Teeeeeet...! Bel sekolah berbunyi menandakan kegiatan belajar dan mengajar di waktu itu telah selesai. Buku-buku di rapikan dan satu persatu di masukan ke dalam tas sekolah.
"Kenapa Dit dari tadi maneh cicing wae?" Tanya Desli dengan memicingkan matanya, Desli adalah teman sebangku Dito, si Ketua murid sialan.
"Teu nanaon, Ini mah gara-gara sakit perut, bieu sarapan nasi kuning nu pedes teing". Jawab Dito penuh bualan.
"Jugan teh gara-gara uang kas, hahahahaha". Balas Desli dengan wajah mengejek. Terkadang kita memang saling mengejek kalo ada suatu hal yang patut di ejek. Semakin kita akrab dengan teman kita, semakin brengsek juga sikap si teman itu. Begitu lah pertemanan di antara anak laki-laki.
"Sori! si gua mah kaga seperti elu hahaha, okelah pulang duluan nya". Balas Dito sambil pergi membawa tas dan meninggalkan teman sebangkunya.
Dalam langkah yang lunglai, Dito keluar meninggalkan kelas yang berisik, dengan penuh penyesalan. Dito merasa sangat bersalah dengan apa yang telah di lakukannya. "Semua di awali cendol, kalo tidak ada tukang cendol yang berdiri tepat di waktu dan tempat yang tepat, aku tidak akan terkena masalah seperti ini". Gumam Dito dengan mulut bersungut-sungut.
Jarak sekolah ke rumah Dito memang tidak jauh sekitar dua kilo meter. Setiap pergi atau pulang sekolah Dito selalu berjalan kaki. Perjalanan pulang saat itu terasa berbeda di banding biasanya. Pikiran Dito bingung harus bagaimana. Uang kas sebesar tujuh puluh ribu telah habis di pake foya-foya. Dito berjalan melewati pohon cengkeh yang selalu ada penunggunya, yaitu si tukang cendol. "Jang bade cendol na?". Si Mang cendol menawarkan daganganny kepada Dito.
"Moal Mang ah teu aya duit na". Sahut Dito dengan muka masam.
Sesampainya dirumah Dito termenung dan memikirkan sebaiknya harus melakukan apa. Apakah harus bilang sama Mamah atau biarkan saja tanpa Mamah tau masalah yang terjadi. Kamar Dito berukuran tiga meter kali tiga meter di penuhin poster band musik dan pemain sepak bola. Selayaknya kamar anak SMP yang berantakan bagai kapal hampir pecah. Dito terlentang di kasur nya membayangkan apa yang akan terjadi seandainya uang kas yang tujuh puluh ribu tidak ada. "Dito ganti baju terus makan heula!". Terdengar suara Mamah memanggil dari arah dapur. Setelah makan siang Dito akhirnya berbicara dan menjelaskan masalah yang di hadapi nya. "Mah sebenar nya Dito Bla bla bla bla...". Dito menjelaskan duduk perkara nya dengan penuh penyesalan. Dengan muka memerah mamah Dito marah besar dengan suara keras mamah berkata "Mamah selalu wak wek wok wak wek wok wak wek wok" ( Maaf saya skip adegan dan percakapan ini di karenakan sulitnya menjabarkan ekspresi seorang Ibu yang sedang memarahi anaknya ). "Pokonya, Mamah teu hayang nyaho, eta duit kudu di gantian ku maneh sorangan! Mamah moal ngagantian teu boga duit" Kata Mamah Dito menegaskan.
Dito pun hanya terdiam tidak membalas perkataan Mamah nya, hanya menerima kesalahan yang sudah di buatnya. Dito bersiap tanggung jawab dan menerima hukumannya. "Bejakeun siah ka Bapak maneh ke mun geus pulang" Tambah Mamah Dito dengan kesalnya.
Waktu berjalan begitu lambat, jarum panjang jam dengan kondisi menanjak berusaha menggapai angka dua belas yang menunjukan jam lima sore, waktu Bapak Zae pulang kerja dari kantornya. Dito hanya bisa menunggu dengan pikiran yang galaw, kemungkinan Dito bakal kena amarah lagi di waktu maghrib nanti. Jari-jari Dito memetik gitar berwarna coklat usang dengan nada yang tidak beraturan. Dito berusaha membuat hati dan pikiran nya tenang dengan bermain gitar. "Aku mungkin bukan pujangga
aku mungkin tak selalu ada
ini diriku apa adanya" sepenggal lirik yang di nyanyikan Dito. Lagu lawas yang tak habis di makan waktu.
Biasanya Dito di sore hari selalu kumpul atau bermain dengan teman-temannya, entah itu bermain bola atau hanya nongkrong sambil bergitar di pinggir jalan. Tapi hari ini Dito tidak berhasrat untuk membebaskan dirinya, menurutnya lebih baik diam di rumah dari pada berkeliaran dengan masalah yang sedang mengintainya.
Suara pagar rumah Dito terdengar sampai kamar Dito, Dito tau itu pasti Bapak nya yang baru pulang kerja. Setengah jam kemudian Bapak Dito memanggil anaknya yang laki-laki itu. "Ditooooo.....! Kadieu sakeudeung".
Dengan kaki gemetaran Dito beranjak dari kasur dan menyimpan gitar usangnya. Harapan Dito, Power Ranger mau membantu dalam mengalahkan Raja terakhir, Dito merasa Power Ranger ikut bersalah karena tidak menjaga uang kas dengan penuh amanah.
"Tadi Mamah nyarita ka Bapak, ni uang seratus ribu gantian duit kas terus sesana sumbangkeun ka babaturan kamu nu keur sakit" Tanpa memberikan alasan sedikitpun Bapak Zae memberikan uang pengganti sebesar seratus ribu sama Dito. Dengan cepat Dito salim sama Mamah dan Bapaknya sebagai bentuk rasa terima kasih serta permohonan maaf. Dari kejadian itu Dito berjanji sama diri sendiri untuk tidak mengulang hal bodoh seperti itu lagi, Dito ingin menjadi laki-laki yang bertanggung jawab.
Beberapa bulan setelah tragedi cendol, kita semua naik ke kelas tiga. Sayangnya ( sebenarnya biasa saja) Desli teman sebangku Dito tidak sekelas lagi. Kita berpisah di kelas tiga karena sistem rotasi murid. Beruntung nya saya sekelas dengan teman-teman yang lebih baik, bahkan amat sangat baik. Rambutnya yang panjang hitam bagai bintang iklan yang selalu bilang "ini cuma pakai shampoo", matanya sebening embun di pagi hari, kulitnya bersih menandakan perempuan parahiyangan yang terkenal cantik imut. Perempuan itu meluluhlantahkan hati Dito, dia berjalan dengan anggun melintas ke pinggir meja Dito, wangi parfum dia menusuk langsung ke pusat hati Dito. "Apakah seperti ini rasanya jatuh cinta, kenapa sungguh menyenangkan dan nyaman" Membuat pikiran Dito melayang tidak karuan.