Semalaman tak bisa tertidur. Jiwaku seperti diselimuti tanpa impian, tanpa kenangan, dan tanpa rasa kantuk. Tubuhku sengaja membiarkan diri tenggelam dalam kehampaan.
Tak kuat menahan lelah, pagi itu tubuhku baru bisa mengistirahatkan diri.
Pukul 10 siang hari aku terbangun. Tetapi jiwaku masih terbungkus dalam selimut kehampaan.
Aneh, perutku tidak terasa lapar.
"Be, Zombe, nanti kalau kamu keluar, pintu rumahnya dikunci!" seru temanku pemilik rumah rumah kontrakan bersama. Aku dipanggilnya Zombe sebab setiap harinya ngegame zombie vs plants.
Aku tidak menyahut, tidak pula memberi reaksi sedikitpun.
"Hey, kamu ini kenapa? Aku berangkat kerja dulu. Nanti kalau kamu keluar, taruh kuncinya ditempat biasanya"
Ia mendekatiku beharap aku lekas meresponnya.
"Sip..Oke. oke," sahutku tergagap mencerna omongannya dengan loading lambat.
Kemudian temanku berlalu begitu saja sambil menggelengkan kepala tanda tak mengerti apa yang sedang aku alami.
Sementara ruhku kembali ke ke ruang kehampaan yang mengasikkan.
Sudah 2 jam-an waktu kuhabiskan berteman secangkir kopi dingin sisa semalam. Ruangan pengap kamar dipenuhi asap rokok yang keluar dari mulutku yang belum tercuci.
Puntung-puntung rokok yang bergerombol diasbak, menjadi (merasa) terhargai dihisap oleh mulutku yang bau bangkai.
Sampai terdengar suara adzan dhuhur, namun jiwa hampa yang mencekam tak jua berlalu.
Tak ada yang bisa dipikir dan diharapkan dari kehampaan. Detik demi detik, menit demi menit, waktu menggerakkan tubuhku sebatas berlalu tanpa jejak makna.
Untuk mengusir kehampaan jiwaku, laptop di meja ku aktifkan. Lalu aku mencari-cari sesuatu yang bisa menghiburku. Kepingin nulis tapi tak ada yang bisa ditulis.
Tiba-tiba, tubuhku mulai merasa jenuh mewadahi jiwa hampa berlarut-larut. Jemariku mengarahkan cursor, klik, Game! Klik, Plants Vs Zombie.
Yups, kini kutemukan tubuhku sedang memainkan game Zombie.
Hemm, jiwaku mulai tergelitik!
Dalam permainan game zombie ini tugasku adalah, membantai zombie sebanyak-banyaknya. Jika berhasil maka aku bisa main lagi kelevel yang lebih tinggi.
Tidak seperti biasanya. Walau sudah satu bulanan memainkan game zombie diriku sebatas membuang rongsokan waktu yang selalu minta dihargai. Tapi kali ini, aku memainkannya sambil menertawai diri sendiri.
Pada permainan kali ini, sepertinya, aku merasakan sedang menembaki dan memborbardir diri sendiri yang sudah berubah sosoknya menjadi Si Zombie dilayar Laptop!
Yah, aku telah berubah menjadi si Zombie setengah hidup, setengah mati. Terlihat hidup tapi mati. Dibilang mati tapi masih terus bergerak. Si Zombie (diriku) yang lurus berjalan bergerak kedepan.
Diriku yang hanya bergerak tanpa perasaan. Melangkah dengan kaku dan dingin. Memakan makanan yang ada dihadapan tanpa rasa kenyang.
Tak peduli ditembaki, dipalu, dibombardir, diriku yang zombie terus bergerak dan bergerak, memakan dan memakan sampai organ-organ tubuhnya lepas satu persatu.
Saat kepalanya terlepas dari badannya, barulah, Si Zombie di layar laptop itu berhenti bergerak.
Akan tetapi, ia tidak mati tidak pula hidup. Karena ia tidak mengenal kematian, tidak pula kehidupan.
Sang zombie hanya berganti menjadi si Zombie yang lain, serta, memunculkan zombie-zombie baru.
Dalam permainan zombie dengan level endless yang sekarang aku mainkan ini, semakin tinggi level yang kumainkan semakin sulit membasmi para zombie dengan raja -raja baru yang bertambah banyak pula. Sedang persenjataan dan stamina yang ku dapat semakin terbatas.
Walhasil, mustahil aku sebagai gamer mengalahkan zombie zombie itu dan memenangkannya dalam permainan tanpa akhir.
Namun, aku bisa tertawa-tawa sendiri menyaksikan di layar laptop itu satu persatu mulai dari tangan, kaki, dam kepala zombie zombie tercerai berai ditanah.
********************
(*Kegilisahan adalah momentum makna yang menyemburkan energinya.)
