Chapter 4 - Pedih

Angin berhembus kencang. Pada senja yang akan menghilang. Awan hitam itu berhasil menyembunyikan guratan jingga yang indah. Air hujan mulai turun, menjatuhkan dirinya pada bumi. Apa ia tak lelah terus terjatuh di atas apapun pada bumi? Apa ia tak lelah memberi kehidupan pada bumi?. Meskipun ia tahu bumi tak pernah membalas apapun pada hujan.

Seorang gadis terduduk kaku di di balik jendela kamarnya. Memperhatikan setiap tetes air yang menghantam kaca jendela. Menikmati bau hujan yang menyeruak masuk dari celah jendela. Tatapannya kosong. Seakan menerawang jauh dalam ingatan masa lalu.

"Frand, maaf...." Hanya kata itu yang bisa lolos dari mulutnya yang bergetar. Hatinya masih sesak menahan pilu. Matanya mulai menghangat. Membiarkan air mata jatuh begitu saja.

Malam telah tiba. Seperti biasa kisahnya dimasa lalu seperti cerita penghantar tidur yang tak pernah bosan ia ingat. Meski ribuan kali ia mengingatnya tetap saja masih akan tetap sama. Terasa getir yang menyesakkan dada.

Matanya mulai berat, tapi air mata masih terus mengalir membasahi pipi. Beberapa menit kemudian, mata itu terpejam dengan sempurna.

====

Efrand POV

' Mengapa kau tega lakukan ini padaku? Aku kira kau berbeda. Tapi kau lebih buruk dari mereka. Bisa-bisanya kau katakan hal itu. Sangat menyakitkan untukku. Aku bahkan mengira bisa hidup bahagia jika terus bersamamu. Tapi kenapa???Kenapa???'

Matanya terpejam, tapi tak bisa menutupi kesedihannya. Ia seakan frustasi. Kehilangan semangat hidup untuk yang kedua kalinya.

' Dasar kau perempuan tak tau terimakasih. Aku telah memberikan hatiku untukmu. Telah ku berikan cinta yang tulus pada dirimu. Bahkan aku berusaha memberikan senyuman manis saat dadaku pedih. Tapi memang sepertinya kau tak peduli sedikitpun dengan hatiku'

Efrand terus meracau dalam hati. Hatinya telah hancur. Harapannya sirna. Dan entah berapa kali ia memaki gadis itu.

Matanya sangat merah menahan air mata agar tak jatuh. Dan tanpa sadar ia telah masuk dalam dunia mimpinya.