Pedang Tanpa Tanding menggeram murka. Baju kebesarannya compang-camping, ikat kepala hilang entah kemana, bahkan tubuhnya setelah puluhan tahun silam, baru kini menerima luka berikutnya dari sebuah pertempuran.
Meski hanya luka kecil, tapi sudah cukup untuk mengoyak kebanggaan dan harga dirinya.
"Pedang Pemutus Rantai Singa tahap akhir! Tameng
Gunung Baja tahap akhir!" Bentaknya menggelegar.
Cahaya merah bagai guratan petir keluar dari pedang, lalu bagai cendawan, mengembang, menutupi tubuh Pedang Tanpa Tanding serta singa raksasa.
Singa mengaum dahsyat, sekujur tubuhnya menerbitkan api. Lalu, bersama tuannya mereka melesat menuju sang naga yang tengah membuat pusaran badai puting beliung. Belum lagi serangan sampai, pusaran badai menghanyutkan tubuh mereka, sementara dari ketinggian, sang naga menghempaskan kepalanya dalam gerakan cepat mematikan.
Benturan dahsyat kembali terjadi, singa dan Pedang Tanpa Tanding terpental jauh. Darah telah meleleh dari bibir lelaki perkasa itu. Hampir ia frustasi. Tapi, di sebelah sana, Punian Abang akhirnya sampai pada batas kekuatannya. Bagaimanapun juga Kakek renta itu telah mengeluarkan tenaga dalam yang sangat banyak dalam mengendalikan jurus pamungkasnya.
Fisiknya tidak sekuat dulu lagi. Pengerahan jurus ini telah membangkitkan luka lama yang tersembunyi dalam tubuhnya. Ia terbatuk dan melontarkan darah segar.
Bersama dengan tubuhnya yang tumbang, sang naga raksasa beserta segala kedahsyatannya pun meredup, hilang, berubah jadi seberkas cahaya yang masuk ke badan pedang.
"Eh?" Pedang Tanpa Tanding terhenyak. Untuk sesaat ia tertegun. Tapi, begitu mengetahui kebenarannya, wajah yang sempat putus asa itu sontak bercahaya. Ia telah ditarik dari pinggir jurang kematian. Bahkan kemenangan yang mustahil kini berada dalam genggamannya, membuat ia tertawa menggelegar penuh suka cita.
"Cahaya Tiga Penjuru, sosok legenda sepertimu ternyata tidak mampu melawan takdir. Kau sudah terlalu tua!" Teriaknya bagai orang gila.
Inilah kesempatannya, ia akan mengukir sejarah sebagai orang pertama yang bisa mengalahkan Punian Abang.
Aura kemenangan membuncah di dada saat tubuhnya menerjang cepat sambil mengibaskan pedang menuju leher Punian Abang yang pingsan.
Matanya berbinar, senyum tersungging di bibir. Hanya perlu satu sabetan maka kepala itu akan menggelinding. Jagoan puncak satu buah pulau meregang nyawa di tangannya, sungguh prestasi ini dalam puluhan tahun lamanya belum tentu bisa ditemukan sekali.
Angin kencang pedang menghempas tubuh Punian Abang. Ledakan kekuatan hanya berjarak sejari saja lagi dari lehernya, tidak butuh hitungan detik darah merah yang panas pasti akan tersembur menuju ke angkasa, luruh ke tanah, memerahkan bumi, lalu jadi prasasti sejarah kemenangan yang tak terbantahkan.
Tapi sebelum kematian mencengkeramkan kukunya, mendadak terdengar desahan pelan memenuhi langit. "Kau ingin membunuh satu sosok legenda, Tanpa Tanding? Beranikah kau melakukannya?"
Selembut desahan angin. Tapi, dalam pendengaran Pedang Tanpa Tanding laksana ledakan Guntur bersahutan.
