Harry tak pernah mengira ternyata gadis yang menjadi calon istri saudara tirinya itu ternyata Hara. Harry belajar bersungguh-sungguh jauh ke luar negeri hanya gadis itu motivasinya.
Sewaktu kecil, sejak ia kehilangan ibunya, ia tak lagi mengganggap ayah kandungnya itu sebagai sosok ayah yang dulu ia hormati. Rasa hormatnya sedikit berkurang karena ayahnya menikah lagi. Ia seolah tak mengerti kebutuhan ayahnya, dipikirannya ayahnya jahat karena telah melupakan ibunya dengan cepat.
Namun Ibu tiri Harry sama sekali tidak pernah membenci Harry. Ibu kandung Harry bukanlah wanita biasa. Wanita itu sangat dewasa dan pintar. Tentu saja ia memiliki banyak koneksi untuk memperkuat kedudukan perusahaan ayah. Ayah tak memilih sembarang wanita sebagai pengganti ibu. Setidaknya Harry sedikit bersyukur karena ia juga tidak pernah kekurangan kasih sayang dari sosok ibu. Karena memang wanita yang menjadi ibu tirinya saat ini sangat menyayanginya. Maklum, Irene sangat menyayangi semua anak laki-laki termasuk anak tirinya.
Sekarang Hara lah yang menjadi tujuannya. Ia bertekad kepada dirinya untuk benar-benar menjadi sosok yang pantas bagi gadisnya itu. Latar belakang pendidikan bagi keluarga Hara sangat dianggap penting. Melihat bagaimana kakak Hara dulu dengan segala macam kerumitannya saat berjodoh dulu, Harry menjadi yakin bagaimana keluarga Hara memilih calon suami untuk anak-anaknya. Hal itu membuat Harry semakin yakin untuk kuliah di luar negeri.
"Ayah! Ayah.!" Panggil Harry dengan suara beratnya.
Ia seolah menahan sesuatu yang bergejolak di hatinya. Roy yang sedang menikmati bacaannya di ruang tengah, mendengar suara yang sangat familiar. "Ada apa? Duduklah" Roy menjawab dengan tenang dan sedikit kewibawaan nya.
" Siapa yang memilih gadis itu untuk Rua?"
"Ini semua kerjaan ayah kan? Ayah sendiri tahu kan, bagaimana perasaanku. Ayah sedang tidak bermain-main dengan ku bukan?" Sambungnya tanpa memberikan kesempatan kepada ayahnya untuk menjawab.
Harry begitu tak karuan, ia bahkan tak menyadari ekspresi wajah ayahnya yang tadi berwibawa sekarang berubah menjadi jauh lebih menyeramkan tetapi dibalik wajah yang menyeramkan tersebut masih ada semburan kasih sayang antara ayah dan anak sulung nya tersebut.
"Untuk kau, bukan gadis itu pilihannya." Satu kalimat lolos dari mulutnya selang beberapa saat Roy pergi meninggalkan bacaannya dan Harry.
"AKU TIDAK AKAN DIAM"
Seolah tak peduli dengan ancaman Harry, Roy tetap berlalu meninggalkannya menuju ruang kerja. Bukan tidak peduli, ia juga sedang berpikir tentang anak sulungnya nya itu.
Roy, lelaki paruh baya itu sebenarnya sangat menyayangi putra sulungnya itu. Bahkan ia bertekad bahwa semua aset perusahaan dan seluruh kekayaannya akan ia berikan kepadanya. Ia merasa bahwa Harry lah yang pantas dan cocok untuk menduduki kedudukannya saat ini. Ini bukan berarti Rua, putra kedua dari istri keduanya tidak ia pedulikan. Bagaimanapun Rua juga buah cintanya. Baginya tidak ada perbedaan kasih sayang antara kedua putranya tersebut. Ia menyayangi Rua sebagaimana ia menyayangi Harry. Namun, Rua bukanlah seorang yang pantas untuk melanjutkan perusahaannya. Ditambah latar belakang Rua yang menamatkan sekolah seni di Grenoble Institute of the Arts di Prancis. Bagi Roy, ia takkan memaksakan kepada Rua jika ia ingin masuk ke perusahaan atau tidak. Jika ia menginginkan perusahaan ia tetap akan memberikan kedudukan yang layak baginya. Namun, jelas-jelas Rua bukanlah tipe seorang yang menginginkan perusahaan. Rua lebih menyukai hal-hal yang berbau artistik dan seni sedari kecil. Karena ia selalu memperoleh apapun dari kecil dan tak pernah merasa kurang ia tidak terlalu tertarik dengan dunia perusahaan yang baginya itu cukup membosankan dan misterius. Rua selalu melihat ayahnya duduk di ruang kerja siang dan malam. Kesibukkan yang selalu tak pernah absen dalam kehidupan ayahnya membuatnya berpikir bahwa hidup ayahnya terlalu membosankan. Di hari libur, weekend, dan di waktu tidurpun ayah tak pernah terlihat santai. Ayah jarang menghabiskan waktu bersamanya. Itu membuatnya berpikiran bahwa dunia perusahaan sangat membosankan dan mengerikan. Oleh karena itu, ia lebih tertarik untuk belajar di Grenoble Institute of the Arts, di Prancis ketimbang ia lebih memilih sekolah Bussiness and Management Avagnance University di New York. Ia menerima dua undangan sekolah pada saat itu. Jelas ia lebih memilih pilihan pertama di Prancis. Keinginan untuk benar-benar menjadi artis tidak ditentang oleh keluarganya terutama ayah. Semua yang menjadi keputusan didalam rumah itu adalah keputusan ayah. Bahkan ibunya sempat menolak tetapi berkat bantuan dari ayahnya, Irene tidak bisa memaksakan kehendaknya. Sebagai seorang ibu, ia juga berharap kelak nanti putranya juga menjadi penerus perusahaan terbesar di negaranya. Irene sempat memohon kepada putranya, tetapi hati Rua telah keras bak batu meriam.
