Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Wind Flower

๐Ÿ‡ฎ๐Ÿ‡ฉChan_Chew
23
Completed
--
NOT RATINGS
86.1k
Views
Synopsis
Albercio Faresta Arkana sama sekali gak menyangka akhirnya dia bisa bertemu lagi dengan Bebi. Seseorang yang selalu membuat darahnya berdesir dan jantungnya berdegup kencang gak karuan. Namun sayangnya, Bebi sama sekali gak ingat siapa Albercio. Yang dia ingat cuma satu hal. Dari hari pertama Albercio menginjakkan kaki di perusahaan tempatnya bekerja, cowok itu selalu menyebalkan, dingin, arogan, dan susah ditebak yang pernah Bebi kenal di sepanjang karirnya sebagai seorang sekretaris. Malah saking gak bisa ditebaknya, apapun yang dilakukan Albercio selalu menjadi kejutan yang gak bisa disangkal bagi Bebi. Lalu, ketika sesuatu yang gak pernah Bebi bayangkan sebelomnya terjadi, membuat Bebi menyadari harus memilih salah satu. Pilihan apa yang sebenernya? Kenapa hatinya terlalu berat untuk melakukannya?
VIEW MORE

Chapter 1 - Prolog

Albercio Faresta Arkana memasang senyum terbaiknya, berusaha seramah mungkin ke para staff yang baru aja menyapanya dan mengucapkan selamat datang padanya dari sepanjang koridor kantor. Namun, cowok itu langsung menghentikan langkahnya. Nafasnya tercekat. Pandangannya terpaku. Darahnya berdesir hebat. Sumpah demi apapun, dia sama sekali gak tau harus menyebutnya sebagai mimpi ato apa. Yang pasti dia sama sekali gak nyangka dengan pemandangan yang saat ini ada di depan matanya.

Albercio mengusap wajahnya lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku pantalonnya sesaat setelah menoleh ke kiri-kanan. Membiarkan sepasang manik matanya terus terfokus ke satu-satunya objek yang saat ini ada di balik kaca ruang kerjanya. Bahkan tanpa sadar, cowok itu melengkungkan seutas senyuman tipis.

Inikah jawaban dari segala doanya? Inikah akhir dari segala pencariannya selama ini?

Sekali lagi Albercio memasang senyumnya. Dia melangkahkan kakinya dan membuka perlahan pintu ruangannya, gak sabar pengin melihatnya lebih dekat.

*

Bebi menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi direksi. Kakinya berasa pegel mau copot karna daritadi dia terpaksa harus naik-turun tangga ke ruangan presdir yang berada di lantai 40, sedangkan ruang kerjanya ada di lantai 35. Ditambah lagi, Bebi harus melalui itu semua sambil membawa barang-barang untuk persiapan penyambutan CEO baru yang menggantikan Pak Don Hwa - CEO lama yang mengundurkan diri secara tiba-tiba.

Bebi memejamkam matanya rapat-rapat sambil berusaha menetralkan degup jantungnya dan membiarkan keringatnya mulai mengalir dari kepala lalu menetes di rahang. Baru kali ini dia merasa kerja kantoran rasa lari marathon. Bener-bener lebih sadis daripada sekedar lari dari kenyataan karna diberi harapan palsu. Sumpah deh. Kalo tau bakal begini mah tadi mestinya dia suruh Si Unang - OB kantor yang paling hits itu buat membantunya.

"Jadi kamu yang rapiin ruangan saya?" Sebuah suara maskulin terdengar dingin dan tegas, membuat Bebi langsung menegakkan posisi duduknya lalu mengangguk pelan dengan wajah yang super bingung.

Di hadapannya berdiri seorang cowok dengan tinggi hampir 190cm, tubuh atletis, berdada bidang, berkulit putih, dan berwajah tampan paripurna. Apalagi dengan brewok-brewok halus yang tumbuh di sepanjang garis rahangnya. Beuh! Saking tampannya, Bebi sampe lupa untuk bernafas beberapa saat. "I .. iya, Pak. Ada yang kurang, Pak?"

