Albert House.
Sebuah rumah mewah yang terletak di tengah jejeran pepohonan di ujung kota dan bahkan dapat dikatakan seperti hutan, namun sangat rindang suasananya. Fasilitas lengkap, beberapa tumbuhan hias, melekat dengan rumah itu. Memang aneh jika dilihat dari sisi orang normal. Mengapa membangun rumah mewah nan megah di tengah jajaran pepohonan, tetapi bisa jadi mereka suka akan ketenangan.
Pagi-pagi buta seorang gadis yang tinggal di rumah itu sudah membuat keributan dengan berteriak-teriak.
"Mah ... mana laptopku?" teriak seorang gadis dari dalam sebuah kamar.
"Ih, si mamah kok nggak di jawab si, Aku udah teriak-teriak juga sampe serak ni tenggorokan," decak kesal gadis itu berjalan menuju mamanya yang berada di dapur dengan masih memakai pakaian acak-acakan.
Si bawel itu Zara Revana anak gadis satu-satunya di keluarga besar Albert. Gadis cantik ini blasteran, ia turunan Jawa Inggris, dari mamanya keturunan Jawa asli dan papahnya Inggris. Ia sedikit tomboy namun masih feminin. Ia berumur 19 tahun selisih 2 tahun dengan kakaknya. Tidak tahu mengapa ia selalu beradu lidah dengan sang kakak. Seisi rumah sering dibuat pening oleh kelakuan kakak beradik itu, entah sudah berapa lama mereka suka beradu lidah. Hanya mereka dan Tuhan saja yang tahu!
"Suruh siapa teriak-teriak," cetus mamanya sambil sibuk memasak.
Zara cemberut. "Iya ma, maaf. Abis laptop di kamarku kok nggak ada si?" gadis itu masih sibuk mencari keberadaan laptopnya.
"Emang semalem kamu taro dimana sih d
De?" tanya si Mama.
"Semalem itu aku taro di atas meja belajarku ma, seperti biasa," sahut Zara. "Bentar deh, ini pasti ulah si Revin." lanjutnya.
"Revin ...." Zara berteriak selebar mulutnya tanpa memperdulikan orang yang berada di rumahnya.
"Zara apa-apaan si kamu ini! teriak-teriak seperti itu, kamu kira ini hutan," bentak mamanya.
Dan buka Zara namanya, ia membantah dengan mengeles. "Abis si Re ...," ucap Zara terpangkas.
"Re ... apa? Kamu tu ya, udah di bilangin berapa kali sih! Dia itu kakak kamu jadi yang sopan," tegas mamanya. Zara hanya menekuk muka kesal, plus sebal abis.
Ya Revin, lawan beradu lidah Zara. Sering sekali kakak beradik itu saling sudut menyudutkan satu sama lain, tetapi selepas dari itu mereka saling peduli sayangnya ego tebal menyelimuti hati keduanya. Revino Alviansyah nama lengkapnya. Revin tipe pria yang cuek, dingin, namun sayangnya dia tampan, bagaimana tidak? pria ini kan, kakak kandung Zara Revana Blasteran dong. Dengan kulitnya yang putih, hidung mancung, mata elang, alis tebal, ditambah lesung pipi yang menghipnotis kaum wanita. Dia sangat terkenal di kampusnya, hampir seluruh penghuni kampus mengenalnya karena ketampanan dan kegagahannya saat mengolah si kulit bundar tetapi sayangnya dia juga terkenal dengan sifat dingin dan cuek ke hal apapun. Banyak pribadi Revin yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali kawan karibnya Rendy, Rendy Feryasa. Rendy teman kecilnya. Meski masalah bertubi-tubi mengiringi tali persahabatan mereka tidak terputus, terkadang harus goyah tetapi mereka tidak pernah lelah untuk bertahan. Aroma sahabat sejati ini.
"Iya ma, abis dia selalu begitu mah," keluh Zara soal kelakuan kakak lelakinya itu terhadapnya.
"Yaudah sana beresin dulu barang-barang kamu, terus sarapan nanti mama yang bakal ngambil laptopnya," suruh mamanya.
"Iya ma," jawab Zara masih dengan muka cemberut. Ia berjalan menuju kamarnya untuk mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke kampus.
