Chereads / Stars Elite / Chapter 9 - Alkemis

Chapter 9 - Alkemis

Ramna mengangkat Darma dan membaringkannya di kasur Yora. Dia merapikan tas belanjaan Darma yang isinya tercecer ketika dia terpental. Sementara Yora masih mengendalikan pesawat yang sudah dalam kecepatan cahaya dan empat kali akselerasi. Batinnya masih belum bisa menerima kenapa Darma bisa membangkitkan tongkat buatan bangsa Zalf. Dia terus bertanya-tanya.

Ramna mendekat dan duduk di kokpit sebagai kopilot.

"Bahan bakar kita mau habis," Ramna melihat ke arah meteran bahan bakar.

"Kita mampir dulu di planet terdekat untuk isi bahan bakar," Kata Yora yang masih serius mengemudikan pesawat. Sebenarnya, dia serius karena dalam otaknya masih berpikir soal kejadian tadi. Sungguh dia belum bisa menerimanya.

Ramna melihat layar. Jarinya menyentuh-nyentuh mencoba melihat planet mana yang paling dekat.

"Sepertinya kita akan mampir di planet gersang lagi," kata Ramna kemudian.

"Di mana itu?"

"Planet Bastie."

"Yang penghuninya kerdil berwarna hijau mirip hewan kodok di Bumi?"

Ramna mengangguk.

"Tak masalah. aku juga sering lihat mereka di Efora."

Yora mengatur agar pesawatnya berhenti ketika sudah dekat dengan Bastie. Kemudian dia mengaktifkan mode pilot otomatis.

Bastie merupakan planet yang tujuh puluh persen datarannya adalah pasir berwarna cokelat muda. Ukurannya lebih kecil seperempat daripada Bumi. Di sini tidak ada bibir pantai. Jadi ketika mau ke laut, yang ada adalah tebing tinggi curam yang di bawahnya terdapat batu-batu tajam.

Darma terbangun. Tapi, bangunnya seperti dia sudah melewati mimpi yang buruk. Dia meloncat dari kasur dengan panik dan napas yang terengah-engah. Ramna mencoba mendekat dan menenangkan Darma. Tapi Darma malah mundur dan membentur meja sehingga salah satu gelasnya jatuh. Dia kemudian melihat ke arah tongkat yang membuatnya terpental dan pingsan.

"Benda apa itu?' tanya Darma.

"Tengang lah," Ramna mencoba menenangkan.

"Aku tanya benda apa itu?!" Darma berteriak.

"Itu adalah tongkat yang dibuat oleh Zalf."

"Zalf?"

"Penghuni planet Manda. Mereka adalah pendiri dari Aliansi Kebebasan."

"Kenapa ketika aku mau memukulkan tongkat itu kepada Yora, tiba-tiba aku seperti berada di dunia yang berbeda. Di sekelilingku tidak ada apa-apa. Hampa. Lalu di depanku muncul seorang wanita yang sangat cantik. Tapi dia mendorongku dan aku kembali sadar namun sebenarnya aku terpental."

Ramna tidak menjawab. Darma melihat ke arah Yora yang sedang melihat peta galaksi di kokpit. Kemudian dia kembali melihat ke arah Ramna.

Ramna mengangkat tangan lalu berkata, "Untuk itulah kami ingin membawamu ke kapten kami. Mungkin dia tahu sesuatu."

Wajah Darma lalu tegang.

"Tidak. Kalian harus bawa aku kembali ke Efora. Rama dan Guldi pasti khawatir aku hilang."

"Itu tidak bisa."

"Kenapa?"

"Kami sudah ditunggu oleh kapten. Dan misi sudah selesai. Jadi tidak ada alasan untuk kembali."

Darma diam sejenak. Dia kemudian duduk dengan wajah menunduk.

"Aku harus kembali. Jika tidak, Rama pasti akan kerepotan karena dia yang bertanggung jawab di tempat aku bekerja. Dia akan melapor ke Sumandi, lalu Sumandi akan melapor ke ibuku. Lalu ibuku akan bersedih. Dia harus kehilangan dua lelaki yang paling dicintainya dengan cara yang sama."

