Senja dan Helen memenuhi undangan makan malam keluarga Hermawan Adhitama. Dinner yang dikira gadis berlesung pipi itu akan berlangsung canggung nyatanya tidak, kawan lama almarhum papahnya sangat baik dan memperlakukan mereka dengan sopan. Senja rasa pria ini juga tak modus. Karena nyonya Hermawan juga ada bersama mereka.
"Kamu kuliah semester berapa Senja?" tanya Hermawan sambil memotong paprika lalu menyuapkannya pada mulutnya.
"Udah mau skripsi Om." Hermawan terkejut. Seingatnya Senja dan juga anaknya itu terpaut usia sekitar 2,5 tahunan. Kalau di hitung usia Senja baru memasuki angka dua puluh. Seharusnya Senja masih semester 4 atau lima.
"Bukannya kamu masih muda banget. Masih dua puluh. Gimana caranya bisa skripsi secepat ini?"
"Senja waktu SMA ikut akselerasi jadi yah lulus pas umur 16 tahun dan waktu kuliah juga sebenarnya mau lompat semester tapi karena dia dapet beasiswa ya saya suruh aja dia nikmatin masa kuliahnya. Oh ya anak mas udah lulus kan?" Helen yang menjelaskan. Anak Hermawan lebih tua dari pada Senja. Hermawan malah bingung mau jawab apa, ia melirik ke arah Devi. Istrinya itu hanya menatap sinis. Kenapa selalu saja semua di ukur dengan nilai akademis. Menurutnya putranya itu termasuk ke dalam golongan anak pandai.
Devi mencebikkan bibir, apa bagusnya dia dah mau skripsi dan pinter, bagusan juga Saga kemana mana. Buat apa pinter-pinter ujung- ujungnya Senja juga bakal ngulek bumbu di dapur. Umpat Devi di dalam hati.
"Saga udah skripsi juga kok, kurang sidang" kata Devi sok tahu dan dicibir habis oleh suaminya.
Hermawan kesal sekali dengan Saga. Anak semata wayangnya itu susah diatur, suka balapan, suka berkelahi, suka genk-genkngan dan akhirnya seperti sekarang skripsinya jadi terbengkalai. Hermawan juga kesal anak semata wayangnya itu tidak menghadiri makan malam ini. Apa sih maunya Saga itu. Segala fasilitas telah ia beri. Kurang apa coba dia jadi orang tua. Awas saja kalau anak itu nanti datang telat.
"Selamat malam semuanya," sapa seorang pemuda tampan yang tengah berdiri gagah. Hermawan menepuk jidat. Penampilan Saga benar-benar mirip berandalan. Telinga di tindik, sepatu bot, jaket kulit, celana jeans robek, rambut jambul serta jangan lupakan kaos bergambarkan tengkorak. Ia sudah menyuruh Saga datang dengan memakai kemeja rapi. Tapi nyatanya sang putra tetap saja bebal.
"Saga, akhirnya kamu dateng juga sayang. Duduk sini Nak, di samping mamah." Hermawan melihat tidak suka ke arah anak lelakinya, kelihatan sekali Saga itu anak mamah.
"Mamah dah pesenin kesukaaan kamu." Helen melongo melihat bagaimana interaksi antara anak dan ibu itu sedang Senja merasa tak asing dengan jaket yang Saga kenakan.
"Oh ya saya belum memperkenalkan diri, saya Saga Manggala Adhitama." Untunglah setidaknya Saga tak melupakan adab kesopanan.
"Kenapa kamu baru sampai Saga?"
"Biasa Pah, Jakarta macet." Sebenarnya Saga tadi tidak berniat datang. Dia kesal kemaren papahnya mendadak akan menikahkan dirinya dengan gadis yang tidak ia kenal tapi teman-temannya Gio dan Angga membujuknya untuk datang. Yah dari pada nanti uang saku dan credit cardnya diblokir.
"Yah berhubung semuanya sudah hadir, saya akan mengatakan apa tujuan dinner ini diadakan." ujar Hermawan membuka suara. Senja merasa ada yang tak beres. Bukankah mereka hanya akan makan malam biasa.
"Kami, saya dan Helen sepakat menjodohkan anak-anak kami." Seketika Senja langsung menatap ibunya kemudian menatap Saga yang penampilannya jauh dari sosok suami idaman. Dijodohkan tidak ada dalam kamus hidupnya. Sedang Saga malah cuek makan. Ini hanya formalitas semata. Kalau mereka tak mau, maka perjodohan tak akan terjadi.
"Maaf om, maksudnya ini apa ya?"
"Om sama mamah kamu sepakat buat menikahkan kamu sama Saga." Senja melotot, matanya mau copot saking kagetnya.
"Apa saya boleh menolak perjodohan ini? Saya gak mungkin kan nikah sama lelaki yang gak saya kenal." Saga kini yang kaget. Harusnya dia duluan yang bicara seperti itu. Dia kan si tampan Saga yang tak pernah di tampik perempuan. Pernyataan Senja sedikit menyentil harga dirinya. Sombongnya itu perempuan, tampang juga biasa. Cantik sih tapi standart.
"Kenapa kamu menolak Senja?"
"Kami terlalu muda untuk menikah. Kami kurang kuat secara finansial. Kami yang tak saling mengenal harus tinggal satu atap. Kami harus menyesuaikan diri juga. Itu terasa mustahil." ujar Senja diplomatis. Saga semakin membusungkan dada. Ia membenarkan yang gadis itu ucap tapi kok dia seakan terlihat bodoh dan pasrah.