"Dede'," panggil si mama. Itu adalah nama panggilan Zara dari kecil, sebab dia anak termuda di keluarga besar itu.
"Iya ma, Bentar," teriaknya. "Ada apa mah?" tanya Zara sambil sibuk dengan semua bawaannya.
"Ya sarapanlah dikira mau nribun apa! Hiks," ledek Revin sambil tertawa.
"Ih apaan sih lo! Gak ada yang nanya sama lo tau gak," cetus Zara sebal menghadap muka kakaknya itu dengan nada tinggi.
"Biasa aja dong mbak," goda si Revin sambil tersenyum tipis.
"Ih bodo," singkat Zara dengan raut kesal.
"Udah-udah, kalian berdua itu ya berantem mulu kerjaannya. Cepat sarapannya ntar telat lo," tegur si mama.
"Iya ma." Zara menjawab dengan raut muka datar sambil sekilas melirik sengit kearah kakaknya. "Oh ya ma, laptopku mana?" tanya Zara mengenai laptopnya tadi.
"Nih." Revin menyodorkan sebuah benda tipis lebar apalagi kalau bukan laptop yang diributkan.
"Tu kan pasti ini ulah lo!" Zara geregetan menahan emosi.
"Gua cuma minjem bentar, gak usah lebay deh," ucap Revin santai dengan raut muka watados.
"Minjem-minjem! Kalo mau minjem ngomong kali." Zara masih memperdebatkan masalah laptop itu.
"Serah, untung gue balikin! Yaudah lah gue mau berangkat," ucap Revin sambil beranjak pergi meninggalkan tempat duduknya. "Mah, Pah. Aku berangkat. Assalamualaikum," Revin mengucapkan salam langsung nyelonong keluar tanpa menyalami tangan Mama Papanya terlebih dahulu tidak tahu sejak kapan kebiasaan buruknya itu dia mulai.
"Kalo gitu aku berangkat juga deh. Assalamualaikum." Zara juga memutuskan untuk segera berangkat ke kampus meski satu kampus dengan sang kakak tetapi mereka tidak pernah terlihat berangkat bersama.
"Wa'alaikumsalam." Mama dan Papa mereka bergeleng kepala melihat ulah anak-anaknya itu.
***
Kampus,
Tempat yang amat besar dengan gedung didominasi oleh dinding kaca tembus pandang dan berbagai fasilitas yang mendampingi, itulah tempat beradu ilmu yang sangat megah. Mahasiswa berlalu lalang menunggu jadwal berguru, begitu pula si gadis manja yang sok iya itu siapa lagi kalau bukan Zara. Dia baru mengenyam pendidikan di kampus megah di kota tempatnya tinggal itu. Zara tidak sendiri, dia dengan sahabat karibnya semenjak SMA, serta kakak menjengkelkannya itu satu kampus dengannya.
Zara berjalan menyusuri koridor kampus, dengan santai dan tak memperdulikan sekitar. Acuh.
"Ra?," panggil seseorang dari kejauhan. Zara menghentikan langkahnya.
Zara seketika melihat ke arah suara itu dan berusaha mengenali pemilik suara itu.
"Luna!" lirih Zara dengan mata terbelalak. Zara memandang orang tersebut disertai mengerutkan keningnya. Setelah bertatap muka Zara melontarkan pertanyaan kepada orang itu. "Lo ngapain ada disini?"
"Kamu lupa? Aku kan kuliah disini!" wanita itu senyum manis ke arah Zara. Sementara itu, Zara hanya memasang wajah malas.
"Ara sama siapa?" Dari kejauhan seorang gadis keheranan melihat sahabatnya itu berbincang yang lebih tepatnya beradu mulut dengan seorang wanita yang tidak ia kenal sebelumnya.
Asilla Zayana dia kawan sejawat Zara sejak SMA, mereka begitu dekat hingga memutuskan kampus yang sama. Silla panggilannya, dia gadis manis, sok polos, dan selalu menghindar jika Zara mengajaknya untuk menamu ke rumahnya. Bukan kenapa? Dia selalu merasa takut jika harus berjumpa vampir serupa snowman penghuni rumah besar itu.
***
Terimakasih atas kunjungannya :)