Ia terpekik kaget. Seluruh ototnya membeku, kemudian bagai terjun dari balik awan, sesosok tubuh turun dari langit. Sekali ia gerakkan tangan, tengkuk Pedang Tanpa Tanding kena dicengkeram, lalu ia lemparkan ke pinggir.
Gemparlah Jagoan Jubah Merah. Kekuatan apa itu, sampai-sampai guru mereka yang begitu dikeramatkan pun bisa tidak berdaya hanya dalam satu gerakan saja. Padahal Pedang Tanpa Tanding saat itu tengah berada dipuncak pengerahan kesaktiannya. Jangankan menyentuh tubuh, sejarak lima belas langkah sekalipun seekor gajah bisa terpental terkena angin pergerakan tubuh guru mereka.
Pedang Tanpa Tanding tertatih bangkit, menyeka darah dan berdiri dengan gemetar. Sungguh ia sangat gentar. Pencapaiannya saat ini sudah jauh melampaui jagoan-jagoan lainnya dalam dunia kesaktian, kehebatannya pun telah membawa dirinya sejajar dengan tokoh legenda yang bisa dihitung dengan jari, tapi sang pendatang hanya perlu melakukan gerakan remeh dan semua keperkasaannya lumpuh dalam sekejap, siapa yang tidak ngeri.
Sosok yang baru datang itu memeriksa tubuh Punian Abang. Sebentuk cahaya samar menyelubungi tangannya saat ia mengalirkan energi melalui dada Punian Abang. Pakaian lorengnya berkibaran, sosok tinggi kurusnya sanggup memberi tekanan pada udara sejauh lima kilometer.
Pedang Tanpa Tanding beserta pengikutnya tidak memiliki niatan untuk menyerang, karena mereka yakin gerakan jemari sosok misterius itu mampu melemparkan diri mereka ke neraka.
Dengan tatapan tajam, sang Pedang Tanpa Tanding yang telah dua kali bertemu tandingan ini, memperhatikan cara pengobatan orang. Hatinya dingin. Hanya butuh beberapa helaan napas dan orang itu telah mampu menyembuhkan Punian Abang. Pedang Tanpa Tanding orang sakti pilihan, matanya mampu melihat perubahan keadaan tubuh seseorang dengan hanya menggunakan mata telanjang dan ia mendapati kemampuan mengolah energi sakti menjadi energi penyembuhan orang itu bahkan puluhan kali jauh lebih baik dari mendiang gurunya sendiri.
Tubuh Punian Abang bergetar. Keringat dingin memercik. Guratan-guratan dalam, memanjang di jidatnya.
"Huah!" Ia tersadar lalu melontarkan darah beku kehitaman beberapa kali.
Matanya nyalang, dengan cepat perasaan sakit sirna dan bahkan kini ia mendapatkan kesegaran puluhan tahun lalu yang telah lama hilang.
Ia menatap sosok penolong dirinya, ia tersentak. "Tuan Sle Lintang Sembilan!" Pekiknya gempar. Kegemparan itu menular. Pedang Tanpa Tanding dan pengikutnya hampir terduduk saking gentarnya. Nama yang diteriakkan Punian Abang terlalu besar. Kehadirannya tak terlintas di angan dan impian. Ia bagai sosok dewa yang bertahta di negeri yang jauh. Karena Sle Lintang Sembilan adalah sebuah gelar yang di miliki oleh satu dari tujuh manusia harimau alam Kerinci. Sosok ini hidup di dunia halimun, menjadi raja di lereng-lereng perbukitan, mengepalai puluhan ribu rakyat dan tertabir negerinya dari pandangan mata telanjang.
Punian Abang segera berlutut dan menangkupkan tangan ke arah sosok Sle Lintang Sembilan.
Melihat hal itu, tanpa menunggu kepala sendiri menggelinding ke tanah, buru-buru Pedang Tanpa Tanding dan pengikutnya menghempaskan lutut serta menyembah salah satu dari tujuh raja harimau itu.