********************
Suara adzan ashar terekam jelas ditelinga mengusik kezombeanku. Tanpa terasa sudah tiga jam-an lebih aku menghabiskan diri bermain game zombie.
Aku tercenung.
Samar-samar waktu lampau menghadirkan jejaknya kembali.
Kenangan demi kenangan empat bulanan sejak aku keluar dari pesantren kecil itu berkelebat, dan bermetamorfosa menjadi kunang-kunang makna menyilaukan kegelisahanku
*****************
"Masa depan dan masa lalu mencoret-coret hati masa kini. Asa yang hilang dari jiwa meresap dalam butir-butir kekecewaan. Dan aku masih sendirian tersalib dalam kecewa mengendap. Diselanya, terbayang wajah ibuku teramat ceria kala menatap kerapuhanku . Sementara kekasih impian tak jua datang menjilati kepedihanku.."
****************
Senja merangkak petang. Suara adzan magrib menggemakan kesadaranku. Adalah tugas kesadaranku menggugat setiap kebekuan hati dan pikiranku.
Yiiihaaa! (Mirip teriakan khas salah satu Zombie).
Aku pun melonjak dari kegelisahan yang terasa semakin berbaris baris.
"Wah,...Kamu kok berantakan begini? Apakah kamu gak keluar rumah seharian, berarti, belum mandi sama sekali, ya?", tanya temanku yang baru pulang dari kerjanya.
"He he..iya. Sekarang malam apa, kek?" Aku terbiasa memanggil temanku itu dengan panggilan 'Kek' , kependekan dari kata Tekek.
"Malam jum`at, memangnya kenapa?"
"Ya ampun. Aku harus cepat mandi dulu. Harus sampai pesantren itu sebelum jam delapan-an. Mau ngikuti pengajiannya kitab al-hikam. Mana perutku terasa ngeroncong, lagi! Kamu mau ikut, nggak?"
"Dimana itu?"
"Di Ponpes "Tanpa Papan Nama'"
Selesai mandi aku bergegas menyiapkan sarung dan songkok. Selekasnya ku masukkan kedalam tas lusuhku.
Jarak pondok pesantren kecil di tempat terpencil itu, dari tempat kontrakanku kurang lebih 10 Km-an.
Dengan bersepeda ontel pinjaman dari teman aku bergegas meluncur ketujuan.
"Yiihaa!" teriak riang si Zombie sambil melompat menggema dalam batin.
Saat mengayuh sepeda, kesadaranku bergumam, "sekarang aku adalah si Zombie yang berkesadaran! Sadar perutku sedang lapar. Sadar uang disaku tinggal 10 ribuan. Sadar, dengan uang pas-pasan perutku kudu kenyang sampai besok siang. Sadar dengan uang sebesar 10 ribuan takkan mungkin menjangkau harga makanan yang terus melonjak terbang."
*********************
Di pesantren kecil itu, saat obrolanku dengan Sang Mursyidku beranjak selesai, entah kenapa, saat terdengar suara adzannya salah seorang anak santri yang tidak menggunakan corong speaker itu begitu meresap dan menggetarkan hatiku.
Irama adzan yang dikumandangkannya pun datar-datar saja. Sangat polos dan tulus.
Tidak seperti para muadzin umumnya yang selalu mengiramakan dengan seni tarik suara berkelok-kelok berintonasi dari mendatar, meninggi, lalu terjun merendah dan meliuk-liuk. Terkadang ada pula yang disertai dengan jeritan melengking.
Biasanya setiap kali mendengar suara adzan disekitar kampung halamanku, hatiku langsung mengacuh.
Waktu itu aku meracau, "mengingatkan orang agar sholat jamaah kok gak ada capeknya, sih? Menyeru berteriak dengan pengeras suara, lagi! Toh yang datang bisa dihitung dengan jari. Dan orangnya itu itu juga. Sebenarnya yang bebal si penyeru atau yang diseru? Bebal kok dipelihara menjadi tradisi agama!"
Irama suara adzan santri di pesantren kecil itu, yang kudengarkan kala itu sedang-sedang saja. Mulai dari start adzan sampai akhir tetap datar-datar tanpa meliuk meninggi- merendah. Akan tetapi justru suara adzan tanpa pengeras suara dan tanpa seni mengirama seperti itulah yang membuat aku kesengsem dan tergerak mengambil wudhu` dan sholat magrib bersama para santri lainnya.
Saat mendengar adzan santri itu, sepertinya tangan, kaki, dan kepala kezombieanku telah tercopot satu persatu dari badan.
Lahaula walaa quwwata ila billahil aliyyil a`dhim.
Akupun tersenyum sendiri menyaksikan remuk redamnya tangan-tangan nafsuku, kaki-kaki kekejamanku, kepala-kepala kesesatanku yang telah bercerai berai dari egoismenya..
"Argghhhhhh!! Argghhhhhh!!", teriakan terakhir sang raja zombie meregangkan nyawa melepas dari hasrat angkara murkanya.
Tamat.