Chereads / Kumpulan Cerpen / Chapter 1 - Takdir

Kumpulan Cerpen

🇮🇩Manwithpipedream
  • 1
    Completed
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.6k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Takdir

Di atas ranjang Ira menghela nafas memikirkan apa yang telah terjadi selama ini, mata itu, kutukan— tidak, berkah yang Tuhan berikan kepadanya.

Entah apa maksud dan tujuan Tuhan memberikan Ira sebuah mukjizat, apa karena ketidakpercayaanya atas 'takdir' hingga Tuhan memberikan kesempatan untuk membuktikannya.

Telah beberapa tahun berlalu sejak Ira diberkahi mata takdir, Mata yang dapat melihat takdir. Dengan mata takdir ini, Ira dapat melihat berbagai macam masa depan berdasarkan warna.

Kini Ira tahu bahwa warna-warna tersebut mengandung arti, misalnya warna putih, yang melambangkan keberuntungan.

Selain warna putih ada warna hitam, warna yang melambangkan kesialan, warna ini dapat berarti segala sesuatu yang berhubungan kenestapaan, atau bahkan kematian.

Warna yang Ira lihat tidak hanya ada dalam manusia, bahkan benda-pun memiliki warna tersebut. Namun tak semua benda berwarna.

Ira mandi dan mencuci mukanya, ia melihat ke dalam kaca, terlihat dari pantulan kaca, tubuhnya di sinari warna putih.

'Wah?! Aku mungkin akan dapat sesuatu yang bagus kali ini.'

Pikir Ira sembari bergegas menuju meja makan, di meja makan terlihat keluarga kecilnya sedang bersiap-siap sarapan, Ayahnya telah mengenakan setelan kantor, dan Ibunya berseri-seri menyiapkan makanan.

Ira melihat Ayah dan Ibunya juga memiliki sinar putih, Ira penasaran bertanya pada Ibunya.

"Aku tebak, Mamah pasti dapat rezeki nomplok ya?" tanya Ira dengan nada bercanda.

Ibunya tertawa, "Hahahaha, iya. Ibu gak nyangka kakakmu, yang kini di luar negeri, tiba-tiba mengirim Ibu uang dengan jumlah besar, dan berkata kepada kita untuk habiskan uang itu. Ia bilang ia menjadi karyawan terbaik dan dapat bonus."

"Oh iya, dia juga bilang. Dia mau pulang kesini nanti sore."

Ira tersenyum mendengar ini, kakaknya. Orang yang sangat baik dan menyayangi keluarga, baginya ia adalah orang yang harus dijadikan panutan. Ia sangat bahagia mendengar berita tentang kakaknya.

"Wah, asik dong! Oh sial, udah mau jam 7."

"Aku berangkat sekolah dulu Mah, Yah."

Ira bergegas keluar rumah, di luar rumah ia melihat tetangganya, Bu Lilis sedang merawat bunga di halaman rumah miliknya. Ia menyapa Bu Lilis, dan melihat ke arah tubuhnya.

"Pagi, Bu Lilis"

Sapaan tersebut dijawab oleh Bu Lilis.

"Pagi, Ira"

Namun ketika ia melihat lebih teliti, Ira melihat sebuah cahaya hitam yang redup muncul di tubuh Bu Lilis.

'Warna hitam?' Ira sedikit terhenyak, lalu kembali tersadar, ia kemudian berjalan dengan cepat menjauhi Bu Lilis.

Ira tahu dan sudah sering melihat apa yang akan di bawa oleh warna hitam tersebut, namun dari mulai Ia mendapat mata takdir sampai saat inipun Ira tidak pernah mencoba mengubah apa yang namanya takdir.

Ira mencoba memikirkan sepositif mungkin, karena tidak semua warna hitam membawa kematian, bahkan ia pernah melihat seorang pasien yang sebagian besar umurnya ia habiskan di rumah sakit, memancarkan cahaya putih, dan tak lama ajal menjemputnya. 

Yang Ira pikir saat itu, pasien tersebut lega, karena bebas dari rasa sakit.

--

Di sekolah.

Ira tak sabar menanti sore, menengok ke arah jam dinding yang bergerak perlahan, di depan guru sedang mengajar apa yang sudah ia ketahui, Jujur saja bagi Ira saat ini adalah waktu yang paling membosankan.

