Chereads / URAKAN / Chapter 2 - PROLOG : The Day I Meet You (a)

Chapter 2 - PROLOG : The Day I Meet You (a)

Demonstrasi 25 September 2019 adalah aksi demo pertama yang dilakukan Sean, sebagai anak STM. Meski dia mengatakan, "gue dapet pelajaran PKN, elah. gue paham masalah kegilaan RUU ini," sejatinya dia tak tahu duduk masalah ribut-ribut ini tuh dimana, kecuali apa yang berkeliaran di internet: 1) Ayam makan di kebun orang lain, denda 10 juta. 2) Perkosa istri sendiri dipenjara. Iya, cuma itu yang dia tahu. Ada lagi yang tentang aborsi dan mengkritik presiden bisa masuk penjara, terus ada juga yang mengatakan gelandangan masuk penjara juga (untuk dipelihara negara, kah?) tapi nah Sean tak memperhatikan detail.

Terus ngapain dia ikut demo kali ini?

Seru-seruan saja dong, sekalian jawabin tantangan si bajigur bos STM tetangga, Herma. Kemarin kan mereka ngopi-ngopi gitu dah, rame-rame, eh Herma nyindir, "dih, STM lu kagak laki kalau kagak bela kakak-kakak mahasiswa besok. Lu ganti pakai rok sana!" saat manusia itu tahu jika Sean mager memerintahkan anak buahnya untuk turun ke jalan.

Dan ya, benar, alasan itulah yang mematik Sean langsung ambil toa terus mengumpulkan antek-anteknya di lapangan. Dengan suara menggelegar, dia memberi tahu mereka kalau besok mereka akan turun ke jalan ... tawuran sama Dewan yang katanya Perwakilan Rakyat, membantu kakak-kakak mahasiswa.

Iya, serius. Niat Sean mah cuma tawuran.

Namun jujur saja Sean sedikit tertantang setelah sampai di tempat kejadian perkara. Bagaimana tidak, mereka masuk dan khalayak ramai kasih tepuk tangan! Biasanya orang-orang dewasa kan memandang remeh anak STM dan melabeli mereka sebagai 'produk gagal' yang nggak guna, tahunya tawuran, dan lalalalala lainnya. Bagaimana dia tak bahagia dengan kondisi ini?

Semangat mahasiswa yang ada, rakyat kecil yang juga menyemangati, memopa darah di jantung Sean dan mematik hasrat untuk menunjukkan betapa lakinya dia. Dan akhirnya dengan senang hati mereka menyambut kericuhan.

Sean semangat lho, guys! Dia tak gentar dengan segala yang ada. Intinya satu: dia harus membuat kakak-kakak ini orasinya didengar jajaran elit yang super pelit itu. Gimana caranya dong? Harus masuk gedung DPR dong!

GO! GO!

Hanya saja, belum juga dia dan kawan-kawannya masuk, seruan melengking dari sana-sini.

"GAS AIR MATA! GAS AIR MATAAA!" seruan itu terdengar kuat di gendang Sean sebelum satu polisi melempar sebuah benda dan kepanikan meletus. Mahasiswa berlarian, kalang kabut menghindar. Teriakan wanita saling tumpang tindih. Teror merajalela, ketegangan membalut.

Jelas sekali Sean bisa mendengar teriakan protes dari para mahasiswa.

"WOI PAK! BANYAK CEWEKNYA INI PAK!"

"PAK POLISI! TUGASMU MENGAYOMI RAKYAT, PAK!"

"MUNDUR!!! MUNDUR ADA GAAAS!"

"ANJENG BELUM JUGA NANGIS KELAR UDAH GAS LAGI AJA!"

Dan ini membuat hati Sean geram. Gila! Polisi-polisi ini … terus saja melancarkan serangan untuk memukul mundur mereka, yang sedang berusaha menegakkan keadilan! Gila! Apa salahnya kakak mahasiswa hingga bapak-bapak terhormat berlaku demikian? Mereka tidak menjarah! Mereka tertip dan meminta baik-baik untuk berdiskusi dengan kaum elit, tapi apa yang mereka terima?!

Menggemeretakkan gigi, Sean memandang sekeliling. Ia melihat kakak-kakak mahasiswa carut marut. Jelas mereka saling bahu membahu menyelamatkan, jelas mahasiswa bersikeras melindungi mahasiswi. Namun kelakuan para polisi ini …

Tak bisa menahan kecamuk emosi, Sean merangsek ke jajar depan. Ia bertekad untuk menjaga di sini, pasang badan. "Kak! Mundur kak! Biar kita yang tangani!" serunya memberi informasi sambil berlari. "Joko! Buru!" teriaknya lagi, pada temannya yang kebetulan lagi menyalakan sumbu tongkat sihirnya—kembang api.

