Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Diatas Bumi yang sama

🇮🇩Widi_Astuti_3153
--
chs / week
--
NOT RATINGS
5.1k
Views
VIEW MORE

Chapter 1 - 10 tahun yang lalu

Aku, Hanaya gadis SMA yang akan mengakhiri masa-masa Smaku. Hal yang lumrah bukan, entahlah ada kesedihan yang mendalam mengingat hal itu. Aku juga tidak sedekat itu dengan teman-teman ku, mungkin yang membedakan aku sedekat itu dengan dia. Dia bukan sahabatku, dia hanya teman dan mungkin adalah rivalku. Kami selalu bersaing, aku selalu menduduki posisi pertama dan dia selalu di posisi kedua. Kami juga memiliki nasib yang kurang mujur, hanya dari dia aku belajar banyak hal, tentang bagaimana bersyukur untuk hidup yang kita akan alami sekarang ini. Kedekatan yang terjalin sekarang ini mungkin akan menjadi retak karena jarak yang akan memisahkan kami. Kudengar dari tetangga-tetangganya dia Kana merantau ketempat yang lebih jauh bersama keluarga nya, lebih tepatnya ibunya. Kami masih satu lingkungan tempat tinggal sehingga apapun tentang dia tetap akan sampai ketelingaku. Dan sebagai anak SMA aku banyak membaca dan latihan untuk Kesuksesan ku mengikuti UN dan segala kekhawatiran tentang dia pun seolah sirna. Sampai ujian sekolah selesai pun kami seperti biasa, kami mulai membicarakan tentang liburan, tentang makanan dan tentang style terbaru pakaian di bulan ini. ketika kami semua sibuk mempersiapkan apa yang akan kami siapkan untuk mendaftar ke universitas, tak pernah lagi kujumpai mukanya,ia seolah hilang ditelan bumi. Media sosial tidak kujumpai lagi keberadaan nya atau tanda-tanda yang ditinggalkannya, aku sedikit sedih. Tapi kami bukan siapa-siapa untuk saling memberikan apapun tentang kepergian kami. Satu hari sebelum keberangkatan ku ke Semarang aku sempat mendengar bahwa dia dan keluarganya telah berangkat dua hari yang lalu ke tempat perantauannya, entahlah dimana itu.

Semoga kami masih berjumpa kembali doaku.

Malamnya aku kembali membuka media sosial dan kutemukan 1 wa dari dia, dia cuma menyakan bagaimana kabarku, dan kujawab baik-baik saja, kami bercanda dan saling bertukar informasi terkini s belum akhirnya dia mohon pamit mau istirahat dan dia juga menyuruhku untuk rajin belajar.

Hari ini menjadi hari yang menyedihkan aku berangkat sendiri ke Semarang karena ayah dan ibuku tidak ada yang sempat mengantarku, aku hanya disuruh untuk menelpon jika sampai disana, dan ibu cuma bilang udah ada Tante anet yg akan menjemput ku dan langsung mengantarku ke apartemen ku. Aku cuma tersenyum, kita memang tidak punya kuasa untuk memilih dilahirkan oleh siapa. Ayahku seolah tak peduli dengan kepergian ku dia cuma sibuk dengan handphonenya. Seolah aku bukan anaknya, aku hanya memeluk adiikku dan meninggalkan sedikit pesan padanya untuk baik-baik saja apapun yang terjadi. Hari-hari yang kulalui dengan kesibukanku mengurus kuliah menyesuaikan diri dengan lingkungan baru teman baru membuatku melupakan sejenak tentang dia tentang orang tuaku.

