Hoam~
Aku bangun dari tidurku dengan perasaan yang segar. Nampaknya tidurku semalam sangat nyenyak.
Ku kucek mataku, memeriksa apakah ada kotoran mata di sana. Jika ada, kubersihkan saja. Kamu pasti tidak ingin berada pada situasi berjalan di tengah kerumunan orang banyak yang menatap mu dengan tatapan aneh dan sedikit jijik...
Aku duduk di tepi ranjang, menatapi keadaan ruangan yang sempit dan agak remang. Walau demikian cahaya mentari pagi tetap dapat terlihat menyinari lewat beberapa lubang di dinding.
Seperti nya semua ini memang bukan sebuah mimpi.
Kemarin aku sedang asyik melakukan perjalanan dengan motor matic-ku menuju sebuah gunung, namun saat akan menikung melalui jalan sempit ternyata ada mobil datang dari arah berlawanan dengan kecepatan yang kencang.
Aku pun terkejut dan terheran-heran.
Refleks kuarahkan motorku ke samping untuk menghindar, namun yang kudapati adalah sebuah jurang.
Aku tak tau harus memberikan respon seperti apa, sebab aku bingung harus tertawa atau meringis.
Maksud hati ingin bersantai di puncak gunung, apalah daya malah terjun bebas ke jurang.
'Pengemudi mobil sialan!'
Saat jatuh dari ketinggian, sekilas aku meratapi nasib sembari menatap langit biru.
Kehidupan pengangguranku akhirnya telah sampai di penghujung jalan. Haha, selamat jalan dunia~
Namun ketika sudah menyiapkan diri akan benturan yang akan kuterima setelah jatuh dari ketinggian, tiba-tiba ada lubang hitam muncul di samping kiriku.
Lagi, aku terkejut dan terheran-heran.
Belum sempat menebak kenapa lubang hitam itu muncul secara tiba-tiba, tubuhku langsung terasa di hisap dan pandanganku menghitam.
Aku pun kehilangan kesadaran.
- - - - - - - - - -
Wanda, itulah namaku.
Aku dipungut oleh seorang penebang kayu tua ketika dia tengah beristirahat di tepi Sungai Toora.
Dia menemukanku terhanyut dalam keranjang dan membawaku ke gubuk kecilnya yang berada di kaki gunung dan membesarkanku.
Wanda, itulah nama yang tertulis pada gelang yang terpasang pada pergelangan tangan mungilku.
Dia membesarkanku dengan penuh kasih sayang dan mengajariku bagaimana cara menebang pohon.
Dia menyebut dirinya Adrian.
Ketika aku berusia 5 tahun, aku mengalami demam yang sangat tinggi.
Dia menggendong dan membawaku untuk menemui seorang dokter di desa terdekat. Dokter tersebut memberiku obat penurun panas.
Pada malam itu aku dapat bertahan dan pagi harinya demamku mulai turun. Kakek pun merasa lega karena panas ku pada akhirnya turun.
Namun pada malam kedua demamku semakin memburuk. Suhu tubuhku meninggi bahkan lebih panas dari sebelumnya.
Aku pun kembali meminum obat penurun panas, namun sepertinya obat tersebut sudah tidak lagi efektif.
Keringatku bercucuran.
Kemudian pandanganku pun gelap.
- - - - - - - - - -
Masih terngiang di ingatan perasaan terhisap ke dalam lubang hitam itu. Suatu pengalaman yang takkan terlupakan.
Pelan-pelan kedua mataku terbuka, kudapati diriku terbaring di atas kasur.
"Aduh, kepalaku sakit," ku pijat pelan kepalaku dengan harapan dapat mengurangi rasa sakit di kepala.
Aku pun beranjak dari tempat tidur dan mulai mengawasi keadaan sekelilingku. Di hadapanku ada seorang kakek tua yang tertidur dengan bersender pada sebuah meja.
"Di mana aku?" tanyaku kepada diri sendiri.
