Chereads / URAKAN / Chapter 21 - 17: Hesa si Pecinta Wang

Chapter 21 - 17: Hesa si Pecinta Wang

Hesa memilih memasak sambil menunggui Andre coli di kamar mandi. Entah bagaimana dia yakin kawannya belum sarapan sebelum melenggang kemari. Dan yak, menjadi sosok yang lebih tua, Hesa entah bagaimana merasa punya tanggung jawab untuk ngopeni* Andre. Makanya dia masak. Sebisanya sih, masih terlalu mager buat bikin yang repot.

Apa itu yang sederhana menurut Hesa? Pecel dong. Apa lagi?

Makanan yang dijual mahal di restaurant kalau berubah nama menjadi 'salad with peanut sauce' itu super mudah untuk dibuat. Tinggal rebus sayur—di kulkas Hesa masih ada sawi hijau dan kecambah—lalu lumerin sambel pecelnya pakai air panas. Nyam … kelar. Lauknya apa nih? Kerupuk dong. Hesa ogah goreng-goreng.

Mungkin karena pemuda berhidung mancung itu sudah terbiasa dengan urusan dapur, saat dia selesai menyiapkan makanan bertepatan dengan selesainya Andre ngocok dari kamar mandi. Jadi Andre keluar-keluar, langsung melihat hidangan tersaji di atas meja kecil di dekat dapur dan Hesa yang … memakai apron.

Warnanya kuning ada gambar meong di tengah dada.

"Woa … sangar-sangar uwu," komentar Andre sambil bertepuk tangan. Dia melihat ke arah kawannya yang sedang membuka bungkusan kerupuk sambil tepuk tangan. Hesa hanya tertawa kecil mendengar hal ini. "Hadiah iki, heb (ini hadiah, bro)," katanya enteng sambil melenggang ke arah kamar.

Sedang Andre, pandangannya jalan-jalan. Dari atas dulu; dia mengagumi betapa Hesa tampan dengan poni disibak ke belakang dan dijepit menggunakan jepit rambut lidi hitam. Lalu turun ke badan Hesa, turun lagi ke kaki dan ughhh. Andre merasakan selangkangannya berdenyut nakal ketika melihat si ikal itu pakai celana pendek sepaha.

'AJAJAJAJA. PAHANYA MULUS BRO! IH MELEKUK ADUHAAAI! INJEK AKU MAS PAKE ITU!!!'—atau begitulah pikiran Andre ketika melihat lekukan kaki kawannya. Dia sampai menelan ludahnya sendiri juga.

Sampai tiba-tiba … matanya yang penuh napsu dilempar keset oleh Hesa.

"Apaan sih—" Andre protes, dia menepis keset basah yang baru saja nempel di mukanya. Dia melihat kaki kiri Hesa masih bergerak turun dari posisi menyungkil dan menendangnya. Iya, jadi ceritanya, tanpa bantuan tangan, Hesa tadi bisa mengambil keset di lantai dan melemparkannya ke wajah Andre. Dan gerakan perlahan kaki Hesa … membuat Andre bisa melihat lekukan paha.

'Uw—uwaaaa~'

"Tak kucek mripatmu nganti picek, suwi-suwi Ndre. (lama-lama matamu aku gosok sampe buta lho Ndre)," gerutu Hesa seraya mendengkus kasar. "Cok. Koen cek nemen e talah. Ngguilani (C*k. Kamu kok kebangetan pol sih. Menjijikkan)." Ia berikan tatapan tak suka pada Andre sebelum mengambil langkah, meninggalkan temannya di sana menganga.

Tapi Andre jadi Andre mah … digituin kagak ngefek. Yang ada dia malah tersipu malu. Terus dia malah makin menggodai Hesa. Sengaja nih, dia ambil posisi duduk di sebelah Hesa meski sofanya banyak yang lebar. Terus dia kasih kedip kedip mata menggoda sambil senyum-senyum nggak jelas.

Yang digodain sampai merinding sendiri. Sumpah. Hesa langsung cap cip cus jaga jarak. Seraya geser pantat dia begidik, "cok. Koen kok nguetek ae to? (anjir. Kamu ini kok ganjen bet sih?)"

Andre hanya terkekeh melihat hal ini. Tapi dia tak lagi melakuan pepet memepet Hesa. Dia duduk manis di tempatnya, ambil piring dan nasi dari baki yang sudah tersaji sebelum disusul sayur, sambal dan kerupuk. Intinya fokus Andre beralih, dari menggoda pemuda yang lebih tua itu ke sarapan pagi.

Hesa yang melihat hal ini menghela napas lega. Dia pun melakukan apa yang dilakukan Andre. Bersama, mereka menyantap sarapan. Dua orang ini asik menyantap pecel sambil nonton film, bukan pekob (bokep) tentu saja. Untuk sejenak, keheningan membalut, mereka fokus pada drama yang tersaji.

Cerita ini mengisahkan tentang seorang agen yang menyamar menjadi pacar seseorang untuk mendapatkan informasi-informasi rahasia. Mulanya orang itu membangun dinding sangat tinggi dan tak hiraukan agen ini. Namun tanpa menyerah, si agen berusaha terus menggempur dinding pemisah dan mendapatkan hati target. Kemudian terang-terangan, agen itu mengkhianati, menghempaskan kepercayaan seseorang, membuatnya merasa menjadi sampah.