Ia tak sedikitpun menaruh perhatian pada perkataan sang guru, karena teramat bosan. Ia melihat ke arah teman sebangkunya yang sedang membaca buku.

"Apa yang kau baca?" tanya Ira, karena Ira tahu apa yang dibaca bukanlah buku pelajaran dari sekolah.

"Hmm?" Temannya menengok ke arah Ira, dan berkata, "Aku membaca tentang Laws of Causality." (Hukum sebab-akibat)

Ira baru mendengar hal tersebut, dan berkata sambil berpikir, "Hukum sebab-akibat? Apa itu?"

Temannya mengangguk dan berkata, "Segala sesuatu yang terjadi, adalah sebab dari tindakan sebelumnya."

Ira, menggumamkan kembali apa yang diucapkan temannya, rasa penasarannya kembali bergejolak sama seperti ketika ia mendapat mata ini.

Ira masih ingat sehari sebelum mendapat mata ini, ia baru saja membaca novel yang menceritakan seorang anak gadis yang saling surat menyurat dengan filsuf misterius.

Ia masih mengingat quote dari novel tersebut, '...satu-satunya yang kita butuhkan untuk menjadi filsuf yang baik adalah rasa ingin tahu..' 

Ira tidak pernah menganggap dirinya seorang filsuf, tapi rasa ingin tahu adalah hal yang ia miliki. 

Dulu ketika ia membaca novel itu timbul berbagai pertanyaan tentang Ontologi, bahkan menyangsikan eksitensinya, pertanyaan tersebut masih ia ingat.

'Apa tujuan eksistensi kita jika segala sesuatu telah di tentukan? Bahkan kita tidak bisa mengubah sesuatu yang disebut 'Takdir'.'

'Apakah kita adalah wayang dan Tuhan adalah dalangnya?'

Ketika itu setelah ia bergulat dalam akalnya ia pun tertidur, dan mendapati dirinya ketika bangun dapat melihat warna, ia mendapat mata takdir.

Ira tersenyum ketika mengingat hal itu, dan mulai berpikir hal baru yang menarik perhatiannya.

'Segala sesuatu yang terjadi, adalah sebab dari tindakan sebelumnya.' Ia kembali bergulat seperti saat itu, muncul pertanyaan di benaknya.

'Apa karena saat itu aku menyangsikan takdir, aku mendapat mata ini? Dari awal aku mendapat mata ini, aku tak pernah sekalipun mencoba mengubah takdir malahan aku mengikuti skenario takdir.'

Ia berpikir dan muncul sebuah ide, 'Akan ku coba untuk mengubah takdir Bu Lilis, Ia dibayangi oleh sinar hitam, mungkin jika aku membantunya, aku bisa menyalamatkanya.'

Waktu berlalu, dan bel terakhir telah berbunyi semua siswa dan para guru mulai bersiap pulang.

Ira melangkah cepat ke rumahnya, namun ketika ia mencapai perkarangan rumah, nampak banyak orang berlalu lalang mengunjungi rumah Bu Lilis.

'Apa yang terjadi?'

Ira hanya melihat sekilas lalu memutuskan untuk masuk ke Rumah, di dalam rumah. Ia mendapat tamu yang terduga dan tak terduga sekaligus.

Kakaknya pulang, namun ia tak sendiri. Ia ditemani pacarnya. 

Kakaknya melihat ke arah Ira ketika pintu dibuka, dan berkata, "Ira sini."

Ira berjalan ke arah suara, dengan rasa senang melupakan Bu Lilis. Ira melihat seorang laki-laki yang sedang duduk, Ia memiliki figur wajah yang mirip ayahnya, dan mata seperti dirinya dan ibunya, di sampingnya duduk seorang gadis yang sangat cantik, teramat sangat cantik. Keduanya memiliki cahaya putih yang bersinar dengan terang.

Gadis tersebut memiliki senyum di wajahnya, ia melihat ke arah Ira penasaran, di sisi lain Ira pun melihat dengan penasaran.

Melihat keduanya yang saling penasaran, Kakak Ira mulai memperkenalkan satu sama lain.

"Ira ini Putri, Putri ini Ira."

Ira mendekati Putri lalu menarik tangannya,

"Ka Putri, Ayo ke kamarku," ujar Ira.

