Satu hal yang seorang Sean Dwiki Ardanta ketahui, kerusuhan dalam demonstrasi yang dia ikuti ini ... makin malam, makin menjadi. Polisi yang jaga juga tampak mulai lelah, mahasiswa pun banyak yang tumbang satu persatu. Di sini, terlihat jelas bila kedua belah pihak jengah, mereka yang masih berdiri tegak, memaksakan diri dengan menjunjung keyakinan yang diyakini. Namun sejujurnya, keadaan ini membuat emosi mudah terpatik. Emosi pribadi yang bergejolak, membakar sumbu-sumbu emosi lainnya yang telah mengkerut dan DAR! provokasi terjadi, anarki meledak!
Rusuh, tempat mahasiswa berorasi kini berubah. Situasi tenang tadi pagi telah berbalik.
Teman-teman Sean bahkan ada yang melempari obor ke arah polisi. Ada pula yang terlalu barbar dengan melemparkan rantai sepeda bergerigi full set dengan gearnya ke arah aparatur keamanan. Sean juga ikut andil di kericuhan ini. Ia berjuang membukakan celah bagi mahasiswa di sana.
Bagaimana, mmm? Heh, Sean mengkoordinasi pasukannya untuk membajak salah satu water canon tentu saja. Ia panjat ramai-ramai tuh kendaraan raksasa dan ketika sudah ia ambil alih, lantang sekali Sean berteriak, "PAK MANDI YOK PAK, TERUS SEKSI-SEKSIAN ROTI SOBEK DI PERUT!!" dan menyemprotkan air bertekanan tinggi ini ke arah para polisi.
Heh, kan tidak adil kalau cuma mereka yang basah, om-om polisi harus juga dong!
"Hoi Sen, mending kita bajak truk lewat deh daripada ke water canon itu," satu teman Sean memberikan ide begitu dia turun dari water canon satu dan bergerak ke yang lainnya. Wajah serius ditunjukkan rekannya. Heh? Truk?!
"Nape lu? Takut ketangkep duluan sebelum sampe di water canon kedua?!" Sean memicingkan mata, gamblang ia menunjukan ekspresi tak suka. Ini demi kakak mahasiswa biar enggak kena semprot water canon, duh! Dan demi membukakan jalan! Serangan air bertekanan tinggi akan lebih mudah memporak-porandakan pak polisi! Polisi kan juga manusia!
"Njir. Bukan gitu, kita dorong polisi pakai truk baru kita naiki water canonnya, elah," menggetok kepala Sean dengan punggung tangan, kawan pemuda berambut acak-acakan ini menjelaskan. Yang entah bagaimana, tiba-tiba terdengar sebagai ide brilian di telinga Sean dan akhirnya mereka bergegas mengeksekusi ide itu.
Bukan hal yang sulit untuk mendapatkan truk, yah meski downgrade menjadi pick-up sih, tapi intinya Sean dan kawan-kawan mendapatkan kendaraan untuk membobol pertahanan. Dan BLAM! satu dari anak STM nekat ... lalu menubruk bapak polisi. Bukan, itu bukan Sean. Namun Sean bersorak-sorai ketika pagar pak polisi itu runtuh.
Berikutnya mereka mulai merangsek maju dengan melempari batu dan bersenjatakan kayu. Pak Polisi yang ada mereka pukuli tak tentu arah sambil tertawa-tawa dan lemparkan kata-kata provokasi seperti, "buka pak! Atau kami lindas lho! Kami lindaaaas!!"
Mahasiswa-mahasiswa yang melihat hanya bisa geleng-geleng kepala dengan kebarbaran mereka. Sean tahu jika tak banyak dari kakak-kakak itu memberikan pandangan 'kok gitu sih? Kasihan pak polisinya kan? Cara mainnya itu lho, salah ...' tapi dia pura-pura tak tahu. Dia berlaku bodoh amat dan terus tertawa sambil menakut-takuti aparat negara itu.
Setidaknya sampai tiba-tiba ada sirine dan entah bagaimana teriakan panik mulai bersahut-sahutan dikumandangkan dan sebuah barakuda menampakkan diri. Dan lucunya, kendaraan ini tak pandang bulu dimana ia berada; gas tetap diinjak oleh sang Pengemudi. Maksimal.
"AWAS!! MINGGIR! NANTI KETABRAK!"
"DEK AWAS DEK!"
Sean hanya bisa terpaku ketika melihat polisi-polisi sengaja menyingkir, membukakan jalan untuk kendaraan raksasa ini meluncur. Dia sungguh hanya bisa melihat, bahkan ketika teman-temannya bubar dan meneriakinya untuk mundur, dia hanya terpaku memandangi cahaya lampu mobil yang kian lama kian dekat.
Dan bunyi klakson DIIIIINNNN kencang memekakkan telinga berasal dari depannya.
"DEEEEKKK!!" tapi tidak, dia tak tertabrak. Tepat sebelum mobil itu menghantamnya, dari seberang sana ada sosok beralmamater yang melompat, mendekapnya, menyelimutinya kencang dengan tubuhnya yang lebar dan membawanya bergulung di aspal menghindari tabrakan maut itu. Lalu seruan pecah dari kanan dan kiri.
