MI.11 KEMBALI KE SINGAPORE
ALBERT MA
Semenjak kepergian Allura Gibson, aku selalu menyempatkan diri untuk pergi ke pulau pribadiku setiap akhir pekan. Selain untuk melepas rindu kepadanya yang hingga kini tidak tahu dimana, aku juga membawa Adrian Ma bersamaku untuk menikmati keindahan pantai di pulau pribadi kami. Terasa jauh berbeda dari yang biasanya, karena akhir-akhir ini aku hanya bersama Adrian Ma menikmati waktu luang. Namun tidak ada yang bisa aku lakukan selain membawanya ke pantai pribadi yang begitu tenang. Karena dengan pergi ke pantai, aku bisa menenangkan diri sembari mengingat berbagai moment bersama Allura Gibson yang sangat melekat dalam ingatanku.
Sebenarnya hingga kini trauma yang dialami Adrian Ma tak kunjung hilang. Meski ia telah melakukan beberapa therapy dengan beberapa ahli, saat tidur ia masih sering mengigau seolah sedang tenggelam. Aku selalu merasa sedih dan bersalah setiap melihat pemandangan yang tidak menyenangkan itu. Namun aku juga merasa lega melihatnya dapat melewati hari-hari dengan baik. Ia tidak pernah terlihat takut pada pantai atau air laut meski memiliki pengalaman buruk. Sehingga aku tidak merasa kesulitan saat membawanya kemari untuk menenangkan diri setelah sibuk beraktivitas setiap harinya. Adrian Ma memang berubah menjadi pribadi yang pendiam dan sedikit murung setelah kepergian Allura Gibson. Tapi ia bukanlah seorang anak yang penakut serta dapat diandalkan. Dan aku yakin dengan berjalannya waktu semua akan akan baik-baik saja.
Saat Allura Gibson masih ada di sisiku, aku akan pergi ke pulau ini bersamanya dan Adrian Ma. Kami bertiga akan melewati hari yang menyenangkan, seperti berpiknik dan bermain pasir bersama. Namun beberapa minggu terakhir ini hanya ada aku, Adrian Ma dan juga beberapa orang babysitter. Serta Violetta Winston yang datang tanpa diminta. Aku tidak tahu pasti kenapa ia sering menemuiku dan Adrian Ma akhir-akhir ini. Namun rasa berhutang budi terhadapnya yang telah menyelamatkan Adrian Ma, membuatku sulit untuk menolak kedatangannya. Meski aku tahu, Allura Gibson tidak akan pernah menyukai kehadirannya di antara kami.
"Albert, apa yang sedang kamu lamunkan?" tiba-tiba aku mendengar suara yang familiar dari arah belakang.
Aku yang sedang duduk santai di pinggir pantai, dengan spontan menoleh ke arah dari mana suara itu berasal. Terlihat Violetta Winston yang baru saja datang berjalan menghampiriku. Dengan perasaan sedikit kaget aku bertanya, "Kenapa kamu bisa ada di sini, Violet? Sejak kapan kamu datang?"
"Aku baru saja datang. Kenapa? Apa kamu tidak senang dengan kehadiranku?"
"Bu-bukan begitu. Aku hanya kaget karena kamu datang begitu tiba-tiba. Bagaimana kamu bisa tahu aku ada di sini?"
"Aku hanya mengikuti kata hati dan pikiranku. Karena hati dan pikiranku mengatakan bahwa kamu akan pergi kemari untuk menghabiskan akhir pekan, jadi aku datang kemari menyusulmu."
Aku merasa kurang senang dengan jawaban yang diberikan oleh Violetta Winston padaku. Meski ia telah membantuku menemukan Adrian Ma, bukan berarti aku telah melupakan hal buruk yang telah ia perbuat dulu kepada Allura Gibson. Dengan nada datar aku kembali bertanya, "Untuk apa kamu menyusulku?"
"A-aku... Aku kemari untuk melihat Adrian. Aku mengkhawatirkannya. Jadi aku berinisiatif datang kemari untuk melihat keadaannya."
