Ramna mengajarkan Darma cara mengemudikan pesawat. Dia menjelaskan fungsi-fungsi tuas, tombol, setir, dan apa saja yang ada di kokpit secara detail. Darma serius memperhatikan. Dia mengangguk-angguk ketika Ramna menjelaskan. Selama beberapa jam Darma dibekali teori cara menerbangkan pesawat luar angkasa. Karena tidak ada alat simulasi, jadi Darma langsung praktik.
Dia didampingi oleh Ramna. Darma duduk sebagai pilot. Sementara Ramna jadi kopilot dan bangku belakang kosong. Sebenarnya bangku belakang ada fungsinya. Yaitu siapa saja yangdudu di bangku tersebut, dia bertugas sebagai penembak ketika sedang dalam situasi konflik.
Ramna berkata kepada Darma untuk tenang dan mengatur napas. Setelah itu, Darma diperintahkan menghidupkan mesin sesuai dengan teori yang sudah dia pelajar. Dengan sedikit gugup Darma menekan beberapa tombol di atas kokpit. Dilanjutkan dia menekan satu tombol di depan dasbor. Mesin berbunyi cukup senyap ditandai dengan sedikit getaran. Mesin pesawat kemudian menyala. Darma memegang setir yang mirip dengan huruf "W" dilengkapi beberapa tombol. Dia tarik sedikit pegangan setirnya sehingga pesawat melayang dan kaki-kaki pesawat yang menopang pesawat secara otomatis masuk ke dalam badan pesawat.
Setelah seimbang, Darma menginjak pedal secara lembut sehingga pesawat melaju secara perlahan ke depan hingga keluar hanggar. Di sedikit memutar pesawat secara ke samping satu putaran mengarahkan setir secara horizontal. Lalu, Darma menambah ketinggian pesawat sehingga pesawat terbang secara vertikal dan melebihi tinggi gedung-gedung. Ramna berkata kalau darma bisa langsung melajukan pesawat dengan kecepatan penuh. Cukup dengan menekan tombol hijau di setir, dan menginjak pedal gas. Darma lakukan. Seketika, pesawat melesat dan Darma merasa tubuhnya terhenyak ke belakang. Dia agak panik ketika pesawat melesat meninggalkan kota dan menembus kabut yang tebal. Ramna menyuruh Darma untuk menyalakan lampu depan agar jarak pandang jadi lebih jauh.
Ketika pesawat laju, Darma dorong setir ke depan, pesawat turun menukik. Dia tarik setir ke belakang, pesawat menanjak. Dan sepertinya untuk berbelok semua orang sudah tahu harus bagaimana. Untuk mengerem, cukup injak pedal yang ada di kaki kiri. Jika dalam kecepatan penuh dan di depan terdapat halangan sehingga harus berhenti mendadak, cukup dengan menarik setir sambil menginjak pedal rem. Ini perlu latihan yang rutin.
Selama beberapa saat, Darma mulai terbiasa. Walaupun lebih kompleks ketimbang belajar menyetir mobil, bukan berarti mengemudikan pesawat luar angkasa tidak bisa dipelajari. Dia mulai supaya tangannya terbiasa dengan setir pesawat. Untuk pedal gas, sepertinya Darma tidak perlu membiasakan diri. Sebab dia sudah bisa menyetir mobil. Hanya perlu sedikit penyesuaian sebab yang dia kendarai melayang di udara.
Sekitar satu jam, Darma kembali ke menara. Dia berusaha turun dan mendarat dengan sangat hari-hari. Ketika sudah di landasan, dia kemudikan lagi pesawatnya perlahan masuk ke dalam hanggar dan menarik sedikit pegangan setir lalu kaki-kaki pesawat muncul sehingga pesawat bisa berdiri di dalam hanggar. Mesin dimatikan dan Ramna memuji Darma karena cepat belajar.
Mereka berdua turun lalu berbincang di taman sambil menyantap makanan.
"Ramna, aku ingin bertanya," kata Darma.
"Apa itu?"
