* (Pagi hari) *
Langit-langit ruangan yang asing.
Ruangan bercat kombinasi hijau terang dan biru muda.
Lalu seprai abu-abu bermotif simple.
Butuh satu-dua detik baginya untuk mengingatnya. Ya, ini memang bukan kamarnya. Sementara matanya melihati seisi ruangan yang terlihat asing itu, Elyn baru tersadar. Dia tidak ada.
Elyn menuruni tangga menuju ruang tengah. Pikirnya mungkin dia akan mendapati orang itu sedang bersantai di depan TV sambil memakan sarapannya atau sedang bersantai di atas sofa sambil bermain sibuk dengan game-nya.
Tapi tidak terdengar suara TV atau sesorang begitu dia menuruni tangga, dan benar saja adiknya memang tidak ada di sana. Kemudian Elyn menuju dapur di sudut ruangan sana. Tapi juga tak nampak batang hitungnya di sana. Dia lagi keluar? Tanya Elyn dalam benak.
"Kakak nyariin aku?" Sebuah suara bertanya dari belakangnya.
Elyn lantas berbalik dan mendapati sebuah wajah yang dicarinya baru mengeringkan rambut setengah basahnya dengan handuk, seraya berjalan mendekat dari arah kamar mandi.
Wangi sabun yang tak asing mulai menyapa hidungnya begitu adiknya mendekatinya.
"Nggak juga." Jawab Elyn seolah tanpa minat.
"Boong." Gurau adiknya seolah tak percaya. "Kakak tadi nyariin aku. Aku tadi lihat kok dari belakang, tapi diem aja."
"Kepedean kamu. Siapa yang nyariin kamu. Btw, kamu make sabun kakak lagi kan?"
Revan sedikit terheran. "Kok tahu?"
"Kamu kenapa suka make sabun kakak sih? Kamu suka wangi cewek kayak gitu ya?"
"Nggak juga." Revan menggeleng. "Aku suka soalnya wanginya kayak kakak."
"Ha?" Elyn terheran sendiri. Begitu dia mendengar jawaban aneh dan tak terduga dari adiknya itu, pikirannya mulai sampai kemana-mana. Bahkan benaknya entah bagaimana mengaitkan candaan adiknya semalam dengan apa yang dikatakannya barusan. Tapi bayangan dalam benaknya pudar begitu adiknya menambahkan. "Becanda."
Elyn memalingkan wajah sambil menggembungkan pipi. "Terserahlah," katanya pura-pura membuang minat seraya berjalan melewati adiknya menuju kamar mandi.
* (Sekitar satu jam kemudian) *
Revan menaiki tangga dengan menggenggam ponselnya di satu tangan, menuju kamar yang ada di sebelah kamarnya.
Mengangkat tangan yang satunya ke gagang pintu yang terpasang papan hiasan kecil bertuliskan 'Anna' di depannya, dia lalu mendorong pintu yang sedikit terbuka itu.
Kedua matanya terbuka lebar, sementara perempuan di hadapannya baru menyadari kehadirannya dan memindah matanya.
Seolah butuh satu-dua detik bagi perempuan yang hanya tertutup celana dalam di hadapannya untuk menyadari apa yang terjadi, baru dia berteriak kecil. Tak lupa dia juga melempar handuk yang tadinya dia gunakan untuk mengelap rambutnya yang masih setengah basah.
"Maaf, maaf." Revan segera membalikan badan begitu handuk yang perempuan itu lempar mengenai wajahnya dan menyadarkannya.
"Maaf, aku nggak tahu kalo kakak lagi—," Revan mengerem kata-katanya seraya menurun kan handuk yang menutup wajahnya. Kemudian dengan posisi punggung masih membelakangi pintu dia menggayuh gagang pintu dengan satu tangan dan menutupnya.
Revan menggeleng-gelengkan kepala sementara terus mengintrupsi pikirannya yang tak berhenti mengingat lagi pemandangan yang baru saja dilihatnya.
"Hei." Suara memanggil dari balik pintu.
Revan kaget, tapi dia segera mengusai dirinya. "Kenapa?" Dia berusaha mengatakannya dalam nada santainya seperti biasa, tapi yang keluar dari mulutnya masih saja sedikit canggung.
"...handuk," sahut dari balik pintu dengan suara semakin tak terdengar.
Revan terbingung. "Handuk?"
"Handuk kakak siniin!" Elyn menaikan suaranya. "Kakak mau ngeringin rambut."
"Oh." Revan tersadar. Rupanya dia lupa kedua tangannya memegangi handuk pink yang tadi dilempar kakaknya ke wajahnya. Lalu seakan menyadari sesuatu lagi, dia menambahkan. "Tapi gimana—"
"Lewat sini." Suara kakaknya terdengar lebih dekat di belakang. Revan berbalik dan mendapati kakaknya yang mengulurkan tangannya melalui celah pintu yang dia buka sedikit.
Revan memberikan handuk pink itu. Setelah mengambil handuknya Elyn menutup pintu. Tak lupa dia juga menguncinya dari dalam.
Sekitar lima menit kemudian Elyn membuka pintu dan keluar. Begitu dia menengok samping dan mendapati adiknya yang menyandarkan punggung ke dinding.
Elyn menatap curiga. "Mau ngintip kakak kan?"
"Nggak, nggak." Adiknya menggeleng. "Aku nggak niat ngintintip kakak atau apa kok. Tadi beneran nggak sengaja."
"Hmm." Gumam Elyn seolah tak percaya. "Terus?"
"Aku cuma mau beritahu kakak tadi." Revan mengangkat ponsel di satu tangannya. "Tadi mama telpon, dia bilang mau beli puding matcha yang kayak lusa kemarin."
"Terus?"
"Aku mau nanyain kakak tadi."
"Hmm?" Gumam Elyn seolah meragukan.
"Mama emang mau beli—"
"Maksud kakak kamu beneran nggak tahu kan kalo kakak lagi ganti? Bisa aja kan kamu cari kesempatan biar bisa liat kakak."
"Nggak." Revan menggeleng. "Yang tadi emang nggak sengaja."
"Yang tadi?"
"Oops."
"Hmm." Elyn melihat dengan curiga. "Berarti yang lain-lain iya?"
"Nggak lah." Revan mengibaskan tangan. "Tadi cuma salah ucap. Lagian yang lain-lain apa? Aku belum pernah ngintip kakak."
"Ah, udahlah." Sahut Elyn seolah kehilangan minat. "Lagian tadi nggak sengaja, paling kamu juga bakal lupa besok," lanjutnya seraya berjalan meninggalkan adiknya.
"Nggak lupa." Revan menjawab cepat.
"Ha?" Elyn lantas berhenti dan berbalik.
Wajahnya yang terbingung lantas berubah seolah kehilangan minat begitu adiknya menambahkan. "Becanda."
Elyn lalu berbalik dan melanjutkan langkahnya munuju meja makan.
* * *