Sebelum terjebak di Panti Pijat Plus-Plus itu, jilbabku ini merupakan simbol kebanggaanku di rumah sebagai isteri yang setia. Perempuan dan isteri manapun tentunya tak menginginkan mengalami nasib tragis seperti ku ini.
Bila boleh memilih, maka aku akan memilih menjadi isteri yang salihah dan memiliki seorang suami yang sholeh pula. Memiliki ekonomi keluarga yang cukupn dan memilik anak yang sehat dan lucu.
Oh, ya ...
Perkenalkan nama lengkapku Raisa Ramadhani, dipanggil Raisa saja. Aku terlahir dan dibesarkan di Bandung dan hanya tamatan SMA.
Perlu diketahui, bahwa cerita Ini adalah kisah nyataku yang ditulis oleh author yang bernama Saiful Rahman Melalu aplikasi Messenger, WA dan Via telepon, maka tersusunlah ceritaku ini sehingga bisa dibaca oleh reader semua.
Sebelumnya, aku sangat memohon kepada author ini untuk menuliskannya, dan berharap kerelawanannnya, supaya beban penyesalan hidupku atas masa lalu itu menjadi lebih ringan.
Semoga dengan dituliskannya kisahku ini, aku sangat berharap mendapatkan pencerahan dan hikmah atas kisahku ini.
Huff ...
Sebelum aku memulainya, rasanya sangat sesak sekali dada ini, bila mengingat masa kelamku itu ...
Awalnya aku menikah dengan kekasih pilihanku. Aku dan dia memutuskan menikah setelah berpacaran mulai masa SMA dan kami sudah benar-benar saling mencintai. Ya aku dan dia bertekad untuk membangun mahligai rumah tangga.
Walaupun pihak keluarga kekasihku itu tak merestui rencana pernikahan kami. Alasannya, ia akan dicalonkan dengan perempuan lain pilihan ibunya.
Ketidaksetujuannya diketahui oleh keluargaku. Akhirnya keluargaku merasa harga dirinya di sepelekan. Harga diri keluarga kami merasa terinjak oleh keluarga calon suamiku. Sehingga keluargaku Ikut ikutan tak menyetujui rencana pernikahan kami.
Jadi antara keluargaku dengan keluarga calon suamiku sama-sama menolak keras rencana pernikahan itu.
Namun aku dan calon suamiku bersikeras menentangnya. Jika tak di setujui, calon suamiku akan menikah sendiri tanpa restu ibunya.
Alhamdulillah... Walau mendapat penentangan keras dari keluargaku dan dari calon suamiku, berkat perjuangan gigih kami, akhirnya kami bisa melangsungkan pernikahan dengan restu kedua orang tua kami.
Karenanya, saat mengawali hidup rumah tangga dengan suamiku, kami memilih hidup mandiri dengan ngontrak rumah di kota yang agak jauh dari kota asal kami. Suamiku tidak ingin tinggal di rumah orang tuaku, sebaliknya aku juga tidak mau tinggal di rumah orang tua suamiku.
Prinsipnya apa pun yg terjadi, kami tidak akan merepokan orang tua kami masing masing, mengingat awal pernikahan kami yang tak direstuinya.
Sejak sebelum menikah suamiku terbiasa ikut kerja pada Kakak Iparnya. Karenanya, saat menikahpun suamiku tetap bekerja pada kakak Ipar nya, sedang aku memiliki usaha kecil kecilan untuk menambah penghasilan suami.
Walau aku dan suamiku memutuskan berumah tangga mandiri, tetapi aku telah diberi bekal oleh orang tuaku, sehingga aku memiliki uang simpanan sendiri di buku tabungan. Sementara sisia penghasilan suamiku aku sisihkan sendiri di buku tabungan lainnya.
Singkat cerita ... setelah 2 tahun kami mengarungi rumah tangga, aku melahirkan seorang bayi perempuan. Walau awalnya kami inginnya bayi laki-laki, tetapi ini pun anugerah dari Tuhan yang harus patut di syukuri kehadirannya.
Aku dan suamiku sangat bahagia karenanya. Sebuah kebahagian yang sempurna.
Rupanya kebahagiaan ini tak berlangsung lama. Dimulai dari sini lah, kesabaran hidupku sebagai perempuan di uji.
Tiba-tiba ...
Anak bayiku terlihat kejang-kejang. Anehnya ia tidak menangis sama sekali.
Melihat itu, aku pun menjadi panik!
