sedikit banyaknya atau mungkin pasti... pasti sekali pemuda yang mengaku anak Ranaweleng itu, yang sesungguhnya adalah adik seperguruannya sendiri, pastilah mempunyai sangkut paut atau hubungan dengan Pajajaran. Dan kalau sudah begini berarti bocornya rencana untuk menggulingkan Prabu Kamandaka, bocornya rencana untuk memberontak terhadap Kerajaan!

Mahesa Birawa melangkah lagi mondar mandir sambil mengepalkan tinjunya.

Dia harus bertindak cepat sebelum Pajajaran benar-benar tahu keseluruhan rencananya.

Bukan mustahil saat itu balatentara Pajajaran tengah menuju ke perkemahan mereka untuk menyapu mereka!

Malam itu juga Mahesa Birawa berunding dengan kelima Adipati. Dan malam itu pula diputuskan untuk menggerakkan seluruh pasukan ke Kotaraja.

Dua orang kurir dikirim terlebih dahulu. Yang pertama untuk menemui Raden Werku Alit di Kotaraja, memberitahukan bahwa karena sesuatu hal yang mendesak maka pasukan diberangkatkan malam itu dan direncanakan untuk menggempur Pajajaran selambat-lambatnya satu dua jam sesudah fajar menyingsing! Kurir yang kedua berangkat menuju puncak Gunung Halimun, menemui Begawan Sakti Sitaraga yang sebelumnya telah mengatakan bersedia turun tangan membantu kaum pemberontak! Tapi kurir ini kemudian tertawan oleh prajurit-prajurit Pajajaran di perbatasan.

Meski tetap berhati bimbang akan kebenaran peringatan yang dibacanya di dinding kamar adiknya, namun Prabu Kamandaka tak urung menyiapsiagakan balatentara Pajajaran secara diam-diam.

Dan ketika dini hari itu dia dibangunkan secara mendadak, dilaporkan tentang terlihatnya sepasukan besar mendatangi Kotaraja. Raja Pajajaran ini benar-benar menjadi kaget. Benar juga peringatan itu, katanya dalam hati. Kepada Kepala-Kepala Pasukan Kerajaan segera diberikan perintah kilat: "Kalau pasukan yang datang itu adalah benar pasukan pemberontak, hadapi mereka di luar tembok Kerajaan!"

Manakala sinar fajar pertama memancar di ufuk timur maka pada saat itu pulalah mulainya berkecamuk pertempuran yang dahsyat di sepanjang tembok besar yang mengelilingi Kotaraja.

Yang paling seru adalah pertempuran pada dua buah pintu gerbang. Pihak pemberontak menyerang habis-habisan untuk dapat membobolkan pintu gerbang Kotaraja itu. Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata, bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.

Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih.

Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi seekor kuda putih dan di tangannya tergenggam sebilah golok panjang yang berlumuran darah!

Prabu Kamandaka seperti terpukau dan tak mau percaya akan kedua matanya ketika dia bergerak ke medan pertempuran sebelah timur, dia langsung berhadap-hadapan dengan Werku Alit, saudara sepenyusuan sendiri!

"Matakukah yang terbalik atau benarkah kau yang ada di hadapanku ini, Alit?" ujar Sang Prabu.

Raden Werku Alit tertawa membesi. "Matamu masih belum terbalik, Kamandaka! Cuma otakmu yang miring sehingga mengambil hak orang lain....!"

"Hak apakah yang aku telah ambil dan siapakah orang lain itu?!"

"Takhta Kerajaan adalah hak syah diriku, Kamandaka!" jawab Werku Alit garang.

Prabu Kamandaka tertawa dingin. "Kau mengigau di slang hari Alit! Tak kusangka, kau sendiri yang menjadi biang racun pentolan pemberontak yang memberikan perintah untuk mengeroyok Raja Pajajaran itu!"

Prabu Kamandaka dengan teriakan-teriakan hebat berkelebat kian ke mari memberi semangat pasukan Pajajaran. Prabu ini menunggangi kuda putih dan di tangannya tergenggam golok panjang yang berlumuran darah!

Agaknya serangan lawan mulai tak dapat dibendung. Hal ini kelihatan sesudah pertempuran berkecamuk hampir setengah jam lebih.

Yang diserang bertahan mati-matian! Suara beradunya senjata, pekik kematian, lolong manusia-manusia yang terbabat senjata bau anyirnya darah, semuanya menjadi satu menimbulkan suasana yang mengerikan.

Satu demi satu prajurit yang bertempur bersama rajanya itu gugur bergelimpangan.

Keadaan Sang Prabu sangat kritis sekali sedang di sebelah barat balatentara pemberontak di bawah pimpinan Mahesa Birawa sudah hampir berhasil membobolkan pertahanan pintu gerbang!