Di atas bebatuan yang terhampar di pinggiran pantai terlihat Qisa yang tengah menggeliat. Matanya mengerjap pelan, mengamati sekitar. Setelah nyawanya terkumpul ia baru ingat jika setelah renang ia berencana berjemur tapi malah kebablasan tidur hingga hari merambat sore. Ia mulai mengemas barangnya dan naik kembali ke gazebo. Setelah mengganti pakaian ia mengambil snack yang dibawanya. Seharian berenang membuat perut kecilnya meronta diisi tapi sayangnya ia tidak membawa makanan berat sama sekali. Ia akan bertahan hingga senja kembali ke peraduannya karena ia benar – benar rindu suasana yang ada disini.
Angin sore menerpa badan Qisa. Rasa dinginnya mulai merayap ke permukaan kulitnya yang putih halus, membuatnya sedikit menggigil.
"Ya ampun, jaketnya kelupaan!" ucap Qisa saat tak mendapati yang dicari di tasnya.
Ia menghela napas panjang kemudian melanjutkan acara nyemilnya. Menanti senja yang ia rindukan. Namun tak lama ia terlonjak kaget saat mendapati sebuah kemeja flannel mendadak menyampir di bahunya. Seketika ia menoleh ke belakang.
"Lo…" Qisa siap menyemburkan semua makiannya namun lidahnya mendadak kelu saat melihat siapa yang tengah di hadapannya. Matanya membulat sempurna.
Laki – laki itu melepas kacamatanya. Pandangannya tajam lurus ke mata Qisa. Tangannya dimasukkan ke dalam saku celana pendeknya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya pun tak ada senyum yang bertengger di bibir seksinya.
"Ehm…" Qisa berusaha menemukan kembali suaranya setelah lama hening.
"Ngapain lo kesini?" ucapnya datar, ia mengalihkan pandangannya ke pantai lepas yang mulai dipenuhi semburat jingga. Ia tengah mengumpulkan segenap tenaganya untuk segera pergi, namun kakinya seakan terpaku.
Hening lagi.
Qisa menoleh kembali saat tak mendapat jawaban. Laki – laki itu masih menatapnya bahkan lebih tajam. Aura mengintimidasinya membuat Qisa memundurkan sedikit badannya, namun lengan kokoh itu menahan pinggangnya sehingga membuat badan mereka tak berjarak. Qisa tersentak.
"Lo?" Qisa menatapnya tajam.
"Leps . . ." belum selesai Qisa berucap, bibir mungilnya lebih dulu dibungkam oleh bibir tipis laki – laki dihadapannya. Qisa berusaha mengucapkan sesuatu namun hal itu malah dimanfaatkan si laki – laki untuk meneroboskan lidahnya masuk ke dalam mulutnya, mengabsen satu persatu gigi – giginya yang rapi, dan melumat bibir atas bawahnya secara bergantian. Qisa kewalahan. Semakin lama ciuman itu semakin lembut dan menuntut. Qisa hampir terlena jika tidak ingat siapa laki – laki ini. Ia menggeliat namun pelukan dipinggangnya semakin erat.
"Auh" rintih lelaki itu, ciumannya lepas, darah segar menetes di bibirnya akibat gigitan keras Qisa. Ia mengusapnya dengan jempol kirinya namun tangan kanannya tak membiarkan Qisa bebas begitu saja.
PLAKK
Lelaki itu mendongakkan kepala, memegang pipi kirinya yang terasa panas akibat tamparan Qisa. Tatapannya nyalang. Dilihatnya mata Qisa yang penuh dengan amarah dan terluka.
"Lepasin gue, Fa" ucap Qisa rendah, membuat lelaki itu melepaskan pelukannya.
Buru – buru Qisa mengambil barangnya kemudian sesegera mungkin pergi. Namun belum genap dua langkah ia berhenti.
"Dan jangan pernah temui gue lagi" ucapnya tanpa menoleh ke belakang setelah itu ia benar – benar pergi meninggalkan laki – laki yang masih tak melepaskan pandangannya dari Qisa.
Ya, laki – laki itu adalah Fafa, seseorang dari masa lalunya dan beberapa saat lalu dinanti kehadirannya. Namun justru kini kehadirannya membuatnya sangat sesak.
***
Jika beberapa hari lalu gadis cantik yang tengah uring – uringan ini pikir pergi ke pulau adalah hal yang sangat sangat menyenangkan sekaligus menyegarkan, maka hari ini ia harus menelan pil pahit yang berupa kenyataan.
Ia kabur karena perjodohan yang direncanakan orangtuanya namun disini ia malah harus bertemu kembali dengan cowok brengsek yang tidak ingin ia ingat – ingat lagi.
Sedari awal kedatangannya ia sudah merasa ada yang aneh dengan beberapa orang yang ditemuinya namun ia tak menyangka jika salah satunya adalah Fafa, cowok paling cool dan keren di sekolah dulu, cowok yang suka tawuran tapi gak suka main kasar sama ceweknya, cowok paling nyebelin tapi baik, cowok yang paling Qisa cintai namun akhirnya memilih pergi tanpa sepatah kata.
"Sial!, sial!, sial!"
"Arrrrrghhh"
"Brengsek!"
Hanya kata – kata itulah yang keluar dari mulut mungil Qisa sesampainya di kamar inapnya. Ia memang gadis ramah dan supel tapi diapun juga bisa jadi gadis bar – bar yang tak segan mengumpat jika ada sesuatu yang menyebalkan terjadi seperti ini apalagi setelah beberapa kejadian menyakitkan yang ia alami.
"Kenapa dari semua orang, harus lo yang datang?" batinnya.
Qisa akui, ia masih berharap Fafa akan datang walaupun ia sudah berusaha keras untuk melupakannya. Tak dipungkiri jika ia masih menyimpan segudang pertanyaan yang ingin ia ajukan padanya kenapa laki – laki itu meninggalkannya. Ia tak bisa membohongi diri jika sekarang laki – laki itu terlihat lebih dewasa, tentu saja lebih tampan biarpun wajahnya masih tetep datar dan sikapnya yang dingin. Namun semua menguap begitu saja. Melihat Fafa yang baik – baik saja dan bahkan kembali mencuri ciumannya tanpa merasa berdosa membuatnya begitu muak. Hatinya tak terima melihat kenyataan itu. Kenyataan jika ia tak bisa menolak semua pesonanya.
"Apa cuma gue yang tersiksa selama ini? Apa Cuma gue yang bodoh begitu ngarepin lo peduli sama gue? Kenapa selama ini bayangan lo gak mau pergi kalo lo tetep bikin gue terluka sampai akhir? Apa salah gue ke lo, Fa?"
Air matanya luruh. Ia tak lagi kuasa menahan segala sesak yang dibendungnya sejak masih di gazebo. Lagi, ia menangis untuk laki – laki yang pernah menyakitinya.
***
Di gazebo, Fafa masih tak bergerak dari tempat ia berdiri. Ia mencoba berpikir keras bagaimana cara mendapatkan Qisa lagi. Ia sadar, Qisa bukan lagi gadisnya yang manis dan penurut. Jika dulu ia bisa memaksakan segala kehendaknya, ia yakin jika ia berlaku demikian Qisa akan malah menjauh darinya. Ia tak ingin itu. Mata hitamnya nyalang, menyorot kegelapan. Dengan pasti ia meninggalkan gazebo, melangkahkan kakinya ke tempat pemegang kendali hatinya berada.
***