Entah mengapa Ira langsung merasa akrab dengan Putri, Apa karena cahaya putih ataupun karena hal yang lain.

Putri yang ditarik Ira kaget, tapi ia mulai mengikuti Ira.

Ira dan Putri saling mengobrol keduanya, mengobrol lama, dan topiknya tidak jauh dari Kakak Ira yang sekaligus Kekasih Putri.

Setelah mengobrol lama Ira dapat mengetahui bahwa Putri adalah orang yang baik, dan benar-benar mencintai kakaknya.

--

Keesokan harinya, Ira mendapat kabar tak terduga.

Ketika Ira bangun, ia mendapati kakaknya dan pacarnya sedang berbelanja, dan ia mengetahui kabar dari Ibunya bahwa kakaknya akan kembali lagi ke luar negeri, karena Putri mendapat panggilan penting di tempat ia bekerja, Kakaknya bersikeras untuk ikut menemani Putri.

Meskipun hal tersebut di sesalkan, Ira berpikir tentang warna putih semalam yang mungkin hubunganya dengan ini. Ia mengangguk dan tak mempermasalahkanya.

Namun ketika keduanya kembali Ira mendapati dirinya terkejut, kakaknya dan putri kini di bayangi sinar hitam.

Ira mencoba mendapat informasi dari keduanya, dan keduanya berkata akan pulang nanti sore.

Ira mencoba membujuk keduanya untuk jangan pergi, namun keduanya menganggap perkataan Ira sebagai kekecewaan dari seorang adik.

Beberapa kali Ira membujuk kedua bersikukuh untuk pulang, Ira hanya mendesah, mencoba berpikir sepositif mungkin.

Waktu berlalu dan jam keberangkatan mulai mendekat, Ira dan sekeluarga mengantarkan keduanya ke bandara. 

Di Bandara, asumsi Ira mulai semakin kuat, Ira terhenyak melihat sebuah pesawat yang di bayangi warna hitam yang sangat kelam. 

Ira kemudian melihat ke arah kakaknya dan Putri yang sedang bersiap-siap, Ira kemudian lari memeluk kakaknya dan mengangis.

"Ku mohon, jangan pergi... Ku mohon..." ucap Ira terisak-isak, dan mendekap tubuh kakaknya.

Kakaknya, Putri dan Keluarganya kaget atas tingkah Ira, yang kekanakan. Tapi Putri yang melihat ini, menatap mata kekasihnya, dan berkata.

"Baiklah, kamu tidak usah mengantarkanku... Kamu tinggal disini saja dengan keluargamu. Aku akan baik-baik saja," ujar Putri.

Kakaknya mengigit bibir, dan mengangguk, Ia melihat ke arah Ira, "Aku gak akan jadi pergi. Tapi kamu kenapa jadi seperti ini?"

Ira yang mendengar tidak akan pergi mengangkat kepalanya, "Ka Putri?"

Putri mendekat ke arah Ira, "Maafkan aku Ira, aku ada urusan penting, aku janji deh nanti kesini lagi kita akan main bareng," ujar Putri.

Namun balasan Ira, menganggetkan Putri, "Tolong jangan pergi, jika kamu pergi kamu tidak akan punya kesempatan lagi."

Putri hanya terheran atas jawaban Ira namun hanya tersenyum dan melangkah ke tempat pemeriksaan.

Ira melihat ke arah Putri dan berkata pelan, "Aku minta maaf."

Ira melihat sosok Putri yang menjauh, dan melihat ke arah kakaknya, "Aku minta maaf ka. Aku tidak bisa mencegahnya." Setelah itu Ira yang kehabisan energi setelah dari tadi membujuk kakaknya, Ia pun tertidur.

Ketika ia bangun, ayam telah berkokok. Pandanganya melihat ke arah gorden, langit yang mulai terang. Suara TV terdengar ke kamar Ira, di balik suara TV ada suara tangisan di ruang keluarga.

"Kecelakaan terjadi pesawat dari Indonesia yang menuju... Telah hilang kontak, dan saat ini TIM SAR sedang melakukan pencarian."

Ira mendesah, dan berpikir sejak awal takdir tak akan bisa di ubah, meskipun Ia mencegah kakaknya tidak pergi, mungkin memang skenario takdir bahwa kakaknya selamat, dan warna hitam yang membayangi kakaknya adalah kenestapaan.