"Gue juga gak mau kali."
"Diam kamu!!" Bentak ayahnya keras. Hermawan begitu lembut pada anak orang kenapa pada Saga tidak. "Kalau masalah finansial, Om janji akan memenuhinya dan kalian bisa tinggal dulu bersama kami. Kamu bisa kenal Saga setelah kalian menikah." Apa?? Bagaimana bisa Senja menikah dan menggantungkan masa depan kepada pemuda yang masih di sokong orang tuanya.
"Maaf Om. Sekali lagi saya menolak perjodohan ini. Saya masih punya impian yang mesti saya perjuangkan. Permisi!!" Agak tak sopan memang, Senja berdiri dan pergi begitu saja meninggalkan acara makan malam mereka.
Helen jadi tak enak hati dengan sikap sang putri tunggal.
"Maaf mas, biar saya bicara sama Senja."
Devi memandang tak suka ke arah ibu dan anak itu yang sudah tidak terlihat batang hidungnya. Ia dari dulu memang tak suka dengan Helen, perempuan yang menurutnya sok kecantikan. Yang katanya dari dulu jadi rebutan suaminya dan Almarhum Prasetya. "Belum jadi mantu aja udah gak sopan, main ninggalin dinner segala."
"Wajar dia kabur, mana mau gadis baik kayak Senja dijodohin sama berandalan macam anakmu ini!!" Jari telunjuk Hermawan mengarah ke Saga.
"Apa yang salah sama Saga. Dia ganteng, tinggi, macho, keren gini. Yang salah mata anaknya Helen itu." Bela Devi sambil mengelus kepala Saga. Anaknya adalah yang terbaik,dengan penampilan mumpuni,wajah rupawan dan harta berlimpah. Cuma perempuan seperti Senja, ada banyak di luaran sana.
"Yang salah itu otak anak kamu yang dodolnya keterlaluan. Skripsi aja gak diajuin-ajuin. Kamu gak malu sama Senja udah skripsi padahal umurnya lebih muda dari Saga." Sebenernya Saga sudah tidak tahan ingin membalas kata-kata pedas Hermawan tapi ia takut dipotong uang jajannya. Lagi pula ibunya sudah cukup memberi pembelaan. Apa bagusnya anak yang namanya Senja tadi. Halah cuma skripsi, kalau Saga niat dari tahun kemarin dia sudah lulus. Karena tak mau berpisah dengan teman dan dosennya, Saga masih mau di kampus.
"Dosennya aja kali yang kebangetan sayang sama Saga jadiin dia penunggu kampus paling ganteng."
Hermawan tidak sanggup bardebat lagi dengan Devi. Ia berdiri sembari melempar serbet makan. Devi itu terlalu memanjakan Saga hingga terbentuklah putranya yang sekarang ini. Sedang yang mereka perdebatkan malah tengah mengunyah makanan. Bodok amat perjodohan batal, itu malah bagus. Lagi pula menikah tak akan pernah ada di pikirannya untuk sekarang ini.
**********.
Suasana di dalam mobil Helen masih mencekam. Senja tak kunjung bicara. Gadis itu cuma menatap depan dengan mata kosong dan juga riak tangisnya terlihat sedikit di permukaan kornea. Helen yang masih menyetir,memejamkan mata lalu menatap sang putri dengan seksama.
"Senja, apa yang kamu lakuin gak sopan. Kamu main pergi gituh aja."
"Terus apa yang mamah lakuin itu gak keterlaluan?" Senja menaikkan nada bicaranya. " Mamah mau jodohin aku sama cowok gak jelas, apa mamah udah bosen ngurusin aku? Mamah mau punya keluarga baru jadi Senja mamah buang, iya?"
Plakk
Helen menampar Senja. Seumur hidup baru kali ini ia berbuat kasar. Ia tak bermaksud membuang Senja dari hidupnya, hanya saja Hermawan ingin membalas budi atas kebaikan Almarhum suaminya dulu. Keluarga Hermawan sangat kaya serta mapan. Ia tak ingin Senja bernasib sama dengan pernikahannya dulu. Ia di benci mertuanya sendiri sedang sang suami malah lebih dulu dipanggil Tuhan.
Senja menunduk meneteskan air mata sambil memegangi pipi.
Kalau nyatanya ia cuma beban. Senja janji setelah lulus kuliah akan pergi merantau jauh dari Jakarta atau kalau perlu ke luar negeri sekalian.
"Maafin mamah Senja. Mamah nglakuin semua ini buat kamu, buat masa depan kamu. Om Hermawan itu orang kaya dan Saga itu anak satu-satunya, dia sama Almarhum papah kamu berteman baik bahkan usaha yang dimiliki om Hermawan dulu papah kamu ikut tanam modal." Helen mengambil nafas baru berbicara lagi.
"Sebagai balas budi om Hermawan pingin jadiin kamu menantunya." Senja tetap saja menangis ia tidak mau dijodohkan, ia ingin menentukan masa depannya sendiri. "Mamah juga gak bermaksud membuang kamu. Mamah hanya khawatir keadaan kamu kalau seandainya mamah menikah. Mamah tahu gak akan ada yang bisa gantiin papah kamu."
Senja sudah berusaha mengerti, memahami namun ia tidak terima di nikahkan dini. Nanti jika ibunya menikah lagi. Ia akan berusaha mandiri tak menyusahkan. Perjodohan ini bukan solusi. Banyak resolusi yang belum Senja capai. Hidupnya miliknya, tak ada yang bisa mengubah itu. Apalagi orang yang baru pertama kali bertemu dengannya.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️