Seseorang meringkuk di sudut ruang pengap berdebu. Ia seperti tengah tersiksa di dalam dunianya sendiri. Melipat kedua kakinya dan memeluknya dengan erat. Rasa ketakutan semakin menjalar ketika kilasan suram masa lalu kembali melintas di pikirannya. Napasnya terasa sesak, ditambah dengan ruangan yang hanya berisi tempat tidur usang tanpa satu penerangan disana. Hanya setitik cahaya yang menerobos masuk melewati celah kecil disalah satu sisi dinding.
Dirinya bahkan tidak sadar telah berapa ratus purnama ia lewatkan hanya dengan bergelut dengan ingatan yang menyakitkan. Wajahnya bahkan hampir tak bisa dikenali, tak terlihat lagi kecantikan yang dulunya menjadi bahan pembicaraan setiap pemuda di sana. Yang tersisa hanyalah tulang pipi menonjol dan mata sayu dihiasi lipatan halus disudut mata serta kulit dibawah mata yang terlihat menggelap. Tubuhnya kurus kering, bahkan kulit nya terlihat memucat karena telah lama tak menyapa cahaya mentari.
Bunyi dari pintu yang terbuka telah ditangkap oleh indera pendengarannya tapi ia tak pernah peduli, memilih menulikan telinganya dari segala suara yang tercipta. Semenjak kejadian itu ia tak ingin lagi mendengar apapun yang hanya bisa membuat hatinya perih. Seperti biasa pintu akan terbuka ketika perawat membawa makanan dan membersihkan badannya.
Namun kali ini berbeda bukan sosok perawat yang menghampirinya. Seorang pemuda membawa sebuah tempat alat musik. Sosok itu mulai mendekat. Memperhatikan wanita yang ada dihadapannya dengan pandangan rumit. Seulas senyum tersungging tipis. Langkahnya semakin menghapus jarak antara keduanya. Namua wanita itu tak bergeming. Dirinya masih setia menikmati sakit hatinya.
" Entah aku harus memanggilmu ibu atau apa, tapi yang pasti aku sangat menyayangimu" senyuman masih terukir setelah mengatakan hal itu. Detik selanjutnya ia bawa wanita itu kedalam dekapannya, mengecup lembut kening itu meskipun tak ada respon apapun yang didapat.
"Setelah ini bisa temui ayah, bukankah itu yang ibu inginkan? Bersama dengan seseorang yang ibu cintai bahkan lebih besar dari cinta ibu pada diri sendiri. Aku akan mengakhiri penderitaan ibu selama ini"
Sebilah pisau telah menancap dengan indah didada kiri wanita itu. Tepatnya diantara ruas rusuk yang melindungi segumpal daging kehidupan. Bersamaan dengan berakhirnya bisikan yang ia sampaikan tepat disamping telinga orang yang ada didalam peluknya. Dan jangan lupakan pisau itu. Ia tak mungkin memberikan penderitaan lebih lama jadi sebelumnya telah ia pastikan pisau itu tajam dengan sempurna.
Darah mulai mengalir diantara lempengan besi tipis. Kemudian pisau itu ditarik dengan lembut. Beriringan dengan kecupan perpisahan yang menyapu pipinya.
" Aku ingin tau bagaimana cantiknya hati ibu yang didalamnya dipenuhi cinta tulus pada orang yang bahkan tak memiliki rasa yang sama"
Tangan pemuda itu tergerak membuka baju ibunya dari bawah sehingga terlihatlah perut sang ibu. Tanpa memberi sedikit jeda perut itu telah tersayat memperlihatkan segumpal daging merah hati menyembul dari dalam. Ia memperhatikan sejenak
"Lebih cantik dari dugaanku"
Kemudian mengambil sebuah toples kaca berisi cairan pengawet dan menyimpan hati tersebut didalamnya.
" Aku belajar banyak dari ibu apa itu cinta, sekarang ibu bisa bahagia"
Pemuda itu bangkit, membiarkan sang ibu tergeletak di lantai. Kemudian memainkan biolanya, nada indah dimainkan penuh penghayatan dengan menutup kedua matanya menikmati suara merdu dari alat gesek itu sembari menghirup dalam aroma ketenangan bercampur dengan bau anyir yang menguar didalam bangsal 13.