Aku hanya diam tanpa menanggapi ucapan Violetta Winston yang gugup. Tanpa mempedulikannya lagi, aku kembali menyandarkan tubuhku di kursi santai menghadap ke lautan yang siang ini terlihat berkilauan. Sedangkan Violetta Winston melangkah ke depan mendekati pasir pantai yang tidak terlalu jauh dari posisiku bersantai. Ia merentangkan tangannya seolah sedang menikmati hembusan angin pantai yang lembut sembari berkata, "Tempat ini benar-benar sangat indah."
Aku masih diam tanpa menanggapi ucapan Violetta Winston yang terlihat begitu senang. Kemudian ia menoleh ke arahku yang tidak mempedulikan keberadaannya dan kembali berkata, "Albert, bukankah villa itu sudah selesai? Kenapa kamu tidak pindah kemari."
"Allura belum ditemukan hingga kini. Bagaimana bisa aku pindah kemari tanpanya?"
"Apakah villa ini kamu bangun untuk tinggal bersamanya?"
"Ya. Aku membangunnya untuk Allura. Jadi aku akan pindah kemari bersamanya."
"Sangat disayangkan, hingga kini Allura juga belum ditemukan. Tapi villa di pulau pribadimu ini sangat indah. Kamu bisa menyewakannya terlebih dahulu sebelum pindah kemari. Jika Allura telah ditemukan, kalian bisa hidup bahagia bersama di tempat ini."
Aku menarik nafas dalam saat Violetta Winston mengingatkanku pada beberapa keinginan Allura Gibson. Dengan suara rendah aku berkata, "Tidak. Aku tidak akan menyewakannya."
"Kenapa? Ini peluang yang sangat bagus, Albert."
"Aku tahu. Tapi aku tidak akan menyewakannya."
"Jika kamu tidak ingin menyewakannya untuk ditinggali orang lain, dengan halaman luas dan pemandangan laut yang indah ini, kamu bisa menyewakannya menjadi tempat ini sebagai venue pernikahan atau pesta lainnya."
"Tidak akan ada pesta di pulau ini. Selain pesta pernikahanku dengan Allura yang akan diselenggarakan setelah ia pulang."
Violetta Winston terdiam beberapa saat sambil menatapku yang masih duduk di kursi santai. Dengan mata berkaca-kaca ia bertanya, "Apa kamu masih berharap ia akan pulang?"
"Ya, tentu saja aku masih mengharapkan ia pulang. Kecuali ia pergi karena meninggal dunia. Kalau pun itu terjadi, aku akan tetap memilihnya di kehidupan berikutnya."
Violetta Winston menganggukan kepala menanggapi ucapanku yang seolah sedang memberi pembatas di antara kamui berdua. Ia kembali menatap lautan yang terhampar luas di depan mata. Begitu juga dengan diriku yang tidak ingin banyak bicara dengannya. Kami berdua saling diam dan larut dalam pemikiran masing-masing cukup lama. Hingga akhirnya ia kembali bersuara memecahkan suasana, "Albert..."
"Ya."
"Pagi ini aku baru mendapatkan kabar tentang Joshua yang meninggal dunia dua minggu yang lalu. Apa kamu sudah mengetahuinya?"
"Ya, aku sudah mengetahuinya. Aku juga sudah menghubungi keluarganya untuk menyampaikan belasungkawa."
"Aku tidak menyangka ia akan pergi secepat itu. Rasanya baru kemarin kita berkumpul dan minum kopi bersama sambil menikmati pemandangan London Eye. Aku sangat merindukan moment itu saat kita bertiga masih sangat dekat."
Aku menarik nafas dalam lalu membuangnya dengan lembut untuk menekan rasa sedihku. Meski hubunganku dengan Joshua tidak seakrab dulu lagi, kepergiannya benar-benar membuatku merasa sedih. Dengan suara rendah aku berkata, "Waktu terus berputar, banyak hal yang berubah dari masa ke masa. Yang dulu adalah masa lalu, yang akan terjadi adalah masa depan. Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi aku juga tidak ingin kembali ke masa lalu. Apa yang telah terjadi, itulah hal yang terbaik untuk diri kita masing-masing."