Keringat dingin mengucur deras, bahkan Pedang Tanpa Tanding mengumpat dalam hati, apa perlunya seorang tokoh puncak seperti Punian Abang memiliki tulang punggung seperti Sle Lintang Sembilan. Hal ini jangankan untuk disaksikan bahkan untuk sekedar dipikirkan saja sudah terlalu menakutkan.
Sle Lintang Sembilan menggerakkan tangannya, "Berdiri kalian semua. Kalian bukan rakyatku, aku tidak berhak menerima penghormatan ini."
Sebentuk tenaga dahsyat tak terlawa langsung menarik seluruh orang dari posisi berlutut mereka.
Pedang Tanpa Tanding menghela napas, kesaktian yang ia agungkan ternyata hanya bagai semut di hadapan tokoh harimau itu.
"Punian Abang, kau ingat perjanjian kita tiga tahun silam?" Tanya Sle Lintang Sembilan.
Punian Abang menelan ludah. Ia baru saja mendapatkan kesadarannya kembali dan ucapan pertama Sle Lintang Sembilan langsung ke pokok persoalan. Sungguh tipikal tokoh yang tidak memiliki basa-basi.
"Ingat tuan."
"Tiga bulan lagi batas perjanjian itu dan kau malah memilih mati hari ini, apa kau hendak mengingkari aku, Punian?"
Jantung Punian Abang bagai berhenti berdetak. Antara tatapan dan mulut Sle Lintang Sembilan sama tajamnya.
"Maafkan saya tuan, tidak sedikit pun saya bermaksud mengingkari janji, bahkan tindakan saya hari ini hanyalah bertujuan mengamankan kota dari cengkeraman orang luar."
Pedang Tanpa Tanding terbeliak. Kata-kata Punian Abang seakan menarik maut yang jauh untuk bertengger di atas ubun-ubunnya, dan nyawanya bagai terbang saat Sle Lintang Sembilan menatap dirinya.
"Kau hampir melakukan tindakan yang bisa menumpas dirimu dan seluruh keturunanmu," desis Sle Lintang Sembilan menggiriskan.
Wajah dingin berwibawa Pedang Tanpa Tanding selama ini segera berganti menjadi ekspresi orang menangis.
"Salah satu pintu masuk kerajaanku tepat berada di atas kota ini, Punian Abang selalu dalam pengawasanku, apa kau ingin mati dengan jasad jadi debu, sehingga berani mengusik orang yang kujaga."
Tergagap Pedang Tanpa Tanding menjawab, "Saya tidak tahu kalau tuan Punian Abang dalam perlindungan yang mulia raja, bahkan saya tidak menyangka sosok legenda seperti beliau menyamar jadi orang biasa dan tinggal di kota ini, andai saya tahu, jangankan menyinggung dirinya, di mana saya mendengar walau hanya namanya saja sekalipun, maka di situ juga saya akan menghindar."
Baru kali ini Pedang Tanpa Tanding membutuhkan energi yang sangat besar hanya demi menyelesaikan sebuah kalimat. Kadar lelahnya melebihi dari lelah pertarungannya tadi.
"Masih ingin menguasai kota ini?"
Hi! Hati Pedang Tanpa Tanding mengeriput sebesar biji duku. Cepat ia menggeleng.
"Kuizinkan kau menguasai kota ini!"
"Tuan!" Punian Abang terkejut.
Pedang Tanpa Tanding terpana.
"Kuasailah dari mulai detik ini sampai matahari terbit besok hari. Selewat itu kau tahu harus kemana, kan?"
"Tahu, yang mulia raja."
"Kemana?"
"Meninggalkan kota ini."
"Salah!"
"Sa, salah?"
"Siapa suruh kau meninggalkan kota. Aku menyuruh kau meninggal dunia!"
Maut terkekeh-kekeh di depan Pedang Tanpa Tanding. Langit seakan turun, bumi terlipat-lipat dan dirinya terjepit sesak napas di tengah-tengah, 'Sial!' Umpatnya dalam hati.