Ramna mendekat lalu memberi Darma minum. Tapi Darma hanya diam.

"Aku akan membawamu kembali. Aku janji. Tapi untuk saat ini, aku harus membawamu ke kapten dulu. Jika urusan sudah selesai, aku akan langsung membawamu saat itu juga."

Darma melihat ke wajah Ramna yang tertutup topeng besi, "Terima kasih," katanya sambil meminum air yang diberikan Ramna.

Setengah jam kemudian, pesawat berhenti. Ditandai dengan getaran yang membuat gelas bekas minum Darma bergetar. Di jendela planet Bastie sudah terlihat. Yora lalu turun menembus atmosfer dan beberapa saat pesawat terbang di langit untuk mencari lokasi di mana dia biasa mendarat. Yaitu sebuah titik dekat tebing yang menjorok ke laut. Di sana terdapat pemukiman kumuh. Tidak ada rumah. Hanya tenda-tenda semi permanen yang didirikan seadanya. Mirip seperti camp tentara ketika perang. Angin yang berhembus membuat tenda-tenda itu miring. Mungkin jika tidak kuat mengikatnya, tenda-tenda itu akan terbawa angin.

Yora mendaratkan pesawat. Lalu tanpa berlama-lama, mereka semua turun dan masuk ke salah adu tenda yang di dalamnya ada pengepul bahan bakar. Kerdil, yang rupanya seperti kodok. Tapi mereka berpakaian dengan kain warna putih. Rambutnya yang tidak lebat berwarna cokelat terurai ke belakang. Darma kini tahu asal-usul makhluk mirip kodok ini ketika dia pertama kali melihatnya di Efora.

"Ah, Yora. Senang bisa melihatmu lagi," sapa makhluk itu dengan bahasa galaksi.

"Aku ingin mengisi bahan bakar. Dan juga, kami butuh makanan," balas Yora.

"Tenang. Semuanya tersedia di sini. Silakan kalian ke kedai Nyonya Qwil. Masakannya selalu terpercaya."

"Terima kasih, Groz."

Groz menulis di secarik kertas lalu dia berkata, "Tiga puluh set."

Yora merogoh saku bajunya. Dia memberi uang logam.

"Ah, mata uang galaksi. Kami akan selalu menerimanya."

Groz memerintahkan anak buahnya untuk mengisi bahan bakar pesawat Yora.

Darma begitu heran dengan planet ini. Sangat miskin sekali. Tapi, saat ini dia sangat lapar. Dalam pikirannya dia hanya ingin mengisi perutnya dulu. Ketika sampai di sebuah kedai yang juga dari tenda yang hampir roboh, mereka dipersilakan duduk. Seorang pelayan mendekat dan Yora mengatakan dia pesan seperti biasa. Tak berapa lama tiga mangkuk makanan sudah datang. Betapa terkejutnya Darma dia melihat semacam dedaunan beserta batangnya yang digenangi oleh kuah keruh warna cokelat tua.

"Apa ini?" tanya Darma. Dia mencoba untuk tidak muntah.

"Jangan banyak tanya. Makan saja," balas Yora. Dia malah melahap makanan tersebut tanpa rasa jijik.

Lalu Darma melihat ke arah Ramna.

"Sebenarnya aku tidak makan. Aku hanya suka mengaduknya saja hahaha," Ramna tertawa dengan terpaksa.

Darma melihat ke dalam mangkuk. Dia mengambil sendok lalu mencoba mengambil sedikit kuahnya dengan tangan gemetar. Kemudian sendok yang berisi sedikit kuah dia arahkan ke mulutnya. Lidahnya menjulur dan menyentuh ujung sendok. Kuah tersebut membaluri lidahnya. Dia masukkan kembali lidahnya ke dalam mulut lalu mencoba merasakannya. Darma terkejut lagi. Bukan karena rasanya enak. Tetapi hambar.