****
ALLURA GIBSON
Setelah Joshua teman terbaikku meninggal dunia, aku merasa hidupku semakin buruk. Aku tidak hanya kehilangan keluarga bahagia yang selama ini aku impikan bersama Albert Ma, tapi aku juga kehilangan seorang sahabat yang selama ini selalu ada untukkku. Semenjak Joshua tidak lagi berada di sisiku, aku mengalami tekanan batin yang begitu hebat. Tidak hanya suasana hati yang mudah berbubah buruk secara tiba-tiba dalam waktu yang semakin lama, tapi aku juga mengalami depresi yang sangat sulit untuk aku kendalikan. Sehingga orang-orang yang melihatku dalam keadaan buruk, berpikir aku adalah seorang wanita yang aneh.
Aku tidak tahu pasti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Saat aku bercermin, aku tidak lagi melihat Allura Gibson yang dulu yang anggun dan penuh pesona. Sekarang yang ada hanyalah seorang Lula Gibson dengan penampilan lusuh dan tubuh yang kurus kering. Meski aku sedang hamil anak kedua, selera makanku semakin lama semakin menurun hingga tubuhku berubah menjadi kurus kering hanya dalam waktu singkat. Aku tidak tertarik lagi untuk mengurus diriku agar tetap tampil dengan baik. Sehingga aku selalu terlihat pucat meski sudah berdandan sebaik mungkin.
Saat ini aku tidak hanya kehilangan arah, tapi aku juga kehilangan semangat hidupku. Sesekali aku berpikir untuk mengakhiri hidupku yang seperti tidak berguna lagi. Namun aku juga tidak ingin menghabisi nyawa calon bayiku dengan menghancurkan diriku sendiri. Meski nantinya aku tidak bisa membesarkan dengan sebaik mungkin seperti aku membesarkan Adrian Ma, tapi setidaknya ia tumbuh dengan baik dalam pengasuhanku. Meski aku tidak memiliki apapun lagi seperti dulu, setidaknya calon bayiku ini adalah satu-satunya harta yang aku punya. Sehingga aku memilih untuk tetap bertahan karena ia pantas untuk hidup.
Terlalu lama hidup tanpa arah di negara orang dan tanpa adanya seseorang yang akan menemaniku seperti Joshua, membuatku menyerah. Setelah memikirkanya dengan sangat matang dan penuh kesadaran, aku yang tidak tahu lagi akan kemana serta melakukan apa, akhirnya memilih untuk pulang. Sebenarnya aku masih ingin menjalani kehidupan yang tenang seperti selama di Thimphu. Namun kondisi tubuhku yang semakin lama semakin menurun, serta kesehatan mentalku yang semakin lama semakin terganggu dengan emosi yang tak terkendali, aku mengikuti saran dari Paman Joshua untuk kembali ke negaraku. Dengan bermodalkan uang yang pernah diberikan oleh Joshua untukku, akhinya hari ini aku kembali menginjakan kaki di tanah kelahiranku.
Aku pulang hari ini ke bukan untuk kembali pada Albert Ma yang telah menyakiti perasaanku. Tapi aku kembali untuk diriku sendiri dan juga calon bayiku. Sekalipun aku tidak pernah menghubungi keluargaku yang mungkin saja hingga kini masih mencariku. Aku juga tidak berpikir untuk kembali ke kediaman Albert Ma yang dulu pernah aku tempati selama bertahun-tahun. Untuk menjaga kerahasiaan keberadaanku, aku memilih untuk menghubungi teman lamaku Felicia. Karena aku merasa ia adalah salah satu teman dekatku yang sangat bisa dipercaya selain Joshua. Dan saat ini aku benar-benar sangat merindukannya.
"Felicia, kamu ada dimana? Aku baru saja sampai di bandara." Aku berbicara kepada Felicia yang baru saja menjawab panggilan teleponku.
"Apa? Kamu sudah sampai di bandara?" Felicia bertanya padaku dengan nada kaget.
"Ya, aku sudah sampai di Changi Airport. Kamu dimana Felicia?"
Dengan gugup ia menjawab, "A-aku... Aku masih berada di pesta ulang tahun temanku. Bukankah kamu akan sampai di Singapore pada pukul 2 dini hari? Kenapa kamu malah sampai pada pukul 12 malam, Allura?"
