Bunga mawar di taman dipetik olehnya, lalu dimasukan ke dalam keranjang yang dibawa oleh pengawalnya. padahal, para pelayan dan prajurit lain sudah memintanya untuk bersiap-siap. tetapi, sepertinya ia ingin menyiapkan sesuatu. bukan hanya sekedar memetik, mungkin ia ingin merangkainya menjadi sesuatu yang indah.
Begitulah pikir sang pengawal, seraya memertahankan kegagahannya memegang keranjang berisi penuh bunga-bunga. sudah terhitung kurang lebih satu jam ia berdiri dengan lengan kanannya menggandeng keranjang itu tanpa malu. di saat kesatria yang lainnya hanya berjaga di pintu-pintu istana seraya membicarakan dan mentertawakan, ketika para pelayan melintas memandang dan saling berbisik satu sama lain, mungkin bisa dikatakan hanya dia yang paling bersabar menerima semua itu.
Bukan karena tanpa sebab, namun juga bukan karena ia seorang penjilat. tetapi, ikrar dan sumpah yang sudah ia ucapkan dari mulutnya mengikat hati, jiwa, juga raga untuk menjaga tuan Puteri dan menuruti apapun perintahnya. ini adalah perintah dan permintaan dari Yang Mulia sebelum meninggalkan Ibu Kota V-Rash. dan seharusnya, hari ini mereka berdua juga akan menyusul.
Tetapi tetap saja, Tuan Puteri masih sibuk memilih bunga mana yang terbaik untuk dirangkainya menjadi sesuatu. bunga-bunga di taman ini terlalu banyak jumlahnya, juga macamnya. tulip, mawar, melati. sudah terlalu banyak yang ia petik namun tetap terasa tak cukup. apakah di langit juga membutuhkan banyak warna untuk menciptakan pelangi?
Tuan Puteri kembali setelah memetik beberapa bunga lainnya, kemudian ia masukan ke dalam keranjang. tepat setelah matanya jatuh ke arah keranjang itu, ia baru menyadari kalau sudah tidak ada ruang lagi untuk bunga yang ia petik tadi.
Wajahnya berubah sedih hingga tidak disangka mulutnya juga menunjukkan hal itu setelah mengucapkan "Yah..."
"Sepertinya keranjang ini sudah penuh dengan bunga-bunga yang anda petik."
"Sayang sekali, padahal bunga ini adalah yang terbaik. aku ingin merangkainya untuk para warga di sana."
Sang prajurit membalasnya dengan senyuman:
"Lalu bagaimana dengan yang di keranjang ini, Tuan Puteri? bukankah Anda hanya akan memetik yang terbaik, bukan? jika demikian, semua yang anda taruh ke dalam keranjang ini adalah yang terbaik dari Tuan Puteri."
"Kau benar, aku terlalu bersemangat mengumpulkan semua ini agar bisa ku berikan pada anak-anak di malam perayaan. tapi, semua bunga-bunga ini..."
Sang pengawal diam sejenak, ada jeda beberapa saat ketika tuan Puteri menatap bunga-bunga di kedua lengannya.
"Hamba tahu dimana bunga-bunga ini harus diletakkan."
Ketika bunga itu diserahkan oleh pengawal setianya, pipinya berubah merona merah. apa yang dilakukan oleh pengawalnya membuat Tuan Puteri tersipu malu karena bahagia menerima pemberiannya itu. bukan sesuatu yang istimewa, karena itu semua berasal dari bunga yang ia berikan. tetapi, semua itu dirangkai rapih di telinga kanannya dengan variasi warna-warni nan indah.
Meskipun bukan sebuah rangkaian mahkota bunga, tetapi ini lebih dari cukup.
"Bagaimana Tuan Puteri? bunga-bunga ini adalah perlambang kecantikan dan keanggunan anda, perhiasan kerajaan ini. anda adalah bunga terindah yang membuat seluruh warga akan merasa senang dan tersenyum melihatnya. karena anda adalah warna hidup mereka, kebanggaan negeri ini."
Wajah sang putri kian merah, ia mulai merasa benar-benar malu.
"J-j-j-j-ja-ja-ja-ja... jangan memujiku seperti itu, aku mohon!"
Sang pengawal itu hanya tertawa...
"Cyberjack!"
Ketika melihat wajah Tuan Putri yang marah, justru terlihat semakin cantik dan lucu di mata pengawalnya itu.
"Mengapa anda harus malu Tuan Puteri? anda memang pantas mendapatkan pujian itu, karena anda permata negeri ini."
Sang pengawal mengatakan itu seraya tersenyum, ketika ia melihat itu laksana sungai sesuatu mengalir menuju hatinya. sebuah kesejukkan. namun, ia tidak tahu apa yang mengalir ke dalam hatinya itu.