"Rua, panggil kakakmu untuk makan malam bersama sekarang. Aku sedang tidak menginginkan penolakan untuk malam ini." Rua menyanggupi perintah ayahnya. Perintah Roy dirumah ini adalah mutlak dan tidak dapat ditawar barang sedikitpun.
"Baik yah"
"Kakak, ini aku Rua. Boleh aku masuk? Ayah meminta kakak untuk makan malam sekarang."
Hening.
Tak terdengar ada bunyi suara setelah itu, Rua tau sejak pagi tadi Harry belum ada keluar kamar. Ia sedang mengunci dirinya didalam kamar.
Clekek....
Terdengar suara membuka pintu dan kemudian tertutup. Pintu ini tidak terkunci.
"kak, ayolah turunlah ke bawah sekarang juga. Atau aku yang akan habis nanti jika kau tidak turun."
Nyatanya hubungan kedua saudara tiri itu tidak seburuk yang ada dalam perfilm-an. Rua sangat mengidolakan sosok kakaknya dan ia tak pernah menyimpan rasa iri sedikitpun justru ia bersyukur, kehadiran kakaknya telah menyelamatkan kehidupannya dari dunia perusahaan.
"Kau saja yang turun, aku tidak ingin membahas tentang rencana pernikahan dan sebagainya itu. Keluar dari kamarku!" Harry tak bergeming dari tempat tidurnya.
"Kak aku mohon aku tidak tau apa masalahmu dengan ayah. Tetapi kali ini aku mohon bantuan mu kak,jika tidak, bisa habis aku nanti. Turunlah sekarang oke?"
Harry dengan segala keberatan hatinya terpaksa pergi ke tempat makan. Ia tak tega mendengar permintaan adiknya yang begitu ia sayangi.
Beberapa saat kemudian, Rua turun dan tidak langsung pergi ke tempat makan, ia tidak sedang ingin menjadi pelampiasan kemarahan ayahnya karena emosi kakaknya. Ia pergi turun kebawah dan menyelinap ke taman belakang. Ia langsung memainkan kuas-kuasnya diatas kertas putih.
Beberapa menit setelah itu,ia kembali mengintip ke ruang makan dan menemukan sosok pahlawan kesiangan nya. Yap, Kak Harry sudah duduk di sana batinnya tersenyum melihat kakaknya tak berkutik saat di depan ayahnya. Hmm..baiklah saatnya aku yang kesana.
"Aku hanya ingin makan malam ini dan tidak ada perdebatan. Kalau begitu makanlah!" Roy memulai percakapan di meja panjang.
Ruangan makan itu di desain dengan sangat berbeda dibandingkan ruangan-ruangan lain. Suasana klasik Italia menjadi tema utama dengan corak emas disela warna utama yaitu putih dan hitam berpadu membentuk sebuah gaya kuno yang hadir di era modern klasik.
"Kalau begitu aku sudah selesai." Harry pergi meninggalkan ruangan itu dan kemudian berjalan keluar.
"Aku selesai, aku ingin keluar sebentar" tak lama setelah itu Rua menyelesaikan makan malamnya dan pergi, beberapa saat sebelum ia beranjak pergi Irene mencubit pinggangnya,sebagai kode jangan pergi dulu sebelum ayahnya menyelesaikan makan malamnya.
Namun,Rua seolah-olah tidak tau dengan kode ibunya dan tetap beranjak dari tempat makan tersebut.
"Anak kecil itu, sangat sulit mengaturnya" ucap Irene kesal.
"Aku diam tidak berarti sedang membiarkan mereka bebas seperti tadi." Roy tetap melanjutkan makannya tanpa menoleh ke Irene.
"aku terlalu khawatir, ada perpecahan antara keduanya, Harry telah menjadi kakak yang baik pada Rua begitu pun sebaliknya. Aku hanya tidak ingin pernikahan ini membuat hubungan antara kedua kakak beradik itu menjadi tidak harmonis" Pinta Irene.
"Hmm" Roy mengangguk tanda setuju.