"Siap!" Joko ambil posisi. Ia menggerakkan badannya sedemikian rupa daaan, "AVADA KEDAVRA!!" serunya seraya melemparkan alat bertarungnya ke arah polisi.

Daaan psiiiuu psiuuu psiuuu—kembang api di sana berbunga, apinya memercik ke sana-kemari, memaksa barisan depan bapak-bapak polisi melonggar.

Hanya saja, sesuatu tak terduga terjadi. Sebuah tabung tiba-tiba terlempar, dari arah aparat keamanan Republik Indonesia di sana. Gas air mata! LAGI!

Terlalap geram karena sosok-sosok berbalut tameng dan rompi anti peluru itu tak kunjung dewasa, Sean bergerak nekat. Remaja berambut coklat gelap itu langsung ambil GAM sialan di sana—yang astaga! PANAS ANJENG!—dan melemparkannya balik ke para polisi sialan seraya berteriak, "Mamam nih!!"

"Woa! Gila!" Sean mendengar banyak orang berdecak kagum atas apa yang telah dia lakukan, membuat seulas senyuman bangga merekah di bibir tipisnya. Sebelum tiba-tiba saja ada tangan besar yang meraih tangannya, membuatnya terpaksa berbalik. Hanya untuk mendapati seorang mahasiswa berdiri di belakangnya, mengamati tangannya yang melepuh. Decakan meluncur dari bibir mahasiswa berema ikal itu sebelum teriakan menggelegar terdengar, "MEDIIIIS!!! Tangan bocah ini melepuh!" dan berikutnya Sean merasakan dia ditarik secara sepihak.

Spontan, pemilik manik biru gelap itu menyentakkan tangannya. Selain orang ini dengan seenaknya memanggil dia bocah, dia pun diperlakukan seperti bocah, anjay! Ditarik-tarik begini kan sialan!

Namun bergeming, tangan besar lelaki dewasa yang kini menyeretnya tetap mencengkal kuat, merenggut kebebasannya. Sean mengerutkan kening melihat hal ini, lalu mencobanya sekali lagi. Hasil sama dia dapatkan. Tangan besar itu masih melingkar dan dia masih ditarik keluar keramaian menuju pinggir jalan yang dipenuhi mahasiswa kelelahan dan tim medis.

Merasa kalau tunduk. patuh, mengikuti lelaki lebih tua ini tanpa memberontak akan menurunkan harga dirinya, Sean berusaha menghentakkan tangannya sekali lagi. Namun bibirnya juga ikut bekerja, ia berusaha merayu, "kak, tolong lepas. Aku tidak apa-ap—" hanya untuk terputus ketika mahasiswa pembawanya memutar badan tiba-tiba dan kembali menginspeksi lukanya.

Oh. God!—Sean sungguh lupa bernapas kala wajah pria ini dapat dia lihat secara close up. Anjing banget, Tuhan! Ganteng!

"Hes, opo'o? (Hes, kenapa?)" Rentet pikiran remaja itu terputus begitu suatu bahasa asing merasuk gendang. Dia menoleh ke samping, ke arah mahasiswa lain berpotongan rambut cepak yang tiba-tiba sudah berdiri di samping mereka.

"Arek iki maeng nyekel GAM, heb, (bocah ini tadi megang GAM, bro)" jawab pria ikal di depan Sean, membuat Sean mengerutkan kening tak paham. (GAM: Gas Air Mata).

"Janc-k, sumpah koen? (*****, seriusan?)"

"Delok iki nek rak percoyo! (Lihat saja sendiri kalau tidak percaya!)"

Sean merasakan tangannya berpindah, kini tangannya sudah dipegang oleh lelaki cepak sementara si Ikal meraih kotak p3k dan bercakap dengan orang terdekat untuk minta air. Berikutnya dua orang mahasiswa yang sama sekali tak ia kenal, merawat tangannya setelah mereka duduk di bawah pohon di atas trotoar yang agak lengang. Si Ikal sepertinya tidak begitu mengerti akan medis. Ia hanya bersedekap sambil memperhatikan kawannya kala mengobati.

Di saat inilah Sean dapat mengamati dua manusia di hadapannya. Awalnya dia kira mereka berasal dari Bandung mengingat almamater yang mereka kenangkan adalah biru tua. Namun alih-alih melihat gajah duduk tersemat di dada kiri, dia melihat adanya raja dengan dua anaknya. Ada tulisan Universitas Bra—

"Kamu nggak apa-apa ta dek? Sakit?" pertanyaan lembut membuyarkan konsentrasi Sean. Dia spontan mendongak, memandang sang Penanya, si lelaki ikal. Sebuah raut khawatir terlukis di wajah kokoh itu, bahkan dua alisnya naik ke atas. Yang mana hal ini seketika membuat Sean kembali lupa caranya bernapas.

