Aku kembali menulis lagi.
"Demi sebuah cinta pada pandangan pertama saat aku masih berumur 10 tahun, aku rela menyeberangi lautan dan hidup sendirian di Amerika demi mendapatkan cintanya. Dulu aku sampai jungkir balik, menangis diantara kerumunan orang, memperlakukan diriku sendiri karena ternyata dia mencintai wanita lain dan itu bukan diriku. 13 tahun.. 13 tahun.. bisa kau bayangkan, aku menutup hatiku dari lelaki lain hanya untuk dirinya seorang tapi dia tak pernah mengingatku apalagi membalas cintaku. Hancur lebur hatiku. Cinta bertepuk sebelah tangan tepatnya." tulisku yang tiba-tiba geregetan jika mengingat saat itu.
"Aku yang dibuang oleh keluargaku, mamaku diceraikan karena dianggap tak sederajat dengan keluarga kakekku, ayahku yang diam saja seperti pengecut membiarkan isterinya menangis dihina habis-habisan oleh keluarga kakekku. Aku tak terima! Aku bisa lahir di dunia karena ia menyerahkan seluruh nyawanya untuk membahagiakan keluarga besar tapi liat balasan yang mamaku terima. Aku lahir dan hidup di dunia bukan untuk melihat mamaku dihina." tulisku geram.
"Jadi, kalian mengerti kan kenapa aku bersikap seperti batu di tengah lautan? Dingin, kokoh, tak gampang terintimidasi. Meskipun begitu, aku hanya bersikap menyebalkan pada orang-orang yang pantas mendapatkan perilaku tak menyenangkan dariku. Aku senang mempermainkan perasaan mereka seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang dulu menghinaku. Aku sebenarnya sangat baik hati, ramah, sopan, suka menolong dan mudah bergaul. Aku bersikap manis kepada semua orang, hanya saja mereka suka memanfaatkan kebaikan-kebaikanku. Itulah sebuah pengalaman buruk yang membuatku menjadi bersikap seperti ini." tulisku sambil tersenyum miring.
"Aku sudah payah, mati-matian, gulung-gulung demi mendapatkan warisan yang seharusnya menjadi milikku. Ambisiku untuk kembali mengambil alih warisan karena pesan dari nenekku mengenai saudara-saudaraku yang bersikap licik ingin menguasai seluruh aset keluarg Birawa untuk kepentingan ego pribadi mereka. Aku harus menyelamatkan harta warisan yang sudah payah kakek dan nenekku kumpulkan. Kebencianku pada kakekku pun sirna setelah dia memohon padaku untuk kembali. Bagaimana itu bisa terjadi? Nanti akan kuceritakan tapi nanti ya.. nanti.." tulisku lagi sambil terkekeh.
"Seperti kata pepatah. Berakit-rakit dahulu berenang-renang kemudian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ya itulah jalan hidupku. Jadi.. masih mau membaca ceritaku? Baiklah. Mari kita flashback 15 tahun lalu ketika aku masih berumur 10 tahun. Aku masih imut-imutnya saat itu. Aku salah satu cucu kesayangan kakek Birawa diantara cucu perempuan lainnya. Bagaimana tidak? Aku pintar, selalu rangking 1 dikelas. Aku juga seorang ballerina. Aku juga bisa menyanyi dan bermain piano. Aku bahkan sudah menguasai bahasa Inggris dan sedikit bahasa Jepang. Siapa yang tak kagum dengan semua talentaku?" tulisku lagi yang mendadak merasa sombong.
"Gadis manis nan anggun dengan rok merekah selutut, sepatu flat merah muda dan atasan blouse putih serta bandana merah muda, membuat diriku sangat cantik hari itu. Aku selalu tersenyum kepada semua orang. Sikapku santun dan lemah lembut bak princess di cerita dongeng, kalem gak pecicilan seperti sekarang." tulisku tertawa geli.
"Saat itu semua pengusaha yang bergerak dibidang pariwisata dan pengembangan perhotelan datang ke resort kakekku di Bali. Para pengusaha kaya itu membawa serta keluarganya, anak dan isterinya serta para asisten dan pengawalnya. Disitulah pertama kalinya aku bertemu dengan Harry. Dia masih berumur 11 tahun hanya selisih 1 tahun lebih tua dariku." tulisku mulai tersenyum mengingat hari itu.
"Harry sangat tampan. Dia langsung membuatku terpana atau malah jatuh cinta pada pandangan pertama. Tak hentinya aku menatapnya meski dari kejauhan. Dia tak banyak bicara, tersenyum juga seperlunya tapi tetap sopan dengan menjabat tangan semua tamu yang mengajaknya bersalaman. Sikapnya yang santun membuatku semakin mengaguminya." tulisku lagi dengan jantung mulai berdebar.
Aku mengatur nafasku sebentar dan meneguk secangkir coffee latte di samping meja kerjaku. Ku pijat-pijat jemariku yang mulai lelah karena terlalu asik mengetik. Aku mulai fokus di depan laptop merah mudaku lagi.
"Menjadi cucu kakek Birawa tentu saja membawa kebanggaan tersendiri untukku tapi tetap sebuah tekanan besar dibahuku yang selalu mengikutiku. Aku merasa menggendong Gunung Merbabu di punggungku tiap aku membawa nama keluarga Birawa disetiap jamuan yang harus kuhadiri. Aku harus bersikap sopan dan santun dengan kharisma tersendiri yang biasanya terpancar dari raut wajah seorang konglomerat. Cara kami bicara, berjalan, bersikap semua ada ciri khasnya yang membuat kami berada di level tertinggi dalam derajat status manusia. Tapi bagiku itu sangat membosankan bagaikan memakai topeng dan bermuka dua hanya untuk membuat orang-orang kagum padaku. Disitulah aku mulai merasakan jenuh dan jiwa pemberontak mulai menyelinap di diriku." tulisku dengan senyum sinis.