Chereads / INCESTUOUS MARRIAGE (Pernikahan Sedarah) / Chapter 2 - BAB 02 - INCESTUOUS MARRIAGE

Chapter 2 - BAB 02 - INCESTUOUS MARRIAGE

IM.02 SEPI

ALLURA GIBSON

Dua puluh dua tahun yang lalu...

"Allura, aku baru saja membuat bubur cha-cha untukmu. Makanlah! Dari kemarin kamu belum makan apa pun. Jika kamu terus seperti ini, kamu bisa sakit." Joshua berkata sambil menghidangkan semangkok bubur ke hadapanku.

Aku yang tengah duduk di sofa ruang tengah rumah, melirik pada bubur cha-cha yang terhidang di atas meja yang ada di hadapanku. Bubur cha-cha adalah salah satu makanan khas Singapore yang sangat aku sukai. Dulu aku sangat menyukai hidangan pencuci mulut dengan kuah putih yang berisikan ubi jalar kukus, tepung tapioka, sagu dan kacang polong yang berwarna-warni ini. Namun entah kenapa sedikit pun aku tidak ingin memakannya. Jangankan untuk memakan makanan berat seperti makanan utama, makan makanan yang terasa manis dan gurih ini pun aku tidak berselera. Membuatku yang sudah beberapa hari terakhir tidak berselera untuk makan, merasa ada yang aneh pada diriku.

Saat aku tertegun menatap hidangan pencuci mulut itu, Joshua kembali berkata, "Allura, kenapa kamu hanya diam? Makanlah! Tidak apa-apa jika kamu tidak ingin makan makanan lainnya. Tapi setidaknya isi lah perutmu dengan bubur yang manis itu. Jangan buat aku khawatir."

Aku tersenyum tipis kepada Joshua yang kini berdiri di tidal jauh dariku, tepatnya di seberang meja yang ada di hadapanku. Kemudian dengan suara rendah aku berkata, "Baiklah. Nanti aku akan memakannya disaat aku sudah sangat lapar."

"Apakah hingga sekarang kamu belum lapar, Allura?"

"Belum, Joshua."

"Huffft... Kenapa akhir-akhir ini kamu tidak berselera untuk makan? Semenjak kita tinggal di Thimpu ini, selera makanmu terlihat menurun. Tidak seperti dulu saat kita masih tinggal di Singapore."

"Ya. Aku juga merasa begitu, Joshua. Tidak tahu kenapa akhir-akhir ini selera makanku berkurang."

"Apa kamu masih memikirkan Albert? Apa kamu masih memikirkan Adrian?"

"Ya, aku masih memikirkan Adrian yang hilang. Tapi aku tidak memikirkan Albert yang jelas-jelas sangat menyakiti perasaanku. Mengingatnya hanya akan menyakiti perasaanku sendiri."

"Kalau begitu jangan pikirkan apa yang membuat hatimu sakit. Aku akan terus mencari informasi tentang Adrian. Sekarang makanlah!"

"Aku akan memakan buburnya sebentar lagi."

"Apakah kamu merasa tidak enak di bagian perutmu, Allura?"

"Ya, sepertinya begitu."

"Kalau begitu, nanti sore kita pergi ke dokter. Sekarang aku harus pergi ke bekerja dulu. Ada beberapa hal yang harus aku periksa ke lapangan pagi ini."

"Baiklah."

"Apakah tidak apa-apa jika kamu sendirian di rumah?"

Melihat ekspresi wajah Joshua yang tidak biasa saat bertanya, membuatku berbalik bertanya, "Kenapa kamu menatapku seperti itu, Joshua? Tentu saja tidak apa-apa jika aku sendirian di rumah."

"Tidak apa-apa. Aku hanya merasa kasihan melihatmu yang selalu menghabiskan waktu di rumah. Dulu kamu adalah seorang wanita karier yang selalu pergi keluar untuk bekerja setiap harinya. Tapi sekarang kamu berubah menjadi wanita rumahan yang selalu ingin di rumah. Selama kita tinggal di Thimphu ini, kita hanya beberapa kali keluar untuk jalan-jalan. Bahkan kamu lebih sering menolak ajakanku dari pada ikut denganku keluar rumah."

Aku kembali tersenyum tipis padanya dan berkata, "Suasana Thimphu yang jauh berbeda dengan Singapore membuatku merasa nyaman di rumah, Joshua. Aku merasa menyatu dengan alam. Bukan menyatu dengan hiruk-pikuk kota seperti dulu. Aku merasa sangat nyaman kita berada di sini."

"Syukurlah, jika kamu merasa nyaman tinggal di sini. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan untuk mengisi hari-harimu. Maaf jika aku tidak bisa selalu menemanimu di rumah karena aku harus keluar untuk bekerja."

"Tidak apa-apa, Joshua. Diizinkan tinggal bersamamu di sini sudah membuatku merasa sangat bersyukur. Terima kasih telah membawaku ke negara yang begitu tenang ini dan mengizinkanku tinggal di sini."