Sialan! Apaan sih ini hatinya?! Kalau deket-deketan sama cewek saja nggak heboh, terus kenapa ia melihat abang ini jadi bergemuruh begini?!

"N-nggak apa-apa kak!" kata Sean cepat dan sedikit tersenggal karena pasokan udara di dadanya habis. Yang mana sialnya, gelagat Sean ini membuat pemuda berhidung mancung dengan kulit putih itu semakin mendekatkan wajahnya dan menginspeksi dirinya kembali dari ke atas ke bawah dengan tangan terlipat di dada dan raut tak percaya.

"Yakin ta?" masih dengan wajah tak percaya pemuda itu memperpendek jarak sebelum tiba-tiba tangan besar menempel di dahi Sean. Manggut-manggut merasakan suhu Sean, pria itu tampak berpikir keras sebelum bergumam, "hm ... panas. Kamu demam ta? Ayo ke Rumah Sa—aaaww! Jangkr*k, lapo se awakmu, Ndre? (******, ngapain sih, Ndre?)" dan berseru kesal ke arah si cepak dengan bahasa yang ... lagi, tak Sean mengerti.

"Ya iyalah dia panas. Kita baru saja panas-panasan. Nggak usah lebay, hoo!!"

Sean terdiam mendengar percakapan dua orang ini. Namun perhatiannya tertuju pada satu titik, yakni lelaki berambut ikal itu. Dan jantungnya nggak karoan menabuhkan genderang tanpa henti.

Okay, dia tahu jika orientasinya memang perlu dipertanyakan. Tapi menyadari hal ini di sini, saat segenting ini? Hanya dengan melihat kakak mahasiswa gans dengan alis tebal dan rahang kokoh ini? Sial!

"HESA! HESA DARI JATIM, DIMANA YA?! HESA KOOR JATIM, SINI DULU MAS!"

Sean mengerutkan kening ketika suara menggelegar itu membelah keriuhan dan pemuda ikal yang sedari tadi dia perhatikan tampak memberikan reaksi. Jantung Sean mendadak mencelos, jangan bilang habis ini kakaknya akan …

"Cie yang dicariin, cie sibuk ..." lelaki berema cepak terkekeh ketika lelaki tempat Sean menambatkan perhatian mulai berdiri.

"Bacot koen. (Bacot kamu)," umpatan keluar dari bibir tipis itu, "eh dek, kamu sama mas Andre dulu ya. Aku dipanggil. Jangan kemana-mana, tanganmu masih gitu juga. Nggak usah gaya sok heroik. Hati-hati, kamu masih bocah," kata lelaki yang ternyata bernama Hesa pada Sean, serekah senyum melengkung di bibir lelaki beralmamater itu. Senyum yang seketika, lagi, merenggut kemampuan Sean bernapas.

Bangsiiiiad. MANEEEES.

Sayangnya, tanpa menunggu jawaban Sean, pemuda ini pergi begitu saja. Yang mana itu membuat hati Sean sedih, hingga tanpa sadar dia mengulurkan tangan, seolah ingin meraih. Namun lelaki itu … pemilik punggung lebar itu, tak sedikit pun berbalik. Ia fokus bergerak, menyeruak keramaian. Sean merasa perutnya seolah diaduk melihat hal ini. Belum juga debaran hatinya reda, dia harus merasakan rasanya kehilangan ... Menyedihkan!

"Kak Andre ... Kak Hesa itu orang man—lho, kak? Kak Andre?" tak ingin petunjuk satu-satunya akan siapa lelaki itu hilang, Sean menoleh ke arah Andre. Sedihnya, belum juga dia bertanya, rupa-rupanya Andre juga sudah menghilang dari sisinya. Sean bisa melihat lelaki cepak itu dipanggil juga untuk mengobati nun jauh di sana, sepertinya ada yang baru terkena water canon dan perutnya sakit. Seorang wanita.

Menghela napas panjang, Sean bangkit. Dia memandang ke kanan dan ke kiri mencari yang dia kenal sebelum akhirnya dia menghela napas panjang dan berlari ke depan.

Temannya tak ada yang duduk santai di belakang sepertinya. Kalau dia berleha-leha, mau di taruh mana ini muka sebagai ketua pasukan STM Nusantara?!

[tbc]