Dealova sedang dalam suasana hati yang baik hari ini. Lihatlah senyuman yang mengembang di wajahnya itu.
"Kau sedang bahagia sepertinya." Sarah yang sejak tadi memperhatikan Dealova dari jarak beberapa meter kini sudah mendekat.
"Tentu saja. Besok aku sudah bisa pergi melukis lagi. Ah, senangnya."
"Jadi begini wajah senangmu. Manis sekali." Puji Sarah.
Dealova yang biasa memasang wajah tenang memang sudah sering tersenyum sejak pagi tadi, tepatnya sejak ia dan Aeden berbaikan.
"Siapa yang manis, Sarah?" Aeden datang mengejutkan Sarah dan Dealova. "My Love?"
Debaran aneh dirasakan oleh Lova ketika Aeden menyebutnya 'My Love'
"Dia memang manis, sangat manis." Aeden memeluk Lova dari samping.
"Auh, aku tidak tahan melihat ini." Sarah merasa kepanasan. Yang benar saja, dia ini tidak memiliki kekasih dan matanya yang suci harus dipaksa melihat adegan romantis Aeden dan Lova, tidak, Sarah tidak sanggup, ia menyerah.
"Haha, dia lucu sekali." Aeden tertawa melihat Sarah yang pergi dengan mengipas-ngipaskan tangannya di depan wajahnya.
"Kau ini. Lepaskan aku!" Dealova memberontak.
"Ayolah, Love. Aku merindukanmu, sudah lama aku tidak memelukmu."
"Berlebihan, baru dua hari."
"Tapi aku merasa dua tahun tak melihatmu."
"Kau mulai membuatku mual lagi."
Tawa Aeden semakin keras saja. Ia mengusili wajah Dealova dengan hidungnya.
"Geli, Aeden. Astaga, kau seperti anak kecil saja!" Dealova bersuara seperti tak suka tapi nyatanya ia tak memberontak. Wanita memang selalu penuh rahasia.
Pemandangan yang sangat bagus untuk dilihat oleh seseorang yang tengah mengharapkan Aeden.
"Ekhem!" Suara deheman itu mengganggu aksi Aeden. Aeden memiringkan wajahnya untuk melihat siapa yang datang.
"Lovita?" Ia mengerutkan keningnya, untuk apa Lovita datang ke kediamannya. Ia pikir ia tidak menghubungi Lovita sejak hilangnya Lova dan dia juga tidak punya urusan dengan Lovita.
"Apa yang membawamu kemari, Lovita?" Aeden bertanya tanpa mau melepaskan Lova.
Lovita mencoba bersikap tenang meski saat ini ia ingin meledak. Ia cemburu, ia benar-benar cemburu melihat Lova yang berada di pelukan Aeden. Itu tempatnya, itu posisinya, bukan Lova yang harusnya disana tapi dirinya, Lovita.
"Mengembalikan apa yang kau tinggalkan di rumahku."
Aeden mengerutkan keningnya. Apa kiranya yang ia tinggalkan di kediaman Lovita.
"Kau meninggalkan dompetmu." Lovita mengeluarkan barang yang ada di dalam paper bag kecil yang ia bawa.
"Ah, itu." Aeden ingat sekarang. Ia memang merasa kehilangan dompetnya. Akhirnya Aeden melepaskan Lova, ia melangkah menuju ke Lovita untuk mengambil dompetnya. "Silahkan duduk, Lovita." Aeden mempersilahkan Lovita untuk duduk. Ia memerintahkan pelayan untuk membuatkan minuman untuk Lovita.
"Love, apa yang kau lakukan disana? Kemarilah!" Aeden memanggil LOva masih dengan panggilan yang kini menempel erat di lidahnya.
Love? Lovita meringis jijik mendengarnya. Secepatnya ia akan membuat Aeden membuang Lova.
Lova mendekat seperti apa yang Aeden katakan. Ia duduk di dekat Aeden.
"Ah, mengobrolah sebentar. Aku ke kamar mandi dulu." Aeden bangkit dari tempat sofa dan melangkah pergi.
Lovita mulai menunjukan wajah aslinya sementara Lova, dia tetap tenang seperti biasanya.
"Kau sepertinya menikmati jadi wanita sementara Aeden." Lovita mulai mencoba untuk menyerang Lova, "Jangan terlalu menikmatinya, kau akan berakhir bunuh diri jika kau mencintainya lalu dicampakan olehnya."