"Menurut kamu?"

"Menurut saya sih udah gak ada yang kurang, Pak. Ya kalo menurut Bapak masih ada yang kurang, nanti saya perbaiki. Tapi kalo boleh tau, kurang apanya ya, Pak?"

Albercio menggelengkan kepalanya. "Siapa nama kamu?"

"Bebi, Pak."

"Gak usah belagak imut. Kamu pikir saya bakal tergoda dengan panggilan itu?"

Hah? Bebi mengedipkan matanya berkali-kali. Dia herman. Eh, heran. Namanya emang Bebi, kok ya malah dibilang sok imut? Aneh. "Nama saya Bebi, Pak. Maaf, saya bukannya sok imut, tapi saya emang udah imut dari lahir.", sahut Bebi kalem. "Maaf, Bapak ini siapa ya?"

"Menurut kamu, saya siapa?"

Bebi geleng-geleng kepala, untuk dua hal. Pertama, karna dia emang gak tau siapa sebenernya sosok yang ada di hadapannya sekarang. Kedua, karna emang dia agak-agak dongkol dengan sosok di hadapannya ini. Ganteng-ganteng tapi dingin. Ditanya apa jawabnya apa. "Mana saya tau, Pak."

"Kamu mau tau siapa saya? Saya pemilik baru dari kursi yang kamu dudukin sekarang!"

Wait! Bebi menghela nafas pelan, berusaha mencerna ucapan cowok yang sekarang di hadapannya. Satu detik kemudian, dia langsung bangkit dari kursi panas itu, mengitari meja kerja berlapis kaca lalu membungkukkan badan, tanda permohonan maaf.

"Ma ... maaf, Pak. Saya gak tau kalo Bapak adalah CEO baru kami. Sekali lagi saya mohon maaf."

Albercio mendekatkan diri ke arah Bebi, lalu menarik kursinya beberapa meter dari tubuh Bebi, lalu mendudukinya. "Kamu ini ya! Emangnya gak dibriefing dulu tadi sama manajer kamu?! Ngomong sama CEO kayak ngomong sama temen seumuran!"

Lagi, Bebi membungkukkan badan lalu menghela nafas. Sabar Beb! Untung aja nih CEO barunya ganteng. Ya walopun dingin seperti salju di puncak gunung Everest. "Maaf, Pak. Tadi atasan saya cuma nyuruh saya nyiapin ruangan ini untuk CEO baru kami. Beliau gak bilang ke saya siapa nama CEO yang baru."

"Albercio. Nama saya Albercio. Dan tolong jangan panggil saya dengan sebutan Pak ato Bapak, karna saya belom setua yang kamu pikir."

Bebi mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia dapet atasan aneh begini. Mana ada bawahan yang manggil atasannya tanpa embel-embel sebutan Pak ato Bapak. Atuh kalo pun ada, kudu panggil apa dong? Masa iya panggil nama? Kan gak sopan.

"Panggil saya pake nama aja, Bebi.", sahut Albercio seolah berhasil membaca pikiran Bebi barusan.

Bebi mengerutkan keningnya lagi. Bener-bener gak nyangka dengan jawaban Albercio barusan. Seriusan nih dese mau dipanggil pake nama doang? "Seriusan?"

"Iya serius. Emang kamu liat muka saya kayak bercanda apah?"

"Enggak sih.", sahut Bebi pelan.

"Yaudah kalo gitu. Kamu bisa panggil saya pake nama aja kalo posisi kita cuma berduaan kayak begini."

"Baik, Al.", sahut Bebi sebelom akhirnya pamit keluar ruangan dan kembali ke kubikel kerjanya. Namun, belom sempat melangkahkan kakinya, sebuah cengkraman membuat Bebi membalikkan badan dengan alis berkerut. "Ya, Al, ada lagi?"

"Dan satu lagi. Jangan coba-coba main-main dengan saya!" Albercio memandangi manik mata Bebi dengan datar tapi tajam menusuk. "Cause I've got you."

*