Sebagai seorang ibu yang melahirkannya dengan mempertaruhkan nyawa, maka, melihat anak bayiku dalam kondisi demikian, rasanya aku seperti menjadi orang gila saja.
Aku benar benar dilanda kecemasan yang hebat.
Tanpa berfikir panjang, aku dan suamiku selekasnya membawa anak bayiku itu ke rumah sakit.
Setelah diperiksa oleh Dokter, ternyata anak bayi perempuanku yang masih berusia 5 bulan itu terdeteksi mengalami gejala radang otak.
Ya, Allah ...!
Aku sangat shock dibuatnya, mendengar kata dokter bahwa bayiku terkena gejala radang otak, aku benar-benar sangat takut akan keselamatan hidupnya.
Apalagi ... saat melihat bayiku menangis karena disuntik, sebagai ibunya, aku pun ikut menangis karenanya.
Ya, Allah selamatkanlah bayi perempuanku ini ...!
Mulai dari awal pemeriksaan medis, sampai selama 14 hari bayiku dirawat dirumah sakit, akhirnya bayi perempuanku dinyatakan oleh dokter telah hilang kesadaranya. Sehingga, bayiku diharuskan minum melalui hidungnya.
Ibu mana yang tega melihat kondisi anak bayinya seperti itu. Aku yang menyaksikan dan membayangkan rasa sakitnya, membuat hatiku seperti teriris sembilu, sangat perih sekali rasanya ...
Entah seperti apa dirasakan suamiku, apakah ia sama denganku?
Entahlah.
Aku sebagai ibu yang melihat kondisi bayiku ini menyebabkan pikiran tidak waras! Boleh jadi waktu itu aku hampir menjadi gila beneran.
Sampai ... aku tak sadar, ternyata, aku sedang berjalan ditengah jalan raya di depan rumah sakit tanpa alas kaki.
Untunglah, bapak Tukang Parkir Rumah Sakit itu menolongku. Secepat kilat ia menyeretku lalu menuntunku ke pinggir jalan.
Tak hanya pikiranku yang menjadi tak waras, tetapi rasa ketakutanku yang begitu tinggi bayiku tak terselamatkan, membuatku pingsan sampai 2 kali di depan loket pengambilan obat.
Waktu itu untuk biaya pengobatan dan perawatan tidak masalah bagi kami, sebab, kami masih memiliki uang tabungan yang sangat cukup.
Aku tak peduli. Berapapun biaya penyembuhannya, asalkan bayi perempuanku ini terselamatkan akan aku bayar!
Alahamdulillah ...!
Masa-masa kritisnya bayiku telah terlewati.
Katanya dokter, bayiku telah terselamatkan. Katanya lagi, untunglah ia tidak terlambat ditangani. Sebab, aku sangat cepat membawanya ke rumah sakit.
Akhirnya kami diijinkan membawa bayiku pulang ke rumah kontrakan, sambil berobat jalan.
Ah, aku mulai lega karenanya ...
Kondisi kesehatan bayiku mulai membaik, tetapi, pada bulan Oktober, ia aku bawa masuk ke Rumah Sakit kembali untuk kedua kalinya. Sebab dengan tiba-tiba kejangnya kambuh lagi.
Belajar pada pengalaman lalu, baru 1 kali kejang, maka secepatnya aku langsung membawa bayiku ke rumah sakit
Namun, keadaannya tidak separah yang pertama. Lalu ia hanya mendapatkan perawatan ringan. Dan aku dianjurkan 1 Minggu sekali membawa bayiku kontrol ke rumah sakit
Jadi, setiap minggu aku membawanya chekc-up ke rumah sakit selama tiga bulan.
Setelah itu tiap sebulan sekali, bayiku diwajibkan mengkomsumsi obat selama 1 tahun lamanya.
Dalam 1 tahun itu pula bayiku tidak boleh telat mengkonsumsi obat dari dokter. Kalau sampai telat, maka aku harus memberinya dosis dari awal lagi. Bila itu tak dlaksanakan sesuai dengan petunjuk dokter, maka penyakit putriku tidak bisa sembuh total.
Menjaga supaya ia tidak kambuh kejangnya, bayiku tidak boleh capek berlebihan, sedih atau pun senang berlebihan, jangan terlalu kena panas atau pun dingin. Kondisi fisik dan psikisnya harus dijaga supaya dalam keadaan stabil.
Setelah melewati 1 tahun lebih, akhirnya ia sembuh total dari gejala radang otak. Uang di tabunganku pun ludes karenanya. Ditambah dengan suami yang menjadi pengangguran, maka lengkaplah penderitaanku ini.
Bersambung ...