"Tidak ada rasanya," kata Darma.

Yora lalu mendekatkan sebuah botol kecil ke mangkuk Darma.

"Pakai penyedap ini," ujar Yora yang langsung dia lanjutkan aktivitasnya yaitu melahap makanan aneh ini.

Darma menaburkannya sedikit. Lalu dia mengaduk dan kembali mencicipinya. Dan rasanya lumayan. Malah dia mencoba untuk menghabiskannya.

Perut mereka sudah terisi. Mereka duduk-duduk sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Darma memesan sebuah minuman dingin. Kali ini dia suka dengan rasanya. Mirip dengan jeruk. Tapi minuman ini warnanya bening.

"Ramna, tasku di mana?" Darma bertanya.

"Di dek pesawat. Sudah aku rapikan."

"Di tasku ada bahan makanan. Apa di dek pesawat ada dapur?"

"Hhmmm...." Ramna berpikir.

Darma menatap Ramna berharap ada jawaban.

"Ada sepertinya. Tapi-"

"Tapi sudah lama tidak digunakan. Mungkin gasnya juga belum diisi lagi," sela Yora.

Yora lalu mengambil mangkuk Ramna. Dia menghabiskannya dalam sekejap.

"Hey, itu milik Ramna," Darma protes.

"Tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa begini."

"Kau sendiri kenapa tidak makan, Ramna?"

"Aku ini hanya segumpal gas. Jika kau membuka jubah, topeng besi, dan tangan besi ini, yang kau lihat hanya gumpalan gas yang bentuknya tak beraturan berwarna hitam."

"Kau tidak pernah merasa lapar?"

Ramna menggelengkan kepala.

"Tapi, kami ini pandai dalam ilmu pengetahuan. Kami sering dijuluki alkemis."

Ramna membuka tangan besinya dan menempelkan telapak tangan kanannya ke atas meja. Tiba-tiba, dari atas meja tersebut terbentuk sebuah miniatur pesawat Yora yang warnanya sama dengan meja. Darma hampir terjungkal ke belakang saking kagetnya.

"Lalu, bagaimana pakaianmu bisa melekat. Sementara kau itu hanya segumpal gas?"

"Sebenarnya, kami bisa menggerakkan benda padat. Tapi tidak dengan makhluk hidup. Kami tidak bisa menyentuh makhluk hidup. Untuk itulah agar kami berinteraksi secara fisik, kami gunakan benda padat atau benda mati."

"Di Bumi aku juga pernah dengar alkemis."

"Ilmu itu bisa dipelajari oleh siapa pun. Bahkan kalau kau mau, aku bisa mengajari ilmu alkemis kepadamu."

"Itu mengerikan. Mirip seperti penyihir."

"Lebih tepatnya seperti trik sulap. Semua bisa dijelaskan. Seperti tadi aku mengubah sedikit permukaan meja ini menjadi miniatur pesawat. Lihat," Ramna menunjukkan telapak tangannya yang berisi lingkaran aneh, "Aku membuat lingkaran. Ini adalah wajib dilakukan oleh seorang alkemis. Juga sebuah komposisi yang tepat dari zat, unsur, elemen dan yang semacamnya. Lebih sederhananya, ini ilmu untuk mengubah serta memanipulasi suatu materi dengan menggunakan energi alam."

Darma bingung. Dia tak bertanya lagi dan dia tidak mau tahu lagi. Yora hanya memperhatikan Ramna dan Darma sedang mengobrol. Dia lalu berkata saatnya untuk melanjutkan perjalanan. Darma masih terus mengingatkan Ramna untuk membawanya kembali ke Efora jika sudah bertemu dengan Kapten. Pesawat lalu lepas landas dan melewati atmosfer lalu bersiap melakukan lompatan kecepatan cahaya. Darma bertanya kali ini tujuannya bakal ke mana.

Dengan penuh percaya diri Yora menjawab, "Ke markas Divisi Dua Puluh Aliansi Kebebasan."

Bersambung...