"SEAN!!!"
"HESA!!!"
Nama Hesa yang diteriakkan seseorang membuat Sean kembali ke bumi. Dia segera mendongak ke atas dan betapa terkejutnya dia melihat wajah tak asing ... berdarah di kepala sedangkan tangan-tangan itu menyelimutinya, melindunginya. Sebelum rintihan kesakitan pecah, "khhhh ..."
"KAKAK! KAKAK! KAKAK BAIK-BAIK SAJA?!" Sean buru-buru melepaskan diri, dia meraih Hesa yang masih terbaring dan memegangi kepalanya. Wajahnya kontan pucat pasi, pasalnya darah ... ADA DARAH MENGALIR DARI KEPALANYA!
"HESA!! Minggir!"
Sean terhenyak ketika dia didorong, Andre datang ke sebelah Hesa lalu cepat melakukan check singkat pada kawannya. Dari posisinya, Sean bisa melihat muka mahasiswa itu pucat. Tapi rupanya tak hanya Andre, beberapa mahasiswa dengan almamater serupa mulai mengitari mereka dengan Hesa sebagai pusatnya. Mereka tampak panik, ada yang bahkan berceletuk, "Hesa, panggilin ambulan ta?"
Dan di belakang mereka ... Sean hanya bisa duduk bersimpuh, matanya membelalak. Jantungnya berdetak sangat kencang, darah pelan-pelan susut dari mukanya; dia memucat seiring getaran di tubuhnya makin kencang.
Awalnya ... dia berangkat hanya untuk tawuran dan tak masalah atas nyawanya ini.
Namun melihat seseorang ... terluka karenanya, langsung di depan matanya ... Apalagi orang itu adalah ...
Itu membuat Sean tahu demo ini bukanlah lahan bermain. Kehilangan nyawa bukan persoalan enteng.
"Ora popo rek, aku ora popo. Jok alay ngene tala (nggak apa-apa, aku nggak apa-apa. Jangan alay seperti ini, tolong)."
Sean memandang ke arah Hesa yang berusaha duduk sambil memegangi kepala. Lelaki itu tampak bertukar kata dengan orang-orang di sekelilingnya dengan bahasa daerah mereka, yang entah apa, dia tak tahu. Hanya saja yang jelas, setelah Hesa duduk, pemuda itu memandangnya tajam. Dan keheningan seketika membebat.
"Apa yang aku bilang tadi, hm?" tanya Hesa pada Sean. Nadanya dingin dan penuh tekanan.
"M-maaf ... kak ..." lirih setelah terdiam beberapa saat, Sean akhirnya angkat bicara. Dia menunduk, menyesali perbuatannya yang ceroboh dan tak menurut apa yang disampaikan Hesa tadi.
Sean pikir, pria ikal itu akan menyemprotnya atau apa. Namun alih-alih disemprot, Hesa justru berkata pada Andre, "Ndre, cek dia gih. Pastiin nggak ada luka," sambil berdiri dan mulai berdialog dengan teman-temannya sekali lagi.
Kekhawatiran tentu bercongkol di dada Sean. Kenapa Hesa meminta dia yang diperiksa? Bukankah yang berdarah adalah Hesa? Dan sebenarnya apa yang mereka bicarakan? Kenapa sepertinya mereka mau ... pergi?
Dan rupanya benar ketakutan Sean, mereka akan pergi. Karena saat diperiksa, ada salah satu diantara mahasiswa beralmamater biru tua itu mengatakan, "cukup kalau naik g*jek sama kereta buat ngejar penerbangan terakhir."
"Hes, dia nggak apa-apa, cuma luka ringan sana sini karena tawurannya," Andre berdiri setelah menempelkan hansaplast di luka yang ada pada siku Sean. Hm? Wah, wah. Sikunya luka begini sampai jaketnya sobek waktu kapan nih? Dia tidak sadar!
"Lukamu itu lho Hes, obati dulu po'o! Nggak bisa naik pesawat lho kamu nanti!" Andre bergerak ke arah Hesa dan mulai membersihkan luka di kepala kawannya sebelum menempelkan hansaplast serupa dengan yang ada di tubuh Sean ke sana. Rupanya ... lukanya juga luka ringan, cuma beret yang agak besar saja sampai terlihatnya seperti berlinangan.
Setelah selesai diobati, Sean dan Hesa saling pandang beberapa menit dan ditutup lengosan panjang Hesa. Setelah itu tiba-tiba saja Hesa melepaskan almamaternya dan hap! dia lemparkan jas itu pada Sean. "Pake! Udah basah, luka-luka pula. Ibumu bisa gila kalau melihat anaknya pulang dalam keadaan begitu!" kata Hesa memperingatkan.
Berikutnya, bahkan sebelum Sean bisa bereaksi, lagi, Hesa sudah balik badan dan meninggalkannya.
Meninggalkannya yang hanya bisa memandangi punggung itu menjauh dengan meremat almamater biru tua di tangan.
Meninggalkannya di tengah tabuhan seru pada hati.
[prolog: end]