Jalan film ini, entah mengapa membuat bulu roma di sekujur tubuh Andre berdiri. Listrik statis menjalari tubuhnya. Dia menegang. Saking tegangnya sampai dia lupa bernapas.

Kisah ini sangat mirip dengan …

Andre melirik ke arah kawannya di ujung sofa sana. Tampak Hesa pasang tampang b-aja. Gerak-gerik tubuhnya seperti tak ambil pusing.

Sampai tiba-tiba … pada scene agen itu meminta maaf karena telah menipu si tokoh utama, bibir tipis itu berucap, "enak e pol talah. Lungo sakwise nggawe loro, moro maneh, modal abab eh entuk ngapura (enak sekali ya. Pergi setelah bikin orang sakit, datang lagi terus ngabab eh dapet maaf)."

Andre merasa petir menyambar di siang bolong. Kepalanya seperti robot, krek krek krek, menoleh ke arah Hesa. Yang ditolehin masih fokus pada film sambil menguyah kerupuk. Gumaman meluncur dari bibir Hesa lagi, "nek aku sih wegah. Mending golek liyo (kalau aku sih males. Mending cari yang lain)."

Andre hanya bisa menegang. Dia menunduk dan menggenggam tangannya kuat-kuat. Keringat dingin mengalir.

Ingatannya terpental pada masa lalu. Bayangan dia berpura-pura tersakiti dengan tubuh telanjang dan jari menunjuk Hesa yang kebingungan, merasuk. Entah bagaimana, bak ombak, ingatan itu membuatnya beku. Menjadikannya kehilangan harapan.

Jika selama ini Hesa memiliki mindset yang demikian, maka pasti dirinya, hubungan mereka …

Tak akan kembali seperti sedia kala.

Menggigit bibir, Andre berusaha menegarkan diri. Dia berusaha untuk tidak menangis.

Nasi sudah menjadi bubur.

***

Getaran ponsel Hesa memecah keheningan yang membalut ruangan itu. Hesa yang memang tak mempermasalahkan sunyi, tak masalah dengan apa yang terjadi. Dia tahu sih, Andre dan diam sangat tidak cocok sekali. Namun dia terlalu lelah untuk mengomentarinya. Karena itulah, lelaki berambut ikal ini baru bergerak kembali ketika interupsi terjadi. Kali ini ponsel adalah pelakunya.

Ogah-ogahan, Hesa bangkit dari posisi duduknya. Dia bergerak ke arah meja kerja, menyambar ponsel dan membuka pesan yang … hah. Dari si peranakan bule. Lagi.

[[ Wijaya : Hes. Lu tahu Sean Dwiki Ardanta? ]]

Hesa menggaruk rambutnya membaca pesan ini. Sean? Siapa itu? Tidak, dia tak kenal. Kalau pun mereka pernah ketemu dan orang itu mengaku mengenalnya … bagi Hesa dia tak penting. Buktinya saja dia lupa siapa si Sean ini, kan?

Hesa mau mengetikkan jawaban jika dia tak kenal. Namun tiba-tiba pesan masuk lagi ke ponselnya. Wijaya lagi dan kali ini dia menyematkan file di pesannya.

Hesa menaikkan alis melihat hal ini. File itu berbentuk mp4. Dari size sepertinya lagu, bukan video.

Huh? Ngapain juga si konglomerat memberinya yang demikian?

Namun belum juga Hesa mengetikkan apa yang ada dibenaknya atau sekedar bertanya apa maksud si Wijaya mengirimkan sesuatu seperti ini … rentet pesan masuk. Kini link menuju cerita di sebuah situs atau note pada media sosial. Rata-rata memiliki tagar stmxmahasiswa.

Hah?

Hesa menganga. Dia bingung setengah mati. Hesa yakin nih, si Wijaya sedang salah obat sampai nyepam begini. Apaan pula stmxmahasiswa?

Ding! Satu pesan masuk sekali lagi.

[[ Wijaya : Jadi gua bikin acara teater yang bakal lu lihat nanti dari link-link itu dan dari cerita lu kapan hari itu. Semoga lu nggak nuntut gua masalah copyright pas lu lihat dramanya entar. ]]

Hesa yang tak paham hanya melongo. Tapi otak bisnis uang uang uangnya bekerja. Meski tak tahu sebenarnya duduk perkaranya apa … dia mengetikkan balasan.

[[ Hesa : kompensasinya bro? ]]

Tik tok tik tok.

Waktu bergulir. Hesa melihat dua tanda di bawah pesannya berubah jadi biru. Dia menunggu … menunggu badai uang dari Wijaya.

Datanglah … datanglah …. Uououou!

Ding!

[[ Wijaya : 10 juta cukup? ]]

Hesa tersenyum. Dia membalas cepat.

[[ Hesa : K. ]]

Tak lupa ia mengirimkan nomor rekeningnya.

————-

Pojok bahasa:

Ngopeni (jawa): mengasuh

[]