"Sama-sama, Allura. Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau." Joshua berkata sambil tersenyum hangat padaku. Kemudian melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya dan kembali berkata, "Aku sudah terlambat. Aku harus pergi dulu, Allura."

"Baik."

Dengan segera aku bangkit dari sofa dan mengikuti Joshua yang kini berjalan menuju pintu utama rumah. Setelah ia membuka pintu dan hendak pergi, Joshua menatapku beberapa saat dan kembali berkata, "Jaga dirimu saat aku tidak ada di rumah. Dan jangan lupa untuk mengunci pintunya."

"Oke."

"Sampai jumpa nanti malam."

"Ya, sampai jumpa."

Setelah melepas kepergian Joshua dan menutup pintu, aku kembali melangkah memasuki rumah. Aku berjalan menuju jendela ruang tamu rumah yang cukup besar, lalu memperhatikan mobilnya yang bergerak semakin lama semakin menjauh dari balik kaca gordyn yang transparan. Dalam waktu bersamaan rasa sedih dan sepi kembali menghampiriku. Aku merasa sedih karena selalu teringat kejadian buruk yang menimpa putraku dan rumah tangga sebulan yang lalu. Dan aku merasa sepi karena hanya ada aku di rumah yang cukup besar ini. Karena semenjak aku pergi dari kehidupanku yang mewah di Singapore, aku hanya hidup berdua bersama teman baikku Joshua di kota Thimphu ini.

Semenjak terjadi pertengkaran hebat antara aku dan suamiku Albert Ma di malam hilangnya putra kami Adrian Ma, aku terus berusaha untuk melupakannya dan membuang rasa cintaku terhadapnya. Rasa sakit yang telah ia torehkan di hatiku begitu dalam, membuat diriku ingin pergi dari kehidupanku sebelumnya dan memulai kehidupan baru di kota Thimphu ini. Aku terus berusaha melupakan Albert Ma dengan berbagai cara, namun tidak bisa melupakan putraku Adrian Ma yang hilang begitu saja. Sayangnya, setiap kali aku memikirkan putraku yang hilang, dalam waktu bersamaan aku juga teringat pada Albert Ma yang telah memakiku dengan kalimat 'Wanita Sial!'.

Thimphu adalah ibukota dari negara Bhutan yang ada di Asia Selatan. Negara yang dikenal orang-orang sebagai negara paling bahagia di dunia ini terletak di antara Tiongkok dan India, tepatnya di jalur Pegunungan Himalaya. Kehidupan masyarakat yang sederhana, keasrian alam, serta kelestarian alamnya, menjadikan negara kecil ini sangat menarik untuk ditinggali oleh orang-orang yang ingin jauh dari hingar-bingar kota megapolitan yang tidak pernah tidur. Termasuk diriku yang ingin jauh dari keluargaku dan pergi dari kehidupan Albert Ma yang tidak bisa menghargaiku. Dan meski selama berada di sini rasa bahagia tak kunjung datang menghampiriku, tapi setidak aku merasa nyaman di kota Thimphu yang cukup tenang ini.

Selama berada di Singapore, Joshua yang merupakan teman baikku dan Albert Ma menggeluti bisnis properti. Awalnya ia hanya membantuku selama Albert Ma mengalami koma beberapa tahun. Setelah itu ia membangun perusahaannya sendiri dan tidak lagi bekerja sama dengan kami di Ma's Property. Namun entah apa yang terjadi dengan bisnisnya, akhirnya ia memilih untuk pindah ke Buthan. Karena perekonimian masyarakat di negara Bhutan secara mayoritas bertopang pada bidang pertanian dan peternakan, Joshua membangun usaha ekspornya dengan mengirim hasil pertanian dan peternakan ke negara tetangga seperti India dan Bangladesh. Mungkin terlihat sangat jauh sederhana di banding kehidupannya saat masih berada di Singapore. Namun sepertinya ia sangat menikmatinya dan merasa senang tinggal di negara yang baru berkembang ini.

Saat aku melamun dan larut dalam pemikiranku sendiri yang masih dirundung duka, aku yang tadinya merasa tidak enak badan tiba-tiba merasa mual. Dengan segera aku berlari ke kamar mandi, lalu memuntahkan apa yang ada di dalam perutku yang kosong hingga aku merasa lelah. Dalam waktu bersamaan aku teringat pada siklus menstruasiku yang beberapa bulan terakhir tidak datang. Mungkinkah saat ini aku sedang hamil?

Aku yang merasa khawatir dengan dugaan kehamilanku, dengan segera keluar dari kamar mandi. Kemudian aku mengambil ponselku yang ada di atas meja dan segera menghubungi Joshua yang telah pergi bekerja sejak satu jam yang lalu. Dan tanpa perlu menunggu lama, akupun mendengar suara Joshua yang khas dari seberang telepon, "Hallo, Allura..."

"Joshua, apa sore ini kamu bisa pulang lebih awal?" Aku bertanya dengan suara rendah sambil bergerak menduduki sofa.

"Tentu saja, Allura. Memangnya kenapa? Apa kamu merasa semakin tidak enak badan?"

"Ya, sepertinya begitu."