Pertengahan semester dia kembali menghubungiku via wa dia menceritakan kesibukan nya tentang kuliah sambil kerja jadi jarang berkomunikasi dengan kawan-kawan yang lain. Ayah dan ibunya sudah cerai, itu yang dia sampaiakan dan sebagai anak pertama dia membantu ibunya sambil bekerja. Akupun hanya menyemangati dia dan bernostalgia tentang impian kami sebelum tamat SMA. Satu hal yang aneh dia cuma menanyakan tentang gantungan tas yang pernah diberikannya dulu, katanya mungkin suatau saat nanti dia akan datang untuk menanyakannya kembali, entahlah akupun tak tahu apa maksudnya. Tidak ada yang spesial dengan gantungan tas itu, jadi ceritanya pas kelas xi SMA dia pernah mewakili sekolah ke ajang nasional dan sebagai oleh-oleh kami s nya kawannya dibelikannya gantungan tas. Walaupun itu menjadi bumerang buat aku dan dia karena dengan dekatnya kami, hampir seisi sekolah mencomblangkan kami. Jadi apapun hal yang berkaitan dengan kami berdua seakan menjadi gossip yang terpanas pada masa itu. Kulirik kembali gantungan tas yang ada di meja belajarku. Kurapikan kembali, kurapalkan dalam hati semoga benda itu aman dalam pengawasan ku. Malam ini pikiranku melayang, memutar dan kembali kepada masalah keluarga entahlah apakah ini masalah yang akan berlalu atau masalah yang tidak akan berlalu. Kepalaku memutar kembali hal-hal yang menjadi masalah di keluarga ku yang kupahami setelah aku dewasa. Setelah otakku mampu memahami apa yang sebenarnya terjadi padaku s lama ini. Pertengkaran ayah dan ibuku, kecuekan ayahku, perlakuan ibuku yang selalu melampiaskan amarahnya terhadapku dan adikku. Hidupku tidak setenang kelihatannya kawan. Kebahagiaan yang kudapatkan hanya ketika bersama dia dan adikku. Sampai sekarang aku masih tertekan dengan pertengkaran orang tuaku. Mungkin itulah yang mendekatkan aku dan dia bukan hanya tentang kebersamaan tapi tentang bagaimana masalah itu seolah hilang dari pikiranku ketika ada di sekolah kami menghabiskan waktu dengan canda dan tawa. Ketika bersama kami tidak pernah menceritakan kisah kami masing-masing , tidak pernah membahas masalah kami masing-masing, aku tahu kalau dia juga punya masalah keluarga dari kawan-kawan yang menjadi tetangganya. Pikiranku terus berputar hingga terlelap dan aku terbangun karena kumandang adzan subuh.

Satu tahun menjadi mahasiswa aku mulai membuka diri dengan kawan-kawan baruku. Aku juga belajar membuka diri dengan belajar berkomitmen dengan status pacaran, dan aku melupakan dia sejenak. Ternyata pacaran nggak seindah kelihatannya dimataku, entah mengapa aku seperti merasa terkekang merasa tertekan dengan tuntunan yang menjadi pacarku. Beberapa hari kemudian aku memtuskan hubungan ini. Hubungan-hubungan yang kujalani di semester depannya juga seperti itu. Aku tidak nyaman dan mereka tidak Seprinsip denganku dan aku mengakhiri hubungan yang pernah kujalani itu. Dari kegagalan-kegagalan yang kualami aku seperti makin memikirkan dia, mungkin karena kami s batas teman sehingga tidak ada ikatan apapun d Ngan dia. Tanpa larangan dan Bahakan kami banyak melakukan hal-hal yang kami sukai sama-sama. ***

Sekarang aku sudah semester 5 banyak hal yang berubah, dia sudah aktif di media sosial dan dia tidak lagi mengabariku, dan yang paling mengguncang adalah orang tuaku memutuskan bercerai, itu aku ketahui dari adikku yang ditelpon oleh keluargaku. Ayah dan ibuku belum menyampaikan ini pada kami berdua, aku hanya memeluk adikku yang menangis, aku justru bersyukur aku capek melihat mereka berantam setiap hari, teriak-teriak,dan saling menyalahkan setiap harinya. Aku lelah. Setelah adikku agak baikan, aku langsung kekamarmu, dan malamnya ibuku meneleponku di keluarkan nya seluruh uneg-uneg nya, ibu mengatakan ayah punya wanita lain dihidupnya sejak kami masih kecil dulu sehingga tidak perhatian kepada kami. Aku hanya mendengarkan dan menyemangati ibuku. Perceraian bukan hal yang salah untuk ibu. Saatnya ibu bahagia kataku. Memikirkan semua hal tanpa sadar meneteskan air mataku, rasa sedih kembali menerpaku. Aku akan meminta penjelasan pada ayahku, sepahit apapun kenyataan yang akan kudengar.

Dan malamnya dia kembali menghubungiku disitulah kami bertukar cerita pertama kalinya aku menceritakan tentang keluargaku kepadanya, tentang ayahku tentang ibuku, tentang perceraian mereka, dan kami menangis bersamaan menertawai nasib yang menimpa kami.

Banyak hal yang terjadi banyak hal yang menimpaku, membuatku menjadi pribadi yang sangat waspada dan berhati-hati terhadap kenalan baru dan siapapun, aku juga menjadi lebih tertutup. Tentang ibuku, kulihat dia berangsur-angsur bangkit dari keterpurukannya dan kami seperti memperbaiki hubungan kami sehingga kami semakin dekat, ibuku juga pindah kesini dengan membuka berbagai usaha yang pernah diimpikannya, dan aku bahagia melihat senyum yang terbit dibibir ibuku. Tentang ayahku, aku memberanikan diri menghubungi nomornya untuk bertemu. Dan banyak pertanyaan yang akan aku tanyakan kepadanya.