"Apalagi yang bisa aku lakukan selain menikmatinya." Lova membalas cuek, "Dan sebelum aku dicampakan aku harus lebih menikmatinya. Kau harus tahu, berada dalam dekapan Aeden benar-benar nyaman."
"Jangan terlalu sombong, aku sudah merasakannya. Well, dia pria yang tidak puas denganmu hingga berlari kepadaku. Kami tidur bersama di hari kita bertemu."
Entah kenapa rasanya hati Dealova nyeri. Ia seperti tak merelakan Aeden menyentuh wanita lain.
"Benarkah?" Lova menaikan alisnya lalu menatap Lovita mengejek, "Kau sepertinya diperlakukan sama seperti wanita-wanita jalangnya. Ah, ini menyenangkan, setidaknya disini kau tidak diistimewakan." Lova tersenyum mengejek.
Tangan Lovita mengepal kuat, brengsek! Ia memaki dalam hatinya.
"Tch! Dengar, Lova. Hari itu aku dan Aeden tidak pakai pengaman, jadi jangan terkejut jika suatu hari nanti aku datang kemari dan mematahkan hatimu. Ah, jika aku sudah mendapatkan hasil itu, orang yang akan pertama kali aku beritahu adalah kau."
Mendadak air muka Lova jadi tak setenang biasanya. Tangannya meremas pakaiannya pelan. Namun itu hanya berlangsung sementara saja, Lova sudah tersenyum.
"Aku akan menunggu kabar baikmu, Lovita."
Lovita ingin membalas kata-kata Lova lagi namun pelayan datang dan itu menghentikannya.
"Silahkan nikmati minuman dan cemilannya, Lovita." Lova bersuara seakan ia adalah nyonya di rumah itu.
Lovita tersenyum palsu. Hingga pelayan menghilang wajah aslinya kembali terlihat, hanya saja tak berlangsung lama karena Aeden telah kembali.
Aeden kembali duduk di sebelah Lova.
"Aeden, aku harus segera pergi. Aku memiliki beberapa pekerjaan." Lovita belum siap mental melihat kemesraan Aeden dan Lova lainnya. Ia harus pergi agar tak menunjukan wajah muaknya.
"Baiklah.. Aku antar kau ke depan." Aeden kembali berdiri.
"Love, aku tinggal sebentar."
"Hm."
Aeden dan Lovita melangkah beriringan.
Setelahnya Aeden kembali ke Lova.
"Apa saja yang kalian bicarakan tadi?" Aeden kembali duduk di sebelah Lova. Ia memeluk tubuh Lova dari samping, dagunya ia letakan di bahu Lova dengan hidungnya yang hampir mencapai pipi Lova.
"Tidak ada. Kami tak terlalu dekat untuk bicara." Balas Lova dingin.
Aeden menyadari ada yang salah, "Apa yang dia katakan hingga membuatmu dingin seperti ini?"
"Tidak ada, Aeden. Lepaskan aku, aku ingin ke kamar."
Aeden tak melepaskan Lova, "Apa dia mengatakan tentang aku dan dirinya tidur bersama?"
"Apa menurutmu itu penting bagiku? Sudahlah, lepaskan aku."
Aeden merasa sakit mendengar ucapan Lova, "Itu hanya terjadi hari itu dan tak akan terulang lagi. Entah penting atau tidak untukmu tapi aku ingin mengatakannya saja." Setelahnya Aeden melepaskan pelukannya dari tubuh Lova.
Lova segera bangkit, ia melangkah meninggalkan Aeden yang menatapnya datar.
Lova memang sedikit memikirkan tentang Lovita dan Aeden yang tidur bersama, tapi yang saat ini ia pikirkan adalah tentang kenapa hatinya harus merasa sakit seperti ini. Tentang ia yang mulai tak mengenal dirinya sendiri. Ia tak biasanya terpancing karena Lovita tapi kali ini ia terpancing.
"Bagaimana jika Lovita benar-benar hamil?" Dan akhirnya yang kata Lova tak penting tadi benar-benar jadi penting dan mengusik ketenangannya. "Apa aku memang ditakdirkan untuk selalu kalah darinya?"
Lova meringis sendiri. Nyatanya sekarang sudah tak sama seperti dulu lagi. Kehadiran Aeden dalam hidupnya membuatnya jadi terbiasa akan Aeden. Apalagi semenjak Aeden mengkhawatirkannya, ia merasa jika Aeden semakin dekat dengannya.
"Apa aku benar-benar sudah terlalu menikmati ini semua?" Lova meradang. Haruskah ia menghilang sekarang agar semuannya tak semakin jauh??
tbc