Tersentak mendengar sebuah suara, kakek tua yang ada di seberangku mulai mengangkat kepalanya dan menatapku dengan raut wajah terkejut.
"Wanda, akhirnya kau bangun juga!" ucap kakek tua tersebut dengan wajah gembira.
"Iya, aku sudah bangun." sambil ku pijat kepalaku yang masih terasa sakit.
'Eh? tunggu, siapa itu Wanda?'
Aku pun menengadahkan kepala dan menatap kakek tua itu dengan wajah kebingungan. 'Kakek ini siapa? Siapa yang dia panggil Wanda? Aku?'
Anjir!
'Sedang berada dalam situasi apa aku saat ini?!'
Di tengah rasa kebingungan, aku mulai sadar pada keadaan tubuhku. 'F*ck, kenapa tubuhku mengecil?!'
"Ugh, kepalaku.."
Sakit kepalaku memburuk, tiba-tiba suatu ingatan yang bukan dari pengalaman hidup yang kualami mulai muncul, seakan-akan itu adalah pengalaman hidupku sendiri.
Setelah itu aku mulai mengerti, bahwa tubuh ini bukan milikku melainkan tubuh seorang anak bernama Wanda.
Rupanya anak ini merupakan cucu dari kakek tua yang ada di depanku.
"Ada apa Wanda? Apa kamu baik-baik saja?" tanya beliau.
"Ugh, aku baik-baik saja kek. Tidak perlu khawatir, hanya saja sejak bangun tadi kepalaku terasa sakit." jawabku.
"Itu tak mengapa, asalkan demammu sudah turun." ucap kakek dengan senyum terlukis di wajahnya.
Tok-tok.
Seseorang mengetok pintu.
"Silakan masuk." ujar kakek.
Seorang lelaki paruh baya dengan keriput di sekitar matanya dan juga seorang gadis kecil yang sama-sama berpakaian serba putih masuk ke dalam. Sepertinya lelaki paruh baya ini adalah seorang dokter.
"Bagaimana keadaanmu Wanda, apakah sudah baikan?" tanya lelaki paruh baya tersebut.
"Iya, sepertinya begitu. Tapi kepalaku masih terasa sakit." jawabku.
"Hmm.. selama demammu sudah turun, ku rasa sedikit rasa sakit kepala bukan merupakan gangguan berarti untuk mu."
"Benar, selama demamnya sudah turun." sahut kakekku.
"Paman Adrian, kalau begitu kau sudah boleh membawa Wanda pulang." ucap dokter tersebut dengan senyuman.
"Baiklah dokter Anton, terima kasih telah merawat Wanda selama berada disini." kakekku menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada sembari membungkukan sedikit badannya.
Sepertinya begitulah adat dalam berterima kasih di dunia ini.
"Wanda, ucapkan terima kasih kepada dokter Anton dan nak Luna." ucap kakek Adrian kepadaku.
"Terima kasih dokter Anton, terima kasih luna." aku juga menyatukan kedua telapak tanganku dan memposisikannya di depan dada dan sedikit membungkukan badan.
"Sama-sama." jawab dokter Anton sembari tersenyum.
"Wanda, jaga kesehatanmu ya." jawab Luna dengan suara kecil sambil bersembunyi di belakang badan dokter Anton.
:)
Aku pun membalasnya dengan senyuman, walau sakit di kepalaku belum juga hilang.
Kakek Adrian dan aku pun keluar dari klinik dengan diantar oleh dokter Anton dan Luna.
Menurut ingatan Wanda yang asli, Anton dan Luna merupakan sepasang ayah dan anak. Luna merupakan anak tunggal dari dokter Anton dan tante Hilda. Namun karena kesehatan tante Hilda sering memburuk, dia pun lebih memilih untuk tinggal di rumah.
Teng...
Saat sudah berada di luar klinik, kami disambut oleh bunyi lonceng yang terletak di pusat desa. Lonceng tersebut berdentang sembilan kali, menunjukan bahwa saat ini sudah pukul sembilan pagi.