Tuan Puteri hanya tahu Cyberjack adalah pengawal setianya. ia diangkat oleh ayahnya atas rekomendasi dari kedua saudaranya yang lain. bisa dibilang, mereka bertiga adalah prajurit kelas emas dimana selalu berhasil menggagalkan penyusupan musuh ke negeri ini. terlebih, setelah mendengar kabar tidak mengenakan tentang ayahnya setelah seseorang tinggal di dekatnya.
Ia lupa siapa nama orang itu dan julukannya. karena ia hanya mendengar dari orang-orang dan tidak tahu pasti kebenarannya.
Ketika melihat seorang pelayan datang seraya membungkuk, ia baru sadar berapa banyak waktu yang telah ia habiskan hanya untuk memetik bunga.
Padahal para prajurit dan pelayan lainnya sudah mengingatkannya akan jadwal berangkat mereka pagi ini. sekarang, sudah sangat terlambat!
"Astaga! sebaiknya aku segera bersiap-siap."
"Tidak perlu Tuan Puteri, saya sudah meminta tolong para pelayan mengurus kebutuhan anda saat memetik bunga tadi. jadi, hanya anda saja yang harus segera naik kereta."
"Kalau begitu aku juga menitip bunganya padamu!"
"Tapi-"
Mengabaikan pengawalnya, ia hanya berlari seraya berteriak: "Terima kasih, Cyberjack!"
*****
"Kalau begitu, hamba mohon mundur diri dari hadapan anda."
Yang Mulia mengangguk, "Kau boleh kembali istirahat. biar wakilmu yang bertanggungjawab hari ini."
"Baik Yang Mulia."
Setelah melihat anggukkan kepala sang raja, ia menundukkan kepala dalam-dalam dan mundur perlahan-lahan sampai menyentuh pintu megah itu. ketika pintu itu terbuka, langsung kepala prajurit lenyap dari pandangan.
Ruangan menjadi hening. yang terdengar hanyalah napas mereka berdua saja. anak itu dan yang mulia.
Posisi anak itu masih bersujud karena ia belum mendapat perintah untuk mengangkat wajahnya. ya... begitulah dia, anak yang sangat penurut, bahkan terlalu penurut. sampai-sampai yang mulia bingung bagaimana mengurusnya karena ia tidak pernah bercakap sepatah katapun sejak diselamatkan.
Jangankan untuk berbicara, yang mulia tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh anak itu. senang, sedih, ataukah memang ia mati rasa? satu-satunya yang nampak dari wajahnya itu hanya garis lurus dari bibirnya yang tak mengungkapkan apapun.
"Bangkitlah, nak. pembicaraan kita sudah selesai." Titah beliau pada anak itu.
Tanpa menjawab apapun, ia hanya mengangkat kepala dengan kaki masih bertekuk lutut.
Yang mulia sudah tahu akan hal ini, beliau tidak terkejut menghadapi sikap anak ini. meskipun dalam senyum pahit hangatnya itu menyembunyikan keresahan dan kebingungan yang tak berujung.
"Ada apa, nak? apakah ada sesuatu yang ingin kau sampaikan padaku? ceritakanlah pada rajamu ini, ia akan mendengarnya!"
Anak itu tidak menjawab apa-apa. bahkan suaranya tidak terdengar sama sekali.
Sejujurnya, yang mulia berusaha menyembunyikan kekesalannya. di sisi lain, beliau tidak ingin membuat anak itu menjadi penghancur negerinya sendiri.
Namun, beliau juga memiliki darah manusia. kesabarannya terbatas akan keadaan. hingga tak sengaja ada sedikit nada seperti kebencian terselimut dalam suara berat itu saat berkata:
"Jadi kau tidak ingin menceritakannya?"
Anak itu membalas. bukan dengan kata-kata, tetapi hanya dengan gelengan kepala.
Percuma saja, ini tidak akan berhasil!
Entah apa anak ini tidak bisa berbicara atau memang ia tidak mau untuk bicara, tetap saja yang mulia tidak bisa membuat mulutnya bersuara meski hanya sekedar helaan napas.
Ketika ia masih berada di El Dunya, memang anak ini tidak pernah berbicara sedikitpun. bahkan kepada anak-anak sebayanya di sebuah tempat yang dinamakan sekolah. justru banyak orang yang membencinya bahkan berusaha melukai anak itu. namun karena ia selalu berhasil menghindar dari serangan mereka, anak itu tetap hidup tanpa luka sedikitpun. meski hampir ia membunuh salah seorang siswa di sana, namun emosinya masih dapat dikendalikan.