"Apa kamu lupa kalau waktu Singapore 2 jam lebih dulu dari Bhutan? Tentu saja aku sampai di sini pukul 12 malam, Felicia."
"Astaga... Aku lupa kalau kita memiliki perberbedaan waktu. Apa kamu mau menunggu sebentar? Aku akan meminta bantuan kakakku Lucas untuk menjemputmu."
Sambil terus berjalan menuju area pengambilan bagasi aku berkata, "Lucas? Aku memintamu untuk menjemputku. Tapi kamu malah meminta Lucas untuk menjemputku."
"Tidak apa-apa, Allura. Ia adalah kakakku. Jadi kamu bisa mempercayainya. Sekarang aku sedang menghadiri acara ulang tahun kekasihku di rumah keluarganya. Rasanya sangat tidak sopan jika aku pergi begitu saja. Jika aku pergi, bisa-bisa aku akan semakin lama menjadi seorang wanita lajang. Heheh..."
Aku tersenyum tipis mendengar ucapan Felicia yang ada di seberang telepon. Dengan nada yang lebih tenang aku berkata, "Baiklah, kalau begitu. Aku akan menunggu Lucas di sini untuk menjemputku. Jangan terlalu lama, aku takut ada orang lain yang mengenaliku."
"Baik, Boss. Posisi Lucas sekarang tidak jauh dari sana. Ia akan datang dalam beberapa menit. Tunggu ia di ruang tunggu. Dan jangan pergi sebelum ia datang."
"Baiklah. Sekarang lanjutkan pestamu. Sampai jumpa di villa."
"Kita bertemu di apartemenku saja. Jika kamu pergi ke villa, akan ada orang yang mengenalimu. Apa kamu lupa jika villa ku itu disewakan?"
"Oke. Sampai jumpa di apartemen."
Setelah mengakhiri panggilan telepon dengan Felicia, aku yang telah sampai di area pengambilan bagasi dengan segera mencari koperku. Untungnya tidak butuh waktu lama bagiku menunggu dan menemukan beberapa koperku. Kemudian aku pun dengan segera melangkah menuju ruang tunggu di aula kedatangan untuk menunggu Lucas yang akan menjemputku. Sepanjang perjalanan dari awal turun pesawat hingga sampai di aula kedatangan bandara, hatiku selalu diselimuti rasa khawatir. Aku tidak hanya merasa khawatir dengan tubuhku yang terasa melemah dari sebelumnya. Tapi aku juga khawatir jika ada orang lain yang mengenaliku selama aku menunggu kedatangan Lucas. Sehingga aku memilih untuk duduk di salah satu kursi tunggu yang ada di sudut aula sambil menutupi wajahku dengan scarf yang mengalung di leherku.
Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku menunggu Lucas di ruang tunggu. Rasa khawatirku membuatku larut dalam pemikiranku sendiri yang semakin lama semakin kacau. Ingin rasanya aku mampir sejenak ke Jewel Changi untuk menikmati suasana yang aku rindukan saat masih bersama Albert Ma. Namun aku yang takut akan bertemu dengan orang-orang yang aku kenal, memilih untuk mengurungkan niatku dan tetap duduk di ruang tunggu. Hingga akhirnya aku pun mendengar suara seorang pria yang memanggil namaku, "Allura... Allura..."
Spontan aku menoleh ke arah dari mana suara itu berasal. Terlihat Lucas yang berpenampilan casual berlari kecil ke arahku sambil tersenyum lebar padaku. Dalam waktu bersamaan , aku pun bangkit dari dudukku untuk menyapanya, "Lucas..."
"Allura, lama sudah tidak bertemu. Bagaimana kabarmu? Apa kamu baik-baik saja? Kenapa kamu terlihat begitu kurus seperti sekarang ini?"
Aku yang tidak tahu harus menjawab apa, meneteskan air mata mendengar pertanyaan yang diajukan Lucas kepadaku. Tanpa berpikir panjang, aku pun memeluk erat dirinya untuk melampiaskan rasa sedihku yang sudah lama aku tahan. Sehingga Lucas yang terlihat kebingungan pun kembali bertanya, "Allura, are you okey?"