"Kalau begitu aku akan pulang sekarang. Setelah itu aku akan mengantarmu ke dokter."

"Tidak usah. Nanti sore saja jika semua pekerjaanmu selesai."

"Tidak, Allura. Kesehatanmu lebih penting dari pekerjaan ini. Tunggu aku di rumah. Aku akan sampai dalam 15 menit."

****

ALBERT MA

Hari ini adalah hari ke-30 aku hidup tanpa putraku Adrian Ma dan istriku Allura Gibson. Hari ini juga hari ke-30 aku melakukan semua pekerjaanku di rumah tanpa harus pergi ke kantor. Semenjak aku kehilangan Adrian Ma dan ditinggal pergi oleh Allura Gibson, hidupku terasa begitu hampa. Aku tidak lagi mendengar suara renyah dari Adrian Ma saat bicara denganku. Aku tidak lagi melihat senyuman manis dari Allura Gibson yang selalu menenangkanku. Dan aku tidak lagi bisa melihat wajah kedua orang yang aku cintai yang selalu aku rindukan. Kebahagiaan yang aku rasakan selama berumah tangga hanya berjalan sebentar saja.

Selama aku tidak bertemu dengan dua orang yang aku cintai, aku selalu dihantui oleh rasa bersalah. Andai saja saat itu aku tetap bersama Adrian Ma, pastinya saat ini ia masih bersamaku. Andai saja saat itu aku tidak mengucapkan berbagai kata kasar dan sumpah serapah kepada Allura Gibson, pastinya ia masih berada di sisiku untuk menguatkanku. Aku sudah mencoba untuk berdamai dengan diri sendiri, namun tidak berhasil. Karena rasa sepi yang tidak pernah pergi dariku, membuat rasa penyesalan itu semakin lama semakin bertambah.

Saat aku bekerja dan melakukan berbagai kegiatan, aku terus memikirkan Allura Gibson dan Adrian Ma yang belum ditemukan. Aku sudah melakukan berbagai cara untuk mencari keberadaan mereka berdua. Namun hingga kini aku tidak menemukan titik terangnya. Aku tidak tahu apakah putraku Adrian Ma masih hidup atau telah tiada. Begitu juga dengan Allura Gibson yang tak tahu pergi kemana. Semenjak pertengkaran hebat antara aku dan dirinya malam itu, ia pergi dari rumah dan tidak pernah kembali. Mungkinkah Adrian Ma telah tiada? Mungkinkah Allura Gibson sangat marah kepadaku dan tidak ingin bersamaku lagi?

TOK! TOK! TOK!

Saat aku duduk terdiam dan larut dalam pemikiranku sendiri di meja kerjaku, tiba-tiba aku mendengar suara ketukan dari luar pintu ruangan. Aku yang baru saja tersadar dari lamunanku yang panjang, dengan spontan menoleh ke arah pintu dan bersuara, "Masuk!"

Seketika Cassey yang merupakan asisten Allura Gibson muncul dari balik pintu. Ia memasuki ruang kerjaku dan melangkah menghampiriku dengan beberapa map yang ada di tangannya sembari berkata, "Permisi, Tuan."

"En..."

Saat ia telah berdiri di hadapanku, ia meletakan map tersebut ke atas meja dan kembali berkata, "Tuan, ini beberapa dokumen milik Nyonya yang Tuan minta."

Aku menganggukan kepala sembari mengulurkan tangan mengambil salah satu map tersebut. Kemudian aku bertanya, "Cassey, apa sudah ada perkembangan dari pencarian Nyonya dan Adrian?"

"Belum, Tuan. Kemarin pihak kepolisian memberi tahuku bahwa mereka telah melakukan berbagai cara untuk mencari Adrian yang hilang di pantai. Namun mereka tidak menemukan Adrian. Mereka juga sudah berusaha mencari Nyonya ke berbagai wilayah Singapore, tapi mereka juga tidak menemukan Nyonya. Dari data imigrasi juga tidak ditemukan nama Allura Gibson keluar dari Singapore ini, Tuan."

Mendengar jawaban dari Cassey membuat hatiku semakin hancur. Satu bulan pencarian putraku dan istriku tanpa ada hasil membuatku merasa buntu. Di dalam hati aku berkata, oh ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus menyerah?

Belum sempat aku menanggapi ucapannya, Cassey kembali berkata, "Tuan, pihak polisi juga mengatakan bahwa mereka akan menghentikan pencarian."

"Biarkan saja jika pihak polisi berhenti melakukan pencarian. Sampai kapanpun aku akan tetap mencari keberadaan Allura dan juga Adrian. Aku akan melakukan apa pun agar bisa menemukan mereka dan membawa mereka kembali dalam keadaan hidup atau tidak." Aku berkata dengan wajah datar sambil berusaha menguatkan diriku sendiri.

TOK! TOK! TOK!

Baru saja aku selesai berkata, aku kembali mendengar suara ketukan pintu dari luar ruangan. Dan Cassey yang dari tadi berdiri di hadapanku pun berkata, "Biar aku yang membukakan pintu, Tuan."