Menurut kepala pelayannya, anak itu masih trauma karena kehilangan kedua orangtuanya dan kedua sahabat dekatnya. hal yang paling menyedihkannya ialah sang malaikat mautnya. mereka mati di tangannya, membuat anak itu benar-benar lupa cara tersenyum kembali. bahkan hingga sekarang, ia tidak mau untuk mengeluarkan suara dari mulutnya walau hanya untuk menghela napas.
Apakah ia juga lupa cara berbicara? apakah ia lupa bahasanya sendiri?
Yang mulia termenung sejenak...
Berpikir....
Berpikir....
Berpikir....
Ah... benar juga.
"Nak..."
Anak itu mengangkat kepalanya, mendengar panggilan rajanya.
"Bagaimana jika kita berduel di luar? sudah cukup lama aku tidak mengayunkan pedangku ini. mungkin kau bisa membantuku untuk menghilangkan kekakuan lenganku ini. bagaimana? kau tidak akan menolak perintah rajamu ini, bukan?"
Anak itu mengangguk, setuju dan menerima perintah tanpa menanyakan apapun.
Meski tidak terlihat, yang mulia yakin anak itu mungkin cukup senang karena bisa berlatih tarung bersama dengan beliau. siapa prajurit di sini yang tidak senang jika diberi kesempatan bertanding dengan raja mereka?
"Seperti biasanya, nak. kau menuruti perintahku tanpa bertanya sedikitpun."
Anak itu diam tak membalas.
"Ayo, kita keluar."
*******
Menggenggam tangan kanan di belakang punggungnya, ia berjalan dengan gagah di atas tanah seperti seorang pelayan. tidak membuatnya terlihat rendah, melainkan mulia dan elegan. jas hitam legam itu membuat siapapun yang memandang terkagum-kagum. padahal bahan yang ia gunakan untuk menjahitnya sama seperti seragam yang pelayan lain kenakan.
Dialah kepala pelayan kerajaan ini, Halim Khdetrazai. orang yang sama yang menjaga anak itu ketika masih berada di El Dunya hingga akhirnya berada di Varaashia.
Menelusuri lorong-lorong dengan cahaya terang dari lampu kristal yang berkilauan, bukanlah tanpa sebab atau hanya sekedar jalan-jalan. ada dua hal yang sedang ia lakukan dan ini menjadi kewajibannya.
Yang pertama melihat kinerja pelayan lainnya. memastikan seluruh ruangan istana ini bersih dan rapih tanpa debu sedikitpun.
Yang kedua melihat para koki istana memasak hidangan yang terbaik dan memastikan dapur bersih.
Dan yang terakhir... terkait anak itu. ia tidak melihatnya, bahkan yang mulia sendiri.
Apakah mereka berada di suatu tempat?
"Tuan Halim."
Seorang pelayan membungkuk ketika melihatnya melintas. Ia sedang mengelap kaca yang berdebu.
"Kanha."
"Adakah yang bisa saya bantu Tuan?"
"Aku mencari Yang Mulia dan Tuan Muda Gustaph. apakah kau melihat mereka?"
"Yang Mulia berada di halaman belakang istana bersamanya. saya rasa, mungkin mereka akan berlatih pedang."
"Begitu ya? sudah lama aku tidak melihat anak itu berlatih. bahkan sepertinya, aku belum pernah melihatnya berlatih dengan yang mulia sebelumnya."
"Saya pernah melihat latihan mereka berdua, itu cukup menegangkan. baik Gustaph dan Yang Mulia, mereka memiliki kekuatan yang tidak bisa ditandingi oleh siapapun."
"Benarkah? aku jadi tidak sabar melihat latihan mereka."
Sebelum Halim melangkahkan kaki kembali, ia merasakan guncangan hebat membuat sekitarnya turut bergoyang. lampu-lampu kristal, meja-meja, dan jendela berayun ke sana ke mari karena tak kuasa menahan guncangan tersebut.
"Gempa bumi?"
Karena negeri ini terletak di wilayah pertemuan tiga lempeng besar, maka sudah ditakdirkan ia akan mengalami berbagai macam gempa. beberapa gunung juga masih aktif di seluruh wilayah Varaashia termasuk di Azkha ini ada gunung tinggi yang letaknya tak jauh dari perkotaan. namun, sejauh pantauan para penyelidik gunung sampai sekarang ini, ia tidak menunjukkan aktivitas apapun. lalu darimana asal gempa ini dan mengapa kuat sekali?
Perasaan Halim menjadi tidak enak.
"Tuan Halim!"
Ia tidak mendengarkan panggilan Kanha bawahannya, berlari menuju rajanya hanya itu yang ia lakukan....