Ini hari yang terberat, ketika sampai di kaffe yang telah kami sepakati, ayahku sampai lebih dulu, aku hanya tersenyum tipis dan duduk dihadapannya.

"Mau pesan apa ?" Ayahku bertanya dengan muka datarnya.

"Samakan saja dengan punya ayah" cicitku. Ayhku kemudian memanggil pelyan dan memesan 2 lemon tea. Mungkin ayah juga merasakan hal yang sama denganku, pas bertemu dengannya aku mendadak kenyang. Kami hanya butuh air untuk menyegarkan tenggorokan kami yang tercekat entah dengan pertanyaanku atau dengan jawaban ayahhku.

Menit-menit berlalu dalam keheningan ayahku tidak mengatakan apapaun begitupun dengan diriku, sampai pelayan datang pun aku masih berat menggerakkan lidahku untuk bertanya dan ayahku juga seolah hanya menunggu aku membopongnya dengan pertanyaan-pertanyaan dari kepalaku.

Aku menyesap lemaon tea itu beberapa teguk dan kurapalkan basmalah untuk menyampaikan pertanyaan yang telah lama menghantui kepalaku.

" Ayah kenapa tiba-tiba bercerai dengan ibu?" Aku menanyakan itu dengan suara yang sangat lirih. Ayahku terdiam beberapa lama kemudian menarik napasnya.

"Itu kesepakatan ayah dan ibu bersama , kami sudah lelah dengan masalah yang melanda kami". Ayah terlihat seperti akan mengatakan kalimat-kalimat lanjutan tetapi seperti tertahan dibibirnya.

"Apa benar ayah punya istri lain yang ayah cinta, sehingga sering bertengkar dengan ibu?" Tanpa kusadari Tes, setetes air mata mampir disudut mataku. Mereka tidak pernah mengatakan hal itu. Aku pernah mendengar dari Oma yang pernah menasehati ayah dan tanpa sengaja aku mendengarnya.

" Ayah dan ibu dijodohkan, itu yang harus kamu ingat, dan ayah gagal mencintainya, ayah tetap mencintai kekasih ayah saat masih muda dulu" ayah mengatakannya dengan sorot penyesalan dimatanya.

" Ayah j a h a t, ayah bisa menolak perjodohan itu dan memperjuangkan kekasih ayah. Dengan menerima perjodohan itu ayah sudah melukai ibu, dan ayah juga melukai aku" walau pelan suaraku, tapi tak dapat membendung tangis yang hadir, aku jadi sedih mengingat bagaimana ibuku menjalani pernikahan ini selama 21 tahun, tanpa pernah dicintai.

"Apakah ibu tahu hal ini? Apakah karena itu ayah tak pernah memerhatikan aku, memperlakukan aku seperti orang asing? Apakah karena itu ayah?" Sakit sekali bila mengingat saat-saat dimana ayahku acuh tak acuh padaku, sedih sekali rasanya, aku hanya menunduk agar tidak menjadi pusat perhatian di kaffe ini.

" Ibumu tahu semuanya 10 tahun setelah pernikahan kami, itulah mengapa kami sering bertengkar walau cuma kamu anak kami yang tahu. Ayah memerhatikan kamu dari jauh Nak, ayah merasa gagal merasa berdosa jika dekat denganmu, ayah tahu kamu tidak pernah tidur ketika selesai pertengkaran ayah dan ibu, kamu selalu memeluk dan menenangkan ibumu, ayah merasa berdosa padamu nak". Ayahku juga mengeluarkan air matanya.

" Perceraian ini terjadi beberapa bulan yang lalu, karena ibumu menganggap kalian udah dewasa untuk menerima semua ini, dan ibu udah siap mundur dari pernikahan ini" mendengar penuturan ayah aku hanya menangis, aku juga mendengar ayah menangis entah merasa gagal atau merasa brengsek. Aku terdiam memikirkan tahun-tahun berat yang dialami ibuku,. Masih banyak pertanyaan yang ingin aku sampaikan, tapi sepertinya aku makin akan terluka.

"Ayah, apakah ayah mempunyai anak dengan wanita yang ayah cintai? Pertanyaan ini tiba-tiba keluar dari bibirku.