"Kenapa penduduk planet Manda disebut bangsa Zalf? Kenapa mereka tidak disebut bangsa Manda? Bukankah setiap orang akan disebut sesuai planet asalnya. Misal aku dari Bumi maka aku bisa dikatakan penduduk Bumi, bangsa Bumi, atau penghuni Bumi?"
Ramna berpikir sebentar. Kemudian dia memberikan jawaban.
"Mungkin semua penghuni Manda punya julukannya masing-masing. Setiap planet ingin disebut apa penghuninya juga terserah mereka," Jawa Ramna.
"Cukup masuk akal."
***
Setiap pelayan, harus bertugas sesuai apa yang dikehendaki sama majikannya. Menyiapkan pakaian, makanan, merapikan tempat tidur, dan lain sebagainya. Di pesawat induk luar angkasa ini para pelayan yang berseragam putih sibuk mengurus persiapan makan malam majikannya. Mereka bergegas merapikan meja makan yang begitu mewah. Lampu-lampu dinyalakan. Peralatan makan disiapkan. Sementara juru masak sedang meracik masakan terbaiknya. Beberapa pelayan membersihkan lantai yang berdebu. Mereka harus bekerja dengan sigap, tepat dan tanpa ada kesalahan. Sebab jika sedikit saja ada kesalahan, maka Sang Majikan akan marah besar.
Di kamar pribadinya, Sang Majikan sedang merias penampilannya. Semua interior di kamar pribadinya sangat feminin. Dia hanya ditemani oleh seorang Nenek Tua bertubuh kecil, kulit berkeriput namun pipinya tembem, rambut yang sudah memutih, tapi tangannya masih cekatan walau kadang gemetar. Nenek Itu yang menjadi tukang rias. Sang Majikan duduk di hadapan cermin melihat wajahnya yang sangat cantik. Pipi tirus, mata sayu, rambut panjang sebahu, bibir tipis, postur tubuh langsing dan seksi, kulit klimis seperti karet berwarna biru agak gelap, kuku panjang tapi rapi, dan sebuah gaun yang didesain untuk bertarung.
Nenek Tua itu menyisir rambut Sang Majikan sambil memberinya minyak rambut yang sangat harum. Perlahan dia rapikan lalu dia ikat seperti sanggul dan menancapkan sebuah tusuk sanggul yang terbuat dari emas murni. Kemudian nenek tua itu memberi Sang Majikan parfum yang mungkin wanginya tidak akan hilang selama satu tahun.
"Secukupnya saja, Nek," ucap Sang Majikan.
"Ratika, kau itu Kapten Divisi Satu Aliansi Kuning. Orang terkuat di aliansi ini. Tubuhmu harus wangi. Terlebih kau itu seorang wanita," kata Nenek Tua itu.
Seketika wajah Ratika berubah menjadi sinis.
"Kenapa?" tanya Nenek Itu.
"Nenek Omar, aku heran kenapa nama aliansi tidak ada yang bagus? Pakai nama-nama warna sangat kampungan," Ratika menggerutu.
Nenek Omar tertawa. Wajah Ratika malah terlihat tambah jengkel.
"Jangan tanya aku. Tanyakan kepada para Komisaris."
"Mereka tahu apa? Bisanya cuma memerintah saja."
"Kau sendiri, kenapa mau diperintah sama mereka?"
"Karena planetku tergabung dalam Aliansi Kuning. Bukan hanya itu, aku juga adalah putri dari Presiden Gasni."
"Aku heran, kenapa bangsa Gasni memiliki kulit klimis. Jika diperhatikan, kulitmu itu seperti karet."
"Itu sama saja seperti Nenek bertanya kenapa udara tidak bisa dilihat tapi bisa dirasakan."
Kapten Ratika terkenal dengan perfeksionismenya. Dia tak segan akan memarahi habis-habisan jika para pelayannya melakukan sebuah kesalahan. Yang lebih parah ialah ketika dia tahu seorang pelayan tertidur karena kelelahan. Hampir saja pelayan itu dihukum dengan senjatanya yaitu sebuah cambuk berwarna merah emas. Tapi untungnya bisa dihentikan oleh Nenek Omar. Itu lah sebabnya para pelayan harus bekerja tanpa ada kesalahan. Tetapi kepada Nenek Omar, Kapten Ratika tidak pernah marah atau semacamnya. Malah mereka kadang berbincang layaknya cucu dan nenek. Sangat akrab.