Sinar mentari menyinari dan menghangatkan tubuhku yang masih terasa kurang enak, memberikan rasa nyaman yang membuatku mengeluarkan senyuman di wajahku.
'Ah, sinar matahari di pagi hari memang terasa sangat nyaman.' aku menutup kedua mataku dan menarik napas yang agak dalam dan menghembuskannya dengan kencang.
"Wanda, bawalah obat herbal ini untuk jaga-jaga apabila kamu mengalami demam lagi." ucap dokter Anton kepadaku.
Luna dengan malu-malu menyodorkan bungkusan kecil dengan kedua tangannya.
"Wanda, ini obatnya..." ucap Luna dengan suara yang sangat pelan, aku hampir tidak bisa mendengar ucapannya.
"hm, terima kasih lagi ya Luna." sembari tersenyum, membuat Luna menundukan kepala lebih dalam karena tersipu malu.
'Ah, sepertinya gadis ini menyukai Wanda.'
Kuterima bungkusan obat yang disodorkan oleh Luna.
Kemudian aku berpaling kepada Kakek Adrian, "Ayo Kek, kita pulang."
"Hm." jawab kakek Adrian sembari meraih tanganku dan menggandengnya.
'Eh buset? Gue digandeng?!'
Menatap tanganku yang digandeng, kemudian aku menatap muka kakek Adrian dengan wajah melongo.
"Ada apa Wanda?" tanya kakek Adrian dengan nada bingung, alisnya mengernyit sebelah.
"Ah, bukan apa-apa kek. Ayo kita pulang." jawabku sambil menarik tangannya.
Setelah beberapa langkah aku berbalik dan berkata, "Dokter Anton, Luna, sampai jumpa lagi." sambil kulambaikan tanganku.
Dokter Anton membalas lambaian tanganku dengan senyuman, sedangkan Luna membalas lambaianku agak malu-malu.
Dalam perjalanan pulang, aku mulai memikirkan tentang keadaanku saat ini.
'Di mana ini sebenarnya? Sepertinya aku dilempar ke dunia ini oleh lubang hitam yang menyedotku saat itu.'
"Ada apa Wanda, sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
"Bukan apa-apa Kek, aku hanya bingung mengapa tiba-tiba aku mengalami demam semalam." Sepertinya kakek Adrian dapat melihat kebingungan yang terlukis di wajahku.
"Kakek juga tidak mengerti, kamu tiba-tiba saja mengalami demam setelah pulang dari memotong kayu bersama kakek di gunung." Kakek mulai mengernyitkan keningnya memikirkan sebab mengapa aku sampai mengalami demam.
"Coba kamu ingat-ingat, apa saja yang kamu lakukan selain menebang kayu pada hari itu?" usul kakek.
Aku pun menundukan kepalaku dan mulai mengingat-ingat apa saja yang kulakukakan pada hari itu.
'Selain menebang pohon, aku tidak melakukan hal lain... Ah? bukankah aku menemukan sebuah biji aneh yang setengahnya berwarna hitam dan setengahnya lagi berwarna putih? Kemudian aku menyimpannya ke dalam kantong kecil? Sekarang di mana biji tersebut?'
!!!
Aku ingat! Bukankah dalam perjalanan pulang aku kembali memeriksa biji tersebut, lalu biji itu tiba-tiba bergerak dalam genggamanku dan melukai telapak tanganku.
Kujepit kantong obat yang ada di tangan kananku ke ketiak, dan kuperiksa telapak tanganku. Tapi aku tidak menemukan bekas luka baru selain goresan-goresan yang disebabkan karena setiap hari menebang kayu.
Kemana bekas lukanya pergi?
Kemana biji itu pergi?
Tiba-tiba bagian bawah perut ku terasa bergetar.
'Aku di sini'
!!!
∑(ΦдΦlll)