‌" Ya, ayah punya anak 2 cowok yang sulung sudah mulai bekerja di perusahaan ayah dan yang bungsu satu tahun di atas adikmu Nayra, dia lagi melaksanakan studinya di luar negeri" aku melihat ayah menceritakan mereka dengan binar kebahagiaan. Ibuku pasti sedih ketika mengetahui suaminya telah menikah dahulunya, ibuku seperti perusak rumah tangga orang. Aku sedikit iri, apakah ayah juga bahagia mengingat atau menceritakan kami kepada orang lain. Ayah benar-benar brengsek.

‌"apakah mereka juga mengetahui keberadaan kami ayah?" Tanyaku sesenggukan.

‌" iya, bahkan istri ayah melarang keras ayah menceraikan ibumu". Luar biasa istri ayah. Aku mengelap air mataku dan menghabiskan minumanku. Aku hanya terdiam. Setelah cukup lama terdiam dan suasana hatiku agak membaik, akupun pamit kepada ayahku

"Hana, bolehkan ayah meminta sesuatu?" Aku mengerutkan keningku, aku mengangguk.

"Peluk ayah" ayahku merentangkan tangannya. Tanpa pikir panjang aku berhambur ke pelukan ayahku, pelukan yang dari bertahun-tahun lalu aku nantikan, ternyata begini rasanya dipeluk seorang ayah. Nyaman, terlindungi. Air mataku kembali menetes. Pelukan ini akan menjadi momen yang indah dan kuabadikan dalam ingatanku.

" Jaga ibumu baik-baik, ayah terlalu banyak melukainya" ayah membisikkan itu dengan lirih dan mengelus kepalaku.

"Jika kamu membutuhkan apapun datanglah kepada ayah" kurasakan ayah mencium kepalaku.

" Maaf ayah, kalimat itu aku butuhkan dari beberapa tahun silam, sekarang aku sudah bisa sendiri. Berikan perhatian ayah sepenuhnya pada Naura, bagaimanapun Naura yang paling terpukul dengan perceraian ayah dan ibu, karena yang Naura ketahui ayah dan ibu pasangan yang harmonis". Aku mengatakan ini dengan senyum, aku tidak dendam karena dibandingkan adikku, adikku yang butuh ayah karena mereka dekat sejak dulu.

Dalam perjalanan pulang, memori-memori lama berputar dan terbuka kembali, tentang ibuku yang gila kerja, tidak punya waktu. Padahal mungkin ibuku memcari pelampiasan dari sakit hatinya. Aku lalu merogoh handphone ku , aku menelpon ibuku, aku menangis dan memohon maaf. Ibuku seperti bingung dan menyuruhku hati-hati dijalan karena ibuku telah menungguku di rumah.

Saat sampai di apartemen ku aku langsung berlari menuju apartemen ku, seperti ada suntikan energi untukku mengingat ada ibuku yang menungguku.

Aku masukkan PIN dengan cepat, saat kumemasuki aparteman aku tidak melihat ibuku di ruang depan, ku ke kamarku ,mengganti pakaian dan menuju dapur, dan kulihat ibuku memasak ,dia sibuk dengan bahan-bahan makanannya. Aku langsung menghampiri dan memeluknya, maafkan aku ibu. Ibuku seperti heran dengan kelakuanku, dan dengan pelan ku katakan. Aku mengetahui semuanya ibu, tentang ayah.

"Maaf sudah salah sangka pada ibu", ibuku hanya tersenyum. Dia juga balas memelukku dan mencium kepalaku.

" Terimakasih, ibu sudah bahagia seperti ini, ada kamu ada Nayra. Ibu sudah bahagia." Aku makin mengeratkan pelukanku.

" Bu apakah Nayra tahu masalah istri ayah?" Pertanyaan ini tidak sempat kuta nyakan pada ayahku.

" Iya, Nayra sudah dekat dengan mereka. Dulu Nayra sempat marah, tapi setelah lama-lama dia bisa menerima keadaan itu. Ibuku menghapus air disudut matanya.

" Apapun itu, ibu bahagia kalian bisa mengerti. Maafkan ibu gagal mempertahankan pernikahan ibu". ibuku berkata seperti penuh penyesalan.

" Bukan salah ibu, kalau hal ini bisa membuat ibu memiliki kebahagiaan, ibu lebih merdeka atau tidak sakit hati, ibu tidak perlu meminta maaf" aku mengelap air mata ibu.

"Sayurnya kematangan Hanaya,, teriak ibuku. Aku hanya tertawa dan melepaskan pelukanku pada ibu