Juru masak sudah selesai dengan masakan racikannya. Dia keluar membawa sepiring makanan mewah ke meja makan. Tak berapa lama Kapten Ratika keluar. Ketika pintu kamarnya terbuka, seketika semerbak wangi tercium sampai memenuhi seluruh penjuru ruang makan. Para pelayan berdiri tegap. Kapten Ratika berjalan dan duduk di meja makan. Dia menatap sebuah hidangan daging dan potongan sayuran hijau dan ungu yang dipotong kecil-kecil panjang seperti segumpal rambut. Juru masak menuangkan minuman ke dalam gelas kosong lalu dia mempersilakan Kapten Ratika untuk mencicipinya dulu.
Seketika ruangan hening ketika Kapten Ratika hanya memperhatikan makanan yang ada di hadapannya. Kemudian dia mulai mengambil garpu dan pisau untuk mengiris dagingnya. Setelah teriris, dia masukkan ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Beberapa kali dia mengunyah, Kapten Ratika berhenti mengunyah yang membuat juru masak mulai keringat dingin. Tetapi kemudian, Kapten Ratika menelan daging itu dan makan dengan lancar. Juru masak mulai merasa lega dan dia mengusap keringatnya lalu undur diri kembali ke dapur.
Di tengah makan, ajudannya yang berseragam serba kuning menghampirinya dan memberikan sebuah kabar.
"Ada apa ajudan? Kau mengganggu makan malamku," Kapten Ratika menatap tajam ke arah ajudannya.
"M...maaf Kapten. Tapi ini berita darurat," Ajudannya memberikan hormat.
"Langsung saja."
"Kami mendapat berita kalau Kapten Raden sudah menginvasi planet Gorf."
Kapten Ratika berhenti mengunyah. Lalu wajahnya terlihat marah besar.
"SIALAN!" teriak Kapten Ratika. Seluruh pelayan dan ajudannya terkaget dan ketakutan.
"Itu planet primitif yang akan aku ambil sumber dayanya. Bahkan itu inisiatifku sendiri tanpa diperintah oleh para Komisaris."
"M...maaf Kapten. Hanya itu berita yang kami dapat. S...saya mohon pamit," ajudan itu pergi.
Nenek Omar lalu menghampiri dan memberikan masukan.
"Sudah. Jangan kesal. Jika tidak ada perintah dari para Komisaris, ya sudah. Lebih baik kau cari planet lain. Dalam daftar, masih banyak planet primitif yang bisa dijajah atau diinvasi." Nenek Omar mengelus punah Kapten Ratika.
"Aku ingin membuat perhitungan dengannya," Kapten Ratika semakin kesal.
"Untuk apa? Dia juga tidak tahu kalau kau mengincar planet yang sama, kan?"
Kapten Ratika mulai menenangkan emosinya. Dalam pikirannya, perkataan Nenek Omar ada benarnya. Kalau dia mendatangi Kapten Raden, yang terjadi hanyalah pertarungan yang sia-sia dan memakan waktu juga tenaga.
Planet primitif di sini bukanlah planet yang tidak saling mengenal adanya planet lain. Melainkan mereka yang belum terjamah teknologi. Bukan mereka tidak tahu. Mereka hanya tidak ingin terlalu bergantung pada teknologi. Tetapi setiap kali ada pesawat asing yang datang, kebanyakan dari mereka membuat semacam lapangan luas untuk mendaratnya pesawat-pesawat asing yang dijaga oleh para penjaga setiap waktu.
Untuk kasus Kapten Raden yang berhasil mengambil sumber daya planet Gorf, dia hanya naik sebuah kapsul bersama ajudannya dan ketika menembus atmosfer, kapsulnya langsung melesat ke istana Dermit melewati lapangan yang disediakan untuk pesawat asing dan dia terjun dari pesawat lalu mendarat tepat di depan istana yang dijaga oleh para penjaga. Setelah itu terjadilah insiden yang sudah kita semua